kisah seseorang yang berjuang untuk lepas dari perjanjian tumbal yang ditujukan kepadanya karena sebuah kedengkian. Ikuti kisahnya selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode-34
Amdan mendekap puteri mereka yang tiba-tiba menangis ketakutan. Matanya terbeliak memandang ke langit-langit kamar,.seilah-olah sesuatu sedang memandanginya dengan wajah yang mengerikan.
Sang ayah merasakan jika ada sesuatu yang mengerikan disana. Suhu udara berubah secara drastis dan membuat pria itu bergegas ingin keluar dari kamar.
Saat bersamaan, ia melihat sebuah lidah terjulur panjang dengan warna merah menyala, alat pengecap itu menjuntai hingga ke lantai kamar, sedangkan tubuhnya merangkak dengan posisi terbalik bak seekor cicak.
"Astaghfirullah," Amdan beristighfar. Degub jantungnya berpacu sangat kencang dan ia sungguh tidak menduga jika sosok sangat mengerikan itu hadir didalam ruang kamar mereka.
"Siapa Kau! Jangan ganggu aku dan keluargaku, karena aku tidak pernah mengganggumu dan keluargamu!" ucap Amdan dengan memberanikan dirinya dan mencoba menatap sosok mengerikan itu.
Saat bersamaan, Wardah baru saja tiba didepan pintu kamar. Ketika ia melihat sosok mengerikan tersebut, ia sangat syok dan membuatnya tak sadarkan diri, lalu terkapar dilantai rumah.
Amdan semakin bingung harus menyelamatkan anaknya apakah istrinya.
Sosok itu terlihat menyeringai. Lidahnya yang panjang menjulur hendak menghantam Amdan, dan tiba-tiba saja...,
Braaaaak...
Tubuh Amdan terlempar hingga keluar kamar. Untungnya ia sempat memberikan perlindungan pada kepala puterinya agar tidak terhempas dilantai.
Sementara itu, Wardah masih saja pingsan dan tak menyadari apa yang terjadi.
Sosok itu melesat keluar dari kamar. Ia berdiri tegak dengan jarak yang sangat dekat dari tubuh Amdan yang tergeletak dilantai.
Saat ini pria itu hanya dapat berdoa memohon perlidungan pada Dia Sang Maha Kuasa. "Laa haula walaa quwwata illah billahil aliyul 'adzim...," ucapnya berulang kali. Ia begitu memasrahkan dirinya kepada Penciptanya. Sebab ia tahu hanya Sang Khalik yang dapat menyelematkannya.
Buuuuuuuum....
Selarik cahaya berwarna keperakan menghantam sosok mengerikan itu hingga terdengar suara lengkingan yang sangat mengerikan. Cahaya itu membuat Amdan menutup matanya karena tidak begitu kuat untuk memandangnya.
"Am...,Amdan, bangunlah!" panggil seseorang yang berusaha untuk menyadarkannya.
Sosok seorang pria menepuk-nepuk pipi Amdan dengan keras.
Pria itu tersadar, dan mengerjapkan kedua matanya. Tampak dengan samar ia melihat Pak Udin sedang menggendong puterinya yang tertidur dengan lelap.
Sementara itu, tampak Wardah masih tergeletak tak sadarkan diri dilantai tak jauh darinya. Ia beranjak bangkit dengan rasa sakit dibagian kepalanya. "Pak Udin," ucapnya lirih, sembari memegangi kepalanya yang masih terasa sakit
"Untunglah, kamu masih baik-baik saja. Coba kamu bangunkan istrimu," titahnya dengan nada tegas.
Andan melirik Wardah yang masih tak sadarkan diri. Ia mengguncang tubuh sang istri agar tersadar. "Dik, bangunlah," ia terlihat masih sangat gugup bagaimana tidak, sosok itu begitu sangat mengerikan.
Wardah mulai membuka matanya, perlahan ia mengerjap dan masih terasa berat.
"Dik, bangunlah," Amdan kembali memanggil istrinya. Ia terus mengguncang tubuh istrinya agar terbangun.
Wardah mulai mengumpulkan kesadarannya, lalu berusaha bangkit dari tidurnya dan duduk dengan lemah.
Ia melihat ke arah kamar, dan ia dengan cepat memalingkan wajahnya "Dimana iblis, Bang?" tanyanya dengan nada cemas bercampur rasa takut.
"Tidak ada iblis, Dik. Kamu hanya berhalusinasi saja." Amdan tak ingin mmebuat istrinya merasa takut, meskipun ia harus berbohong.
"Ta..."
"Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," Amdan memotong kalimat Wardah dengan cepat.
Wanita itu seperti delusi yang mana ia sangat meyakini jika apa yang dilihatnya tadi adalah nyata.
"Sudah, bangun, ayo buatkan abang dan Pak Udin kopi, kami mau ngopi diwarung." Amdan menarik tangan sang istri agar bangkit berdiri.
Wardah masih bingung, akan tetapi ia tak dapat membantah, dan pergi kedapur membuatkan dua gelas kopi untuk suaminya dan juga pria paruh baya itu.
Sepertinya benturan kepalanya dilantai barusan membuat ia sedikit menjadi penurut dan mengurangi sikap keras kepalanya.
Pak Udin meminta Amdan untuk menidurkan puterinya dikamar, dan ia tak perlu lagi takut akan gangguan dari iblis tersebut, sebab untuk beberapa saat ini sudah ada penawarnya, meskipun hanya bertahan beberapa hari saja.
Setelah menyelesaikan tugasnya. Amdan mengekori pria paruh baya itu menuju warung dan mereka duduk dikursi depan. Terlihat warung sangat sepi bak kuburan.
Pak Udin menghi--sap sebatang rokok dan menghembuskan karbonmonoksida yang sangat berbahaya bagi perokok pasif disekitarnya.
"Pak, siapa makhluk itu? Ia muncul sebelum.ibu meninggal, dan sampai kini terus datang menggangguku, dan seolah ia memiliki dendam, sedangkan aku merasa tak memiliki musuh," ucap Amdan lirih. Ia sengaja menekan nada bicaranya agar Wardah tak mendengarnya, apalagi orang lain.
Pak Udin tampak diam. Pandangannya menerawang jauh menembus langit malam yang gelap gulita.
"Ada seseorang yang menaruh dendam pada ibumu, dan juga kamu. Ia tidak akan merasa senang jika belum melihat dirimu hancur dan menjadi tumbal untuk aksi nalas dendamnya," jawab pria dengan sangat lirih. Ia terlihat sangat gelisah, tetapi tak ingin membuat Amdan semakin takut.
"Apa salah ibuku? Bahkan ibu hampir tak pernah keluar rumah, dan hal mustahil jika ia memiliki musuh," Amdan begitu penasaran dan ingin mendengar penjelasan dari pria itu.
Saat bersamaan, Wardah datang mengantarkan dua gelas kopi hitam pesanan sang suami. Ia kembali masuk.ke rumah dan ingin menemani puterinya yang tertidur lelap.
Setelah melihat suasana aman,Pak Udin menoleh kepada Amdan, lalu menatapnya dengan dalam.
"Ibu tidak memiliki salah apapun. Hanya saja satu hal yang membuatnya dibenci, ia terlalu cantik pada masa kamu masih berusia lima tahun, dan ayahmu meninggal karena kecelakaan," jawab pria itu dengan raut wajah yang sangat serius.
Amdan tercengang mendengar ucapan pria dihadapannya. Ia baru menyadari, jika masa itu banyak rumor yang mengatakan jika ibunya memang cantik.
Bahkan mereka menyayangkan karena Munah tidak mau menikah lagi dan memilih membesarkan anak-anaknya, meskipun banyak pria yang mencoba melamarnya. Mereka tak perduli jika Munah janda beranak empat dan itu tak mengurangi kecantikannya meskipun ia tak muda.
Bahkan saat Munah sakit dan lumpuh, sisa kecantikannya masih terpancar dan Amdan baru menyadari akan hal itu.
"Lalu apa salahnya jika ibuku terlahir dengan wajah yang cantik? Didesa ini juga banyak janda yang cantik," Amdan mencoba mendeskripsikan pendapatnya.
Pak Udin terkekeh. Entah apa yang sedang difikirkannya dengan ucapan Amdan barusan. "Cantik itu relatif. Tetapi bagi mereka, ibumu memiliki pesona yang berbeda dan itu tidak ditemui pada wanita lainnya." Pak Udin menghembuskan asap rokok itu hingga mengepul diudara.
"Apakah bapak salah satunya yang mengakui jika ibuku cantik?" Amdan bertanya tanpa aling-aling.
Pria paruh baya itu terdiam sejenak. Lalu terkekeh tanpa jelas apa tujuannya. "Sudah malam, beristirahatlah. Esok carikan bapak air yang berpusar sebanya tujuh pusaran disungai seberang desa. Jika sudah dapat, bawakan pada Bapak. Karena kamu harus dibersihkan agar tidak terikat oleh perjanjian itu," titahnya.
Belum sempat Amdan menjawab, pria itu terlebih dahulu meneguk habis kopi tersebut dan beranjak pergi dengan langkahnya yang terlihat ringan.
Sukses trs tuk semua Novel-novel nya. sllu Sehat Wal'afiat untuk Mu Beserta Keluarga 🤲 Aamiin 🤲
Terakhir di akhir Novel ni sdh aku beri Like + Hadiah Bunga + Vote yaa Akak Cantik 😘
akhirnya Bu Ira meninggoi 🤦🤦🤦
mkne jgn kyk gtu
hadehh klo nanti mati juga lama2
Novel bagus,ada makna di dalamnya yg bisa jadi pelajaran buat kita.
Selalu bersyukur dg hidup kita,jangan iri dg hidup orang lain.