NovelToon NovelToon
Vanadium

Vanadium

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Cinta pada Pandangan Pertama / Epik Petualangan / Keluarga / Anak Lelaki/Pria Miskin / Pulau Terpencil
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: ahyaa

Ada begitu banyak pertanyaan dalam hidupku, dan pertanyaan terbesarnya adalah tentang cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ahyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode dua puluh tujuh

   Dua menit kemudian Vana datang lalu mengejutkan ku yang sedang melamun.

    " Ayo, mainkan lagi lagumu um, jangan malah melamun." Pintanya.

     " lagu yang mana? Oh, melodi yang barusan?" tanyaku.

     Vana menjawab dengan anggukan. Aku mulai memetik senar gitar lagi, pelan tapi sayangnya jariku bergerak menurut reflek emosional saat ini, sesekali senar satu atau dua terdengar melengking.

    Aku baru sadar kalau ternyata Vana datang sambil membawa peralatan dari kayu serta ada kotak kotak kecil yang aku tidak tau untuk apa.

    Peralatan itu ternyata di fungsikan sebagai tempat peletakan kanvas, desain nya ternyata berfungsi ganda. Vana meletakkan kanvas di pengait di bagian atas dan bawahnya, lalu ia membuka dua kotak lainnya yang ternyata berisi cat, kotak yang pertama untuk peletakan warna warna dasar, dan kotak kedua tempat warna warna yang sudah di campur, serta ada juga palet di dalamnya.

     " kita akan melukis Dium, bukan kita, lebih tepatnya aku yang melukis dan kamu akan menemaniku sambil memetik gitarnya." ucap Vana sambil tertawa.

     " kau bisa melukis van?" tanyaku tidak percaya.

      " heh, memangnya kamu tidak lihat semua lukisan di dinding ini? Itu aku yang melukis semuanya." jawab Vana tidak terima.

     Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, tapi bagaimana mungkin Vana bisa melakukannya, lukisan lukisan yang ada di dinding benar benar terlihat seperti nyata, atau kalaupun di lukis, pastilah di lukis oleh pelukis handal.

     Vana yang melihat tampangku seperti tidak percaya menarik tangan ku ke sisi kanan ruangan, ada sebuah lukisan di situ yang sedikit abstrak, aku tidak bisa menyusun detailnya secara utuh.

     Vana mengambil sebuah senter kecil dari sakunya, lalu ia menanggalkan lukisan itu dari dinding, mengarahkannya ke arahku tapi dengan posisi di miringkan empat puluh lima derajat ke kiri, lalu ia menembakkan cahaya senter dari sudut lukisan. Aku terdiam, ternyata lukisan itu bukan sembarang lukisan, aku pikir awalnya hanya sebuah lukisan abstrak saja, tapi ternyata sudut pandang atau angel serta penerangan sendiri untuk melihat inti dari lukisan, dan lukisan itu adalah lukisan wajah vana yang rambut panjangnya di biarkan terurai.

     Vana meletakkan kembali lukisan itu ke dinding, memposisikan agar ia lurus dan kembali seperti abstrak lagi, benar benar menipu orang yang melihatnya jika ia tidak mengetahuinya. Vana lalu meletakkan kedua tangannya di pinggang, lalu ekspresi nya seolah olah mengatakan ' bagaimana sekarang kamu sudah percaya.'

    Aku tertawa melihatnya, dia eh kelihatan lucu ketika berpose seperti itu, aku mengangguk, baiklah aku percaya kalau dia yang melukis semua lukisan ini.

    Vana mengancungkan jempolnya lalu mengajakku untuk duduk kembali. Ia mulai mengeluarkan palet, serta beberapa warna yang ingin di gunakan, mengambil segelas tiga gelas air, dua untuk kami dan satu lagi nya untuk mencampur kan catnya.

    " memangnya kau mau melukis apa van?" tanyaku.

     " aku akan melukis mu Dium." jawab Vana.

      Aku nyengir, sepertinya ini akan menyenangkan, baiklah aku kembali duduk di kursi di samping Vana sambil kembali memetik gitar.

     Vana mulai menorehkan kuas nya, dia memulai dengan melukis wajahku terlebih dahulu, aku berhenti sejenak memainkan melodi, mengingat ingat sebuah lagu, berusaha mencari interpolasi melodi, mencari kunci yang pas, lalu mulai bernyanyi setelah intro selesai.

    Vana yang sejak tadi asik bertukar pandangan dari kanvasnya lalu ke aku yang menjadi objek lukis nya sekarang sempurna menatap ku.

     " suaramu bagus juga um." ucapnya sambil menggerakkan tangan kiri yang tidak memegang kuas.

    Aku meresponnya dengan tertawa, ternyata ada juga yang menilai suaraku bagus, dulu di kampung mereka selalu menertawakan ku. Aku menunjuk ke arah kanvas, terlihat sedikit cat yang kelebihan dan sepertinya akan mengalir turun. vana yang tersadarkan segera mengoleskan kuas nya.

     Vana melanjutkan melukis, sementara aku juga melanjutkan memetik senar gitar. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh, menandakan bahwa kami sudah hampir setengah jam di ruangan ini. Gelas gelas kami sudah tandas sejak tadi.

    Suara kuas yang menyapu kanvas, di tambah dengan alunan melodi gitar benar benar menciptakan suasana yang menyenangkan, Vana sedang melakukan finishing dengan memperhatikan detail detail kecil, aku tersenyum ternyata Vana benar benar berbakat melukis, lihatlah lukisannya saat ini, aku yang ada di dalam lukisan itu benar benar terlihat nyata, dia juga menambahkan objek sekunder di sekeliling lukis wajahku, ada rumah, pepohonan, bahkan ada seorang anak perempuan yang tampak seperti sedang berlari di belakang ku.

   Lima belas menit lagi berlalu, akhirnya Vana menyelesaikan lukisan nya. Dia menunjukkan hasil lukisan itu ke arah ku, meminta pendapat. Aku tertawa lalu mengacungkan dua jempol ku ke arahnya. Vana tersenyum, ia mengambil kanvas berisi lukisan tadi lalu menggantungkannya di salah satu paku yang ada di tembok, bersebelahan dengan foto seorang anak perempuan yang ternyata itu adalah Vana. Dia berdiri di depannya memandang hasil pekerjaannya, aku juga ikut berdiri di sebelahnya.

" kau secara resmi sudah menjadi penghuni ruangan ini um, syaratnya harus ada lukisan wajahmu." ucap Vana menjelaskan.

Aku mengangguk, aku memang tidak terlalu pandai melukis, untung saja vana mau membuatkan nya untuk ku.

" *sepertinya kita harus segera pulang ke rumah van, kalau sampai jam sebelas kita tidak ada di kamar bisa bisa kita di hukum Bu dere*." ucapku mengingatkan

vana mengangguk, ia juga baru sadar kalau kami sudah hampir satu jam di sini, ia menuju ke meja untuk membereskan peralatan nya melukis tadi, aku juga turut serta membantu, meletakkan cangkir yang sudah kosong di meja belakang, lalu meletakkan gitar di tempat asalnya.

" *sudah semua*?" tanya Vana, ia baru saja selesai meletakkan palet berserta cat cat yang tadi ia gunakan.

Sebagai jawabannya aku mengangguk, aku sudah selesai meletakkan semua barang barang, Vana balas mengangguk, ia menuju sakelar untuk mematikan lampu. Ruangan itu seketika menjadi gelap, aku tidak tau di mana pintu keluar, di mana Vana, aku bahkan tidak bisa melihat telapak tangan ku sendiri.

Di dalam kegelapan itu aku merasakan ada sebuah tangan yang menggenggam tanganku, tangan itu yang aku pastikan adalah Vana sekarang mulai menuntun ku untuk menuju pintu keluar.

Sampai di luar pintu akhirnya aku bisa melihat lagi, sepertinya karena vana sudah terbiasa makanya ia tidak masalah berjalan ketika gelap. vana mengeluarkan sebuah kunci yang agak berkarat, menutup pintu ruangan yang terbuat dari kayu kokoh, lalu menguncinya.

Kami mulai berjalan menuju rumah, angin malam terasa menusuk tulang ku, lain kali aku akan menggunakan baju panjang jika ingin ke sini lagi, atau aku benar benar akan menggigil karena kedinginan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!