Ini adalah kisah dari beberapa karakter yang ditulis di satu novel.
Sebenarnya, apa itu Cinta dan bagaimana seseorang bisa saling mencintai? Bisakah dia menerima kekuranganku? Dan mampu kah aku menerima kekurangannya?
Mohon dukungannya ya teman-teman. Karya ini tidaklah sempurna tanpa saran dan komentar kalian♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siuman
Pukul 10 Siang, aku kembali mendapatkan kabar. Kelas online hari ini di liburkan karena kondisi Mahasiswa lain dan Dosen yang sibuk dengan pengusutan dari pihak kepolisian.
Pemberitahuan lain keluar dari pihak kampus, tentang pertukaran Mahasiswa. Dari pihak Kampus, mengurusi peniadaan pertukaran Mahasiswa untuk periode ini. Uang bulanan sudah telanjur masuk ke tabungan kami.
Pihak kampus, memberi kompensasi terhadap kami. Kompensasi itu, berupa sertifikat nilai terhadap Mahasiswa Pertukaran yang harusnya keluar semester akhir, dan uang transport kami. Pihak Kampus juga, memberi informasi apabila uang bulanan yang di kirim oleh pemerintah, tidak perlu di kembalikan. Sebenarnya, ini sedikit merugikan bagiku. Pembelajaran di Kampus ini, sungguh mudah di terima oleh nalarku.
Aku kembali mengunjungi rumah sakit. Kini, aku berada di ruangan Sekar. Di sana, sudah ada Khanza. Dia tidak lagi menggunakan kursi roda. Tapi, kini dia mengunakan kruk siku.
"Siang, Bu" Sapaku sambil masuk ke dalam ruangan Sekar.
"Oh, nak Galih. Kamu gak kuliah hari ini?" Tanya Bu Vety kepadaku.
"Hehe, kelas lagi libur bu. Ini saya bawa roti untuk cemilan ibu di sini. Barang kali, Khanza mau. Dimakan aja" Ucapku meletakkan sekantung plastik berisi roti dan makanan ringan. Tak lupa, aku meletakkan juga satu botol besar air meneral di sana.
"Aduh, nak Galih. Kenapa kamu repot-repot begini. Ibu bisa pergi sebentar untuk membelinya sendiri" Ucap Bu Vety menepuk bahuku.
Aku mengosok tengkukku. "Sudah bu, lebih baik uangnya bisa di buat yang lain" Jawabku.
Khanza mengangguk dan membuka kantung plastik itu.
"Sekar, masih belum sadar bu?" Tanyaku sambil melihat Sekar dari dekat.
"Belum" Jawabnya.
"Lalu, apa Elgard sudah ke sini bu?"
"Belum, mungkin dia masih sibuk. Ibu titip Sekar sama Khanza dulu ya. Ibu belum mandi" Ucap Bu Vety dengan malu-malu.
Aku tersenyum tipis. "Baik bu, jangan terburu-buru" Ucapku.
Bu Vety meninggalkan kami. Aku merasa Khanza terus menatapku. Aku merasa risih. "Kau kenapa?" Tanyaku.
"Sebenarnya, hari ini aku sudah di perbolehkan pulang. Aku akan tinggal di rumah Elgard. Tapi, aku tidak bisa melakukan apapun sendirian. Kau paham maksudku kan?" Tanyanya.
"Kau, malu berkata minta tolong kah? Tidak masalah. Aku akan membantumu selagi Elgard sibuk dengan kegiatannya" Jawabku.
Kami berdua mengobrol panjang, entah topik apa yang kami bicarakan. Hingga lari ke mata kuliah. Kerongkonganku terasa serak karena berbicara dengan Khanza tak ada akhirnya.
Aku membuka ranselku, mengambil air mineral 350 ml di dalamnya. Saat aku membuka penutup botol itu, aku merasa seolah ada seseorang yang memperhatikanku. Aku melihat ke arah Sekar. Merasa ada yang salah.
Mata Sekar terbuka, dia melihat ke arahku.
"Za! Khanza! Sekar Siuman!" Aku menutup balik botol minumku.
Khanza mendatangi Sekar dengan terburu. "Panggilin Dokter!" Tegas Khanza.
Hatiku seakan ingin meledak, sangking senangnya dengan kesadaran Sekar. Aku berlari ke arah perawat yang terdekat. Memberitahu pasien di kamar itu sudah sadar. Dia segera berlari ke arah ruangan dokter tak jauh darinya dan dia kembali bersama Dokter dengan terburu-buru.
Khanza memberi ruang untuk Dokter dan Perawat itu memeriksa kondisi Sekar.
Aku melihat Dokter itu menggunakan senter kecilnya ke arah mata Sekar. Mungkinkah, dia memeriksa pupil Sekar. Kemudian, Dokter itu menggunakan stetoskop, memeriksa degup jantung Sekar.
"Apa kamu bisa mendengarku dengan jelas?" Tanya Dokter itu.
Sekar mengangkat tangan kanannya perlahan. Memberi sedikit gerakan mengepalkan tangan kemudian menunjukkan ibu jari dan jari kelingkingnya [Iya].
Khanza tiba-tiba meremas lengan kananku dengan kencang. Aku kesakitan dan sontak melihatnya. Kedua mata Khanza terbelalak lebar. Layaknya orang terkejut.
"Kau kenapa?" Lirihku menepuk tangan kirinya itu.
"Tidak mungkin" Ucap Khanza yang membuatku tak paham.
Aku melihat ke arah Sekar. Sekar melihat ke arahku. Melambai kecil dari sana dengan jari-jarinya.
Aku sungguh tak mengerti.
Dokter itu melihat ke arah kami. "Apa pasien memiliki masalah dengan berbicara?" Tanya Dokter itu.
Khanza menutup matanya dengan telapak tangannya. "Iya, tapi dia belum lama ini pulih. Apa yang terjadi dengannya, Dokter" Tanya Khanza dengan nada suara lemas.
Dokter itu kembali melihat ke arah Sekar. "Apa kamu ingat dengan usiamu sekarang?" Tanya Dokter itu dan diangguki Sekar.
Tangan Sekar kembali bergerak, menunjukkan usianya saat ini. Jari-jari Sekar menunjukkan dia sekarang berusia 14 tahun.
Itu, usia saat dia saat masa SMP.
Aku mendekat ke arah Dokter itu, menarik lengannya, memaksanya untuk melihat ke arahku.
"Bukankah, waktu itu Anda hanya berkata dia kehilangan ingatannya 2 atau 3 tahun? Dia sekarang akan berusia 20 tahun, Dokter! Apa ingatannya bisa pulih? Tolong katakan 'iya' padaku. Aku baru saja mendengar suaranya. Baru saja mendengar nasehatnya!"
Sungguh hatiku terasa hancur. Tubuhku seolah di hantam ke Bumi dengan keras. Mengetahui kondisi Sekar saat ini.
"Besar kemungkinan bagi Pasien hanya mengalami hilang ingatan sementara. Tapi, tidak menutup kemungkinan kecil bagi Pasien mengalami kehilangan ingatan secara permanen. Meski begitu, Anda berdua sebagai orang terdekat pasien, harus bersabar untuk membantu pemulihan ingatannya secara berkala" Ucap Dokter itu.
"Perawat akan datang persetengah jam. Apabila Pasien mengalami sesuatu, tolong segera panggil kami" Dokter itu, pamit pergi.
Khanza mendekat ke arah Sekar dengan lemah. Dia mengusap pipi Sekar dengan lembut. Hatiku terasa teriris melihatnya.
Sekar menepis tangan kiri Khanza dan mengerakkan tangannya. Aku tau dengan isyarat itu. Dia bertanya [Kamu siapa?] kepada Khanza.
"Aku Khanza. Kekasihmu" Ucap Khanza perlahan sembari menggunakan bahasa isyarat.
Layaknya, Sekar tak percaya dengan hal itu. Dia melihatku. "Itu benar. Dia Kekasihmu. Usiamu sekarang 20 tahun. Istirahatlah dulu, Apa kau lapar?" Tanyaku.
"Eekhh" Sekar memegang kepalanya. Mungkin akan ada banyak pertanyaan di kepalanya itu. Dia kembali melihat Khanza yang menangis di sebelahnya.
Tangan dan jari-jari Sekar terlihat bergerak. Aku tidak tau dia berkata apa. Khanza memegang jari-jari Sekar itu.
"Sekar, itu bukan mimpi. Ibu Sekar memang sudah tiada. Sekarang, ada Ibu Vety yang merawat Sekar. Beliau, sudah membantu Sekar, hingga Sekar bisa berbicara" Ucap lembut Khanza.
Aku sungguh ingin menangis. Aku merasa seolah aku menyakiti diriku sendiri. Aku memilih untuk keluar dari ruangan itu. Memberi kabar Elgard tentang kesadaran dan kondisi Sekar saat ini.
Mungkin, dia memegang ponselnya saat ini. Dia langsung menelepon.
[Syukurlah, tapi gimana Khanza?]
"Aku membiarkan dia berbicara berdua dengan Sekar"
[Lalu, dimana Bu Vety?]
"Dia sedang mandi, di luar"
[Iya dah, entar malem aku ke sana. Ini aku masih ada di luar kota. Apa ada hal yang Sekar butuhin?]
"Kalau sekarang, mungkin belum ada" Jawabku.
[Iya dah, makasi kabarnya. Kabarin terus ya, ku tutup telponnya].
Tapi benarkah aku yang membiarkan mereka mengobrol berdua, atau aku berusaha melarikan diri dari perasaan ini?
Aku mendonggakkan kepalaku.
Aku tidak berbohong apabila saat ini hatiku terasa sakit. Aku tidak berbohong apabila hari ini aku marah pada diriku yang pengecut ini. Kenapa harus aku yang menjadi seperti ini?
Benarkah ini yang kuinginkan selama ini? Menginginkan Sekar bahagia dan tersenyum dengan orang yang bukan 'AKU' disana?
gua udah Vote, Vav, Rate, Thor
nyicil gua bacanya
Sorry banget thor🙏