Letnan Hiroshi Takeda, seorang prajurit terampil dari Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, tewas dalam sebuah pertempuran sengit. Dalam kegelapan yang mendalam, dia merasakan akhir dari semua perjuangannya. Namun, ketika dia membuka matanya, Hiroshi tidak lagi berada di medan perang yang penuh darah. Dia terbangun di dalam sebuah gua yang megah di dunia baru yang penuh dengan keajaiban.
Gua tersebut adalah pintu masuk menuju Arcanis, sebuah dunia fantasi yang dipenuhi dengan sihir, makhluk fantastis, dan kerajaan yang bersaing. Hiroshi segera menyadari bahwa keterampilan tempur dan kepemimpinannya masih sangat dibutuhkan di dunia ini. Namun, dia harus berhadapan dengan tantangan yang belum pernah dia alami sebelumnya: sihir yang misterius dan makhluk-makhluk legendaris yang mengisi dunia Arcanis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sapoi arts, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Di Batas Kekuasaan
Pagi yang berkabut itu dipenuhi dengan ketegangan halus saat rombongan kerajaan, dipimpin oleh Putri Elysia, melintasi dataran menuju kamp revolusioner.
Hiroshi berjalan sedikit di belakang, matanya memindai setiap sudut, memperhatikan apa pun yang mencurigakan.
Ketika Elysia melirik ke arahnya, dia hanya memberi anggukan singkat, wajahnya tetap dingin dan penuh kendali, seperti seorang jenderal yang mempertimbangkan segala kemungkinan.
Mereka akhirnya tiba di area perkemahan revolusioner. Tenda-tenda kasar dan penjaga-penjaga bersenjata tampak berjejer rapi, tetapi Hiroshi tidak meremehkan formasi yang tampak sederhana itu. Dia tahu betul bahwa penampilan bisa menipu, terutama dalam situasi seperti ini.
Seorang pria berbadan besar menyambut mereka dengan senyuman lebar yang tak menyembunyikan sedikit pun sikap sinis. “Selamat datang, Putri Elysia.
Kami merasa terhormat Anda bersedia menemui kami.
” Pria itu melirik Hiroshi, tatapannya menilai penuh curiga. “Dan ini siapa?”
Hiroshi hanya menatapnya sekilas, tetap menjaga sikapnya.
“Saya di sini mendampingi Putri Elysia. Nama dan peran saya tidak relevan, selama Anda memenuhi syarat-syarat negosiasi,” ucapnya dengan suara tenang tapi penuh wibawa.
Pria itu mengernyit, tampak terganggu oleh ketenangan Hiroshi, tapi akhirnya mengabaikannya.
“Kalau begitu, silakan masuk. Kami semua telah menunggu.”
Di dalam tenda utama, beberapa pemimpin revolusioner berkumpul di sekitar meja besar yang terbuat dari kayu kasar.
Salah satu dari mereka, seorang pria bertampang keras dengan bekas luka panjang di pipinya, memandangi Hiroshi dari ujung kepala hingga kaki dengan sinis.
“Apakah ini pengawal pribadi Putri Elysia?” ucapnya dengan nada meremehkan.
Hiroshi hanya mengangkat alis sedikit, wajahnya tidak berubah.
Dengan gerakan tenang, dia membuka topinya sejenak sebagai tanda hormat, memperlihatkan wajahnya yang tampan namun penuh ketegasan, lalu kembali memakainya.
“Saya hanya seorang penasihat yang siap melakukan tugas saya,” ucapnya tanpa sedikit pun nada defensif.
“Penasihat atau pengintimidasi?” pria itu menyeringai, lalu tiba-tiba meraih pisau dan melemparkannya ke arah Hiroshi dengan cepat.
Tawa sinis terdengar dari beberapa orang di ruangan itu, mereka menunggu Hiroshi menunjukkan reaksi panik.
Namun, dalam satu gerakan yang presisi, Hiroshi menjepit pisau itu di antara dua jarinya, seolah benda tajam itu hanya sehelai daun. Dengan tenang, dia meletakkannya kembali ke meja di depan pria itu, tatapannya tajam namun terkendali.
“Saya hanya ingin memastikan kalian mengerti bahwa kami tidak datang untuk dipermainkan,” ujarnya dengan nada dingin.
Ruangan mendadak hening. Para pemimpin revolusioner tampak terkejut, dan bahkan pria berwajah luka itu menghela napas pelan sebelum tersenyum tipis.
“Baiklah, Putri. Rupanya Anda memang tidak main-main kali ini.”
Elysia, yang sebelumnya agak cemas, kini merasa lega dan lebih percaya diri.
“Kami di sini untuk negosiasi serius. Kerajaan tidak akan menyerahkan harta atau kedaulatannya tanpa alasan yang jelas dan adil,” ucapnya, memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan ketegasannya.
Salah satu dari pemimpin revolusioner, seorang wanita berwajah keras dengan mata tajam, bersuara lantang.
“Kerajaan Eldabara tidak pernah benar-benar peduli pada rakyat kecil. Semua harta hanya untuk kalian sendiri, sementara kami berjuang bertahan hidup.”
Hiroshi mengamati ekspresinya dengan seksama, mengingat setiap gerak-geriknya. Dia mencium adanya motivasi yang lebih besar di balik tuntutan ini.
“Jika kalian hanya ingin keadilan, maka bentuk tuntutan kalian seharusnya bukan ancaman,” ucapnya dingin, tatapannya tak berkedip. “Keadilan sejati tak memerlukan senjata sebagai sandarannya.”
Wanita itu tampak geram, tetapi akhirnya menahan diri setelah beberapa pemimpin lainnya menenangkannya.
Elysia melanjutkan negosiasi, mendengarkan setiap tuntutan mereka dengan seksama, tetapi tetap mempertahankan sikap tegas.
Setelah beberapa waktu, pertemuan diakhiri tanpa keputusan final, hanya kesepakatan untuk bertemu kembali dalam beberapa hari. Saat rombongan kerajaan berjalan kembali ke arah kuda mereka, Elysia mendekati Hiroshi.
“Hiroshi, bagaimana pendapatmu?” tanyanya, nadanya sedikit khawatir.
Hiroshi menatap lurus ke depan, suaranya tetap datar namun tegas.
“Mereka memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang kita duga, dan senjata yang mereka gunakan bukanlah barang murah. Saya khawatir ada pihak luar yang mendukung mereka secara diam-diam.”
Elysia terdiam, merenungi kata-kata Hiroshi. “Kalau begitu, kita harus bersiap dengan matang. Aku tak ingin kerajaan ini jatuh hanya karena kelalaian kita.”
“Saya akan mengawasi mereka lebih dekat,” Hiroshi mengangguk pelan.
“Dan bila saatnya tiba, saya akan memastikan bahwa tak ada satu pun dari mereka yang bisa mengkhianati kepercayaan Anda, Putri.”
Elysia menatapnya, kini dengan rasa hormat yang lebih dalam. Di balik sikap tenang dan waspadanya, Hiroshi menunjukkan keteguhan yang membuatnya yakin, bahwa pria ini lebih dari sekadar penasihat biasa.
___
Saat Elysia dan Hiroshi berjalan kembali menuju kuda mereka, suasana yang awalnya tegang berubah sedikit lebih santai. Namun, tiba-tiba, suara jeritan tajam menggema dari dalam hutan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Jeritan itu datang dari arah perkemahan revolusioner, dan meskipun singkat, ada sesuatu yang sangat menakutkan dari suara itu—seperti suara seorang anak yang sedang menderita.
Hiroshi bergegas melangkah maju, matanya menajam, dan tubuhnya siap siaga. Elysia, yang tidak terbiasa dengan atmosfer tegang seperti ini, tampak kebingungan, namun dia berusaha tetap tenang.
Seorang penjaga revolusioner yang berdiri dekat mereka berlari tergesa-gesa menuju sumber suara. Namun, saat dia hampir mencapai lokasi tersebut, kelompok revolusioner lainnya tampak bergerak cepat, menutupi akses ke daerah tersebut dengan rapat.
“Apa yang terjadi?” Elysia bertanya dengan suara yang sedikit gemetar, matanya penuh tanda tanya.
“Itu... tidak perlu Anda khawatirkan, Putri. Itu hanya... salah satu pelatihan kami,” jawab pemimpin revolusioner yang tadi menyambut mereka, wajahnya agak gelap dan tampak memaksakan senyum. Namun, ada ketegangan yang jelas terlihat di balik senyumnya.
Hiroshi, yang tidak tertarik dengan penjelasan yang jelas-jelas berusaha disembunyikan, tetap diam. Namun, matanya tidak lepas dari arah yang tadi membuat Elysia cemas.
“Pelatihan?” ujarnya, nada suaranya tajam dan mengandung keraguan. “Pelatihan seperti apa yang melibatkan suara seperti itu?”
Pemimpin revolusioner itu terdiam sejenak, dan akhirnya tersenyum kaku.
“Itu bukan urusan Anda, jenderal,” jawabnya, sebelum berbalik dan melanjutkan negosiasi mereka.
Elysia menatap Hiroshi sejenak, merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dia mengabaikannya untuk saat ini dan melanjutkan perjalanan mereka ke dalam tenda, di mana negosiasi kembali dimulai.
Setibanya di tenda besar, suasana mulai menjadi tegang. Para pemimpin revolusioner telah berkumpul, dan masing-masing tampak serius.
Di depan mereka, ada sebuah meja kayu besar yang dipenuhi dengan dokumen dan peta. Seorang pria bertubuh besar dengan janggut tebal menghadap Elysia dengan serius.
“Putri Elysia, kami ingin Anda memahami kondisi kami,” ujar pria itu dengan suara rendah namun tegas.
“Kami tidak ingin perang, tetapi kami memerlukan bantuan Anda.”
Pria itu kemudian membuka sebuah gulungan surat yang panjang dan meletakkannya di atas meja.
“Ini adalah surat persetujuan untuk memberikan hak atas harta kerajaan sebesar beberapa milyar kepada rakyat biasa. Namun, ada syaratnya.”
Hiroshi memperhatikan dengan seksama, wajahnya tetap datar. “Apa syaratnya?” tanyanya tanpa emosi.
“Kami ingin agar Putri Elysia sendiri yang menandatanganinya, dan untuk itu, kami ingin mengadakan pertemuan tengah malam, sendirian, tanpa gangguan apapun,” jawab pria itu dengan senyuman tipis yang terasa sangat dipaksakan.
Seketika, seluruh suasana di ruangan itu terasa lebih tegang. Elysia merasa ada yang tidak beres.
“Maksud Anda, saya harus menandatangani surat itu sendirian?” tanya Elysia, matanya mulai menyipit, mencurigai niat mereka.
“Tentu, Putri. Anda sendiri yang harus mengambil keputusan ini.” Jawaban pria itu terdengar sopan, tapi nada suaranya mengandung sebuah ancaman tersembunyi.
Elysia menatap Hiroshi sejenak, dan sebelum dia sempat berbicara, salah satu penjaga yang berdiri di dekat pintu mendekat dan berbisik dengan cepat, “Ini jebakan, Putri. Jangan setuju.”
Hiroshi menyadari ketegangan yang semakin meningkat dan berdiri dengan tenang. “Jangan khawatir, Putri. Saya akan menemani Anda.”
Elysia berpikir sejenak, masih tidak yakin dengan situasi ini. Namun, dia tidak bisa begitu saja menolak. Jika dia tidak setuju, dia tahu negosiasi ini bisa berakhir lebih buruk dari yang dia bayangkan.
Akhirnya, dengan ragu, Elysia mengangguk pelan. “Baiklah, saya akan datang. Tetapi saya ingin Hiroshi yang menemani saya. Jika terjadi sesuatu, saya butuh perlindungannya.”
Para pemimpin revolusioner itu hanya tersenyum samar.
“Tentu saja, Putri. Hiroshi akan menemani Anda. Kami yakin Anda berdua pasti akan membuat keputusan yang tepat.”
Pada malam hari, setelah langit menjadi gelap dan hanya diterangi oleh cahaya redup dari obor, Elysia dan Hiroshi bersiap untuk bertemu dengan pemimpin revolusioner di tempat yang telah disepakati.
Mereka menuju tenda yang lebih kecil, jauh dari rombongan, dengan hanya seorang penjaga yang terlihat mengikuti mereka dari kejauhan.
Saat mereka mendekat, suasana menjadi semakin tegang. Namun, Hiroshi tetap tenang, matanya memindai setiap sudut, selalu siap untuk segala kemungkinan. Elysia yang berjalan di sampingnya merasa cemas, namun mencoba tetap menunjukkan sikap tegas.
“Hiroshi... apakah kamu yakin ini aman?” tanya Elysia pelan.
Hiroshi mengangguk dengan mantap, “Saya akan selalu siap.”
Namun, sebelum mereka bisa mencapai tenda, suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka.
Hiroshi dengan cepat memutar tubuhnya, siap untuk bertindak. Namun, ternyata hanya seorang penjaga yang mendekat, mengonfirmasi lokasi pertemuan. “Maafkan saya, Putri Elysia, Hiroshi. Saya hanya memeriksa apakah semuanya aman.”
Elysia menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya. Saat mereka memasuki tenda tempat pertemuan, ada satu hal yang terasa aneh—suasana dalam tenda itu lebih gelap dari yang mereka duga.
Hanya ada beberapa lentera yang samar-samar menyinari, dan di tengah tenda itu, ada meja dengan surat-surat yang diletakkan dengan rapi.
Pria besar yang memimpin kelompok revolusioner itu muncul dari balik bayangan, tersenyum sinis.
“Selamat datang, Putri Elysia. Hiroshi. Kami sudah menunggu.”
Elysia menatap pria itu dengan tegas, namun di dalam hatinya, ada kegelisahan yang terus berkembang. “Baik, saya akan menandatangani surat itu, tetapi ada syarat saya. Saya ingin Hiroshi tetap bersama saya, selalu.”
Pemimpin revolusioner itu tersenyum lebih lebar, namun tatapan di matanya mulai menunjukkan kegelisahan yang tidak biasa. “Tentu, Putri Elysia. Semua akan berjalan lancar.”
Namun, sesuatu dalam sikap mereka terasa tidak tepat. Hiroshi, yang diam-diam terus mengamati, merasa ada yang sangat salah dalam pertemuan ini.
“Kami lihat saja apakah ini benar-benar sesuai dengan keinginan kalian,” ucap Hiroshi, dengan nada tenang namun penuh peringatan.
Penyambutan yang ramah ini bisa jadi hanya sebatas permukaan.