Harumi

Aku sedang merasakan kecewa, tapi sudah lah. Jangan bosan yaa baca cerita amatir ini.

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Rumi tinggal bersama Anggita, pasca keluar dari pekerjaan, sudah beberapa Minggu dia resmi menjadi pengangguran.

Pekerjaannya hanya makan, tidur, nonton Drakor, dan aktivitas lainnya yang hanya biasa dilakukan didalam kosan.

Keputusannya tinggal bersama sahabatnya, demi menghemat pengeluaran bulanan, mengingat dirinya adalah seorang pengangguran, dan tidak tau kapan akan kembali mendapatkan pekerjaan.

Setelah dua kejadian miris dalam hidupnya, Rumi memutuskan untuk bersembunyi, usai sebelumnya meminta maaf pada orang-orang yang mungkin merasa sakit hati akan keputusannya. Rumi bahkan mengganti nomornya.

Anggita baru saja tiba, setelah seharian bekerja, gadis itu membawakan room mate nya nasi bungkus, untuk mereka makan malam.

"Di tempat Lo beneran belum ada lowongan?" tanya Rumi, disela-sela keduanya menikmati makan malam.

"Belum, tapi menurut salah satu rekan kerja gue bagian HRD bilang, sebentar lagi ada yang mau lahiran, jadi Lo siap-siap aja, tapi masalahnya itu staf HRD, bukan marketing, atau perencanaan, Lo mau nggak?"

"Ya mau lah, kerja apa aja, yang penting halal,"

Mereka melanjutkan makannya, sembari bergosip tentang bos ganteng versi Anggita, dan Rumi hanya sesekali menanggapi.

"Git, menurut Lo, mendingan beli rumah di pinggir kota atau apartemen ditengah kota?" tanya Rumi, keduanya sedang memakai krim malam.

Anggita yang baru saja selesai melakukan perawatan malam, seketika menoleh, "Kenapa tiba-tiba Lo ngomong gitu? Memangnya Lo punya duit?"

"Tinggal jawab aja, nggak usah banyak tanya," sahut Rumi ketus.

"Kalau buat investasi, mending beli di pinggir kota, tapi kalau buat tempat tinggal, mending di apartemen nggak sih," Anggita merebahkan diri, malam ini gantian dirinya tidur di kasur lantai.

Sejak memutuskan tinggal bersama, mereka membuat kesepakatan, untuk bergantian tidur di ranjang yang hanya berukuran 90x200, dan dilantai ada kasur tipis setebal lima centi, yang dilapisi lagi dengan bedcover.

"Apa alasannya?"

"Coba Lo bayangin, kalau punya rumah dipinggir kota, sementara Lo kerja di pusat kota, dengan segala kemacetan, kira-kira berapa banyak waktu yang terbuang di jalanan?"

"Kan bisa naik KRL,"

"Kalau lancar, belum lagi kalau Lo kesiangan, bayar cicilan rumah, ongkos, dan biaya-biaya tak terduga,"

Rumi mencerna apa yang dikatakan sahabatnya, dia menatap langit-langit kamar kos, lalu sebuah ide muncul, dia memiringkan tubuhnya ditepi ranjang, guna melihat sahabatnya, "Emang biaya bulanan di apartemen nggak gede ya?"

"Ya gede lah, tapi lebih aman, dan terjaga privasinya, sama aja sih menurut gue, kenapa sih nanya-nanya, kayak mau beli aja?"

Rumi kembali ke posisi awal, dia meraih ponselnya, yang dia letakan tak jauh dari bantal, dia mengutak-atik nya, "Git, kapan Angga lulus?"

Anggara adalah adik kandung dari Anggita, yang sedang menempuh bangku kuliah di salah satu universitas terkemuka di Jogja, "Baru semester tiga, masih lama, kenapa emang? Lo mau bantuin gue biayain?"

"Apaan sih, kan ada elo kakaknya, ngapa jadi gue, Benny aja jarang gue kasih duit," Rumi memiliki adik beda ibu, yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

"Dasar pelit, sama adik sendiri perhitungan,"

Tak ada yang tersinggung, meski keduanya kerap kali mengejek, atau bersikap sinis.

"Git, kalau gue udah kerja lagi, dan gue harap satu kantor sama Lo, gue mau beli apartemen, tapi untuk biaya bulanan kita bagi dua ya, anggap aja Lo lagi bayar kos,"

Anggita yang baru saja hendak memejamkan matanya, seketika melebarkan matanya, lalu duduk, menatap sahabatnya, dengan tatapan penuh tanya.

"Gue abis dapet warisan jatah mendiang ibu, tanahnya laku, dan gue juga baru tau, di rumah Mbah uti gue, masih ada perhiasan punya ibu, Lo ingat kan, waktu gue liburan ke Purwokerto, itu gue sekalian urus, terus gue dapat pesangon dari showroom, ditambah gue juga cairin BPJS, dan satu lagi, gue pernah dapat komisi gede dari customer," costumer ranjang maksudnya. Terakhir kali kebersamaannya dengan Dimas, lelaki itu memberikan amplop cukup tebal, saat itu Rumi menolak, tapi Dimas memaksanya.

"Wah, banyak duit lo,"

"Makanya gue mau beli apartemen atau rumah, biar kita nggak usah bayar kosan gini," Rumi pikir, lebih baik uang miliknya harus segera digunakan untuk membeli sebuah hunian, jangan sampai uang habis untuk dirinya yang memiliki hobi kuliner.

"Bener juga sih, ya udah entar gue tanya-tanya ke temen kantor, kali aja ada yang mau jual," sahut Anggita yang kembali merebahkan diri, hening sejenak, lalu dia teringat sesuatu, "Gue lupa mau ngomong, tadi pas jam makan siang, mas Ari nelpon gue, nanyain keberadaan elo, tapi gue bilang aja, nggak tau, tapi dia sempat curhat gitu, dan gue jadi kasihan deh,"

Rumi terdiam, dia memang sengaja meminta sahabatnya untuk merahasiakan keberadaannya, bukan tanpa alasan dia melakukannya.

Flashback on

Rumi mengajukan pengunduran diri, seminggu usai dirinya berlibur, dia beralasan ingin fokus pada rencana pernikahannya, sayangnya dari pihak Showroom, tak langsung mengabulkan permohonannya, dia diminta untuk mendampingi staf marketing yang baru, hingga beberapa waktu.

Karena alasan itu juga, Rumi meminta rencana pernikahannya diundur, sempat terjadi perdebatan antara dirinya dengan calon mertuanya, tapi pada akhirnya, Ari lebih membelanya.

Selama memberikan pelatihan pada karyawan baru, setiap pulang bekerja, jika sedang tidak keluar kota, Rumi akan pulang bersama Ari.

Sikap Ari yang terlalu mengerti, dan mengutamakannya dibanding keluarga, membuat Rumi semakin merasa bersalah.

Awalnya, dia bertekad akan merahasiakan aibnya, toh Ari tidak tau, karena bagaimanapun mereka pernah berhubungan intim saat masih sama-sama kuliah, sehingga Ari tak mungkin curiga, tentang dirinya yang berkali-kali ditiduri oleh lelaki lain.

Setiap mereka sedang bersama, rasa bersalah terus menerus menghantuinya, hidupnya tak lagi tenang, dia terus merasakan gelisah.

Sehari usai resmi mengundurkan diri, dia mengajak Ari untuk pulang kampung, saat itu Ari tak menaruh curiga padanya.

Keluarga besar Ari mendatangi rumah ayah kandung Rumi, mereka berniat menentukan tanggal pernikahan.

Saat para orang tua sedang serius mendiskusikan tanggal baik, berdasarkan weton dari calon pengantin, tiba-tiba Rumi meminta waktu.

Dia meminta izin untuk berbicara, Rumi berusaha menenangkan diri, dia harus memberanikan diri saat ini, dia tak ingin hidup dalam rasa bersalah. "Rumi minta maaf pada kalian semua, terutama Bu Tejo dan mas Ari beserta keluarganya," dia menghela nafas, "Rumi minta acara pernikahan ini dibatalkan,"

Semua terkejut dengan pernyataannya, mereka jelas tau bagaimana perjalanan kisah cintanya dengan Ari, yang dibina sejak SMA, dan nyaris tak ada konflik, meskipun ada, itupun dari luar personal keduanya.

"Kamu lagi prank mas ya dek, mana coba lihat kamera," Ari mengedarkan pandangannya, bermaksud mencari kamera tersembunyi.

Tapi tangan Rumi menahannya, "Rumi serius mas, Rumi ingin mengakhiri hubungan dengan mas Ari,"

"Tapi kenapa dek? Apa mas buat salah sama kamu? Apa karena mas jarang ada waktu sama kamu? Tapi kamu tau bukan, semua itu mas lakukan agar kita segera menikah,"

Rumi bisa melihat mata Ari yang mulai berkaca-kaca, rasanya tak tega, tapi mengingat rasa bersalahnya, dia tak mungkin menarik lagi ucapannya, "Itu masalahnya, kamu terlalu baik padaku, sehingga aku merasa tak pantas untuk mendampingi lelaki sehebat kamu, dan aku percaya kamu akan mendapatkan perempuan hebat,"

Ari merengkuhnya, "Tapi mas mencintaimu dek,"

Rumi bisa merasakan getaran dipunggung Ari, lelaki itu benar-benar menangis, "Maafkan aku," gumamnya pelan, lalu dia mendorong Ari.

Rumi berlalu menuju kamarnya, mengambil ransel, yang memang telah dipersiapkan, lalu menghampiri orang tua, menyalaminya sembari meminta maaf.

Tapi saat dia berpamitan dengan Bu Tejo, dia justru mendapatkan tamparan dan makian, karena telah menyakiti Ari, dan juga membuat malu keluarga besar mereka.

Rumi hanya menunduk, berkali-kali dia menggumamkan maaf, tapi sepertinya semua itu tak berguna, Bu Tejo masih terus mengatainya.

Dan yang membuatnya sesak, disaat Rumi sudah membuat Ari malu, dan kecewa, lelaki itu kembali merengkuhnya, Ari juga meminta ibunya untuk berhenti.

Tak ingin goyah lagi, Rumi melepaskan rengkuhan Ari, dan berlari keluar rumah, di halaman, sudah ada adik yang menunggu diatas motor, yang akan membawanya pergi dari rumah.

Flashback off