kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Jejak Lama di Tanah Karangjati
Langit Desa Karangjati pagi itu memancarkan warna kelabu. Embun masih menggantung di pucuk-pucuk daun pisang, dan suara kokok ayam sesekali bersahutan dari kejauhan. Namun, suasana desa tidak seperti biasanya. Warga enggan keluar rumah terlalu pagi, dan pembicaraan tentang makhluk halus serta pusaka yang diburu dukun dari desa seberang makin santer terdengar.
Di ujung timur desa, Aji berdiri di tanah bekas rumah Pak Wiryo. Di tangannya, batu merah darah pemberian Mbah Tejo tampak berdenyut samar seperti nadi. Udin dan Pedot berdiri di belakangnya, membawa senter dan cangkul seadanya.
Udin: “Ji, nek aku lihat-lihat, tanah iki kok ndadak adem merinding ngono yo?”
(Ji, kalau aku lihat-lihat, tanah ini kok tiba-tiba bikin merinding ya?)
Pedot: “Kayak ono sing ngintip wae dari balik pohon-pohon itu.”
(Kayak ada yang ngintip aja dari balik pohon-pohon itu.)
Aji berjongkok dan menancapkan telapak tangannya ke tanah. Bibirnya komat-kamit membaca doa pelindung. Lalu ia menoleh.
Aji: “Di sini dulu, Pak Wiryo pernah ngurung sesuatu. Tapi segelnya mulai rusak. Batu ini… adalah salah satu kuncinya.”
Bayangan Masa Lalu
Dalam kilasan penglihatan batin Aji, ia melihat sosok Pak Wiryo muda bersama Mbah Tejo dan seorang kakek bersorban hitam. Mereka sedang menanam sesuatu ke dalam tanah, lalu meletakkan tiga batu merah serupa sebagai segel.
Pak Wiryo (dalam kilasan): “Kutukan ini tidak bisa dimusnahkan. Hanya dikurung. Jika pusaka itu dicari orang yang salah… kutukan akan bangkit kembali.”
Kilasan itu sirna. Aji terengah. Pedot membantu memapahnya.
Pedot: “Kamu lihat opo, Ji? Mukamu pucet!”
(Kamu lihat apa, Ji? Mukamu pucat!)
Aji: “Jejak lama. Tapi yang bikin aku khawatir… dukun dari desa seberang itu mungkin tahu cara membuka segel ini.”
Tanda-Tanda Bahaya
Sore itu, warga desa digegerkan oleh suara tangisan perempuan dari dalam sumur tua yang sudah lama ditutup. Beberapa warga yang mencoba mendekat langsung jatuh pingsan atau meracau tak jelas.
Pak Lutfi, ustaz desa, langsung datang bersama Aji. Udin dan Pedot juga ikut serta, meski wajah mereka terlihat takut.
Pak Lutfi: “Aji, kowe yakin bisa tangani iki?”
(Aji, kamu yakin bisa tangani ini?)
Aji: “InsyaAllah, Pak Ustaz. Tapi kita butuh doa kolektif. Ini bukan makhluk biasa. Ini bisa jadi pertanda segel mulai melemah.”
Mereka menggelar doa bersama di dekat sumur. Aji memimpin zikir, sementara Udin dan Pedot sibuk menaburkan garam dan daun bidara seperti yang diperintahkan Aji.
Tiba-tiba, angin berhembus kencang dan suara tangisan berubah menjadi tawa cekikikan wanita tua yang membuat bulu kuduk berdiri.
Pedot (berbisik): “Iki suarane si nenek bisu? Tapi… kok iso ngomong?”
(Ini suaranya si nenek bisu? Tapi… kok bisa ngomong?)
Aji: “Bukan dia. Tapi sesuatu yang mencoba meniru dia…”
Surat Rahasia
Malamnya, Aji menemukan kotak kayu kecil yang terkubur di balik gubuk tua Pak Wiryo. Di dalamnya, terdapat lembaran surat kuno dan potret tiga orang lelaki: Pak Wiryo muda, Mbah Tejo, dan seorang pria bertubuh tinggi dengan jubah hitam.
Surat itu ditulis dengan huruf pegon dan sebagian dengan bahasa Jawa kuno. Aji menerjemahkannya pelan-pelan:
"…Pusaka ini tak boleh jatuh ke tangan Guntur. Ia bukan sekadar dukun, tapi pewaris darah hitam. Jika ia berhasil mengumpulkan tiga kunci, maka penjara itu akan terbuka. Bukan hanya kutukan, tapi seluruh makhluk yang pernah dikurung para leluhur akan bebas…”
Udin: “Guntur? Guntur kuwi jenenge dukun sebrang to?”
(Guntur? Guntur itu nama dukun dari desa seberang ya?)
Aji: “Iya. Dan dia sudah dapat satu kunci. Batu merah pertama. Kalau dua lagi ditemukan… kita dalam bahaya besar.”
Pak Bolot dan Petunjuk Tak Terduga
Di tengah keresahan itu, sosok Pak Bolot muncul di pos ronda sambil membawa keranjang bambu berisi tape dan singkong rebus. Ia duduk santai, walau semua orang sedang panik.
Pak Bolot: “Kowe kabeh kok pada ribut? Wong nenek-nenek ngomong doang kok ditakuti!”
(Kalian semua kok ribut? Nenek-nenek ngomong doang aja ditakuti!)
Pedot: “Pak Bolot, iki urusane serius. Pak Wiryo dulu aja sampe ngutuk tanah ini.”
(Pak Bolot, ini urusannya serius. Pak Wiryo dulu aja sampai mengutuk tanah ini.)
Pak Bolot: “Lha aku yo ngerti. Dulu aku sering disuruh jaga malam pas Pak Wiryo dan Mbah Tejo ngumpet-ngumpet. Aku tau letak dua batu liyane…”
(Lah aku juga tahu. Dulu aku sering disuruh jaga malam waktu Pak Wiryo dan Mbah Tejo sembunyi-sembunyi. Aku tahu letak dua batu lainnya…)
Semua orang menoleh ke Pak Bolot dengan kaget. Meski dianggap bolot dan gak nyambung, rupanya Pak Bolot menyimpan rahasia besar.
Aji: “Pak… panjenengan yakin? Di mana letak batu itu?”
(Pak… Anda yakin? Di mana letak batu itu?)
Pak Bolot: (senyum cuek) “Wes lali… tapi nek dikasih wedang jahe, sopo ngerti iso eling…”
(Sudah lupa… tapi kalau dikasih wedang jahe, siapa tahu bisa ingat…)