Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjaga
"Pernah lewat, dulu waktu masih sekolah." jawab Bara. "Dah sana, masuk!"
"Gak mampir dulu?" tanya Wulan.
"Enggak."
Jawabannya singkat padat, jelas, tanpa basa-basi, membuat Wulan jadi kecewa. Padahal sempat berharap Bara akan menerima tawaran mampir sebentar.
Begitulah Bara yang sebenarnya. Wulan mengangguk kemudian berbalik masuk ke dalam rumah. Tidak ingin menoleh lagi sampai akhirnya suara deru motor meninggalkan tempat itu.
"Dia baik, tapi cuma baik saja." gumam Wulan, menepis rasa yang sempat mengaduk-aduk hatinya.
"Sudah pulang to Nduk?" suara serak khas nenek-nenek membuat Wulan menjulurkan kepalanya ketika membuka jendela kamar yang tertutup karena angin.
"Iya Mbok!" jawab Wulan setengah berteriak.
"Kok mukanya pucet begitu?" Mbok Sum meletakkan lap yang baru saja di cucinya, lalu mendekati Wulan dari luar jendela.
"Ndak tahu Mbok, pusing banget." jawab Wulan.
Wanita tua itu meninggalkan jendela Wulan, kemudian memutar melewati pintu belakang yang lebih dekat dengan kamar Wulan. "Buka Nduk!"
Wulan pun membuka pintu belakang, mempersilahkan si mbok Sum itu masuk ke dalam.
"Mandi sana! Biar mbok kerokin, sekalian di urut." titah Mbok Sum, perempuan tua itu mencari wadah menuang minyak untuk memijat Wulan.
Wulan bergegas ke kamar mandi melaksanakan mandi kilat, takutnya bertambah pusing terlalu lama kena air dingin.
"Pusingnya seperti dulu-dulu itu?" tanya Mbok Sum, ketika Wulan sedang mengeringkan tubuhnya, bersiap di pijat mbok Sum.
"Iya." jawab Wulan.
"Ada yang iseng?" tanya Mbok Sum lagi.
Wulan menoleh mbok Sum sejenak, dari semua orang yang dekat dengannya hanya mbok Sum yang benar-benar mengerti keadaan Wulan, termasuk Ratih, dia tidak peka akan apa yang dialami Wulan. Perihal sihir dan ghaib, Ratih tidak terlalu percaya itu, padahal hal begitulah yang sering kali menyiksa fisik dan batin Wulan.
"Ada Mbok." jawab Wulan, mengangguk. Dia mengingat tadi sempat kesal gegara pria bernama Usman.
"Ya sudah, jangan dipikirkan biar tidak bertambah pusing." Mbok Sum meminta Wulan tidur tengkurap dan mulai memijat sekalian di kerok.
"Kenapa ya Mbok, Wulan sering kali merasakan hal seperti ini, nggak enak banget sempoyongan seperti mabuk kendaraan." tanya Wulan, sambil memejamkan mata menikmati pijatan si mbok Sum. "Seandainya saja Wulan bisa ilmu kebatinan, mungkin Wulan bisa mengerti alasannya Wulan selalu seperti ini. Andai ada yang jahat, Wulan bisa tahu dan melawan, ya kan?"
Mbok Sum terkekeh, kembali mengoles minyak di punggung Wulan laku berkata. "Kamu tidak merasa to? Kamu sudah tidak perlu mempelajari ilmu-ilmuan. Kamu sudah membawanya sejak lahir. Rasa pusing mu, lemas dan mual itu reaksi tubuhmu, ngasih tanda kalau ada yang menyerang mu diam-diam. Tubuhmu melakukan perlawanan tanpa di perintahkan, itu yang bikin kamu lemas." jelas mbok Sum.
"Kok si Mbok tahu? Mbok punya ilmu kebatinan juga?" tanya Wulan, menoleh mbok Sum penuh tanya.
"Enggak punya." jawab si mbok, meminta Wulan kembali ke posisi santai.
Wulan pun kembali tengkurap santai menikmati pijatan mbok Sum, janda tua tanpa anak yang sangat-sangat baik sekali.
Saking nikmatnya pijatan si Mbok, Wulan sampai tertidur hingga menjelang Maghrib, barulah ia bangun. Tapi bukannya sembuh, malah bertambah pusing tujuh keliling. Langit-langit berputar, mual tidak terkira tapi tidak bisa mengeluarkan apapun.
"Buk! Ibuk!" teriak Wulan, memanggil ibunya yang terdengar repot di dapur.
"Ada apa? Kamu tidur menjelang Maghrib, bangun-bangun malah teriak. Kaget!" jawab Ratih.
"Buk, kepala Wulan pusing, gak bisa berdiri." ucap Wulan, meraba-raba kasurnya sendiri, mencari pegangan yang nyaman.
"Lho! Bukanya tadi udah di kerokin sama Mbok Sum?" Ratih meraih tangan Wulan, mengatur bantal dan memintanya menyandar.
"Nggak tahu Buk." Wulan meringis, memegangi kepalanya yang terasa tidak karuan.
"Berobat ke dokter saja, kalau begini malah Ndak bisa ngapa-ngapain." Ratih memanggil Jaka agar segera mengantar Wulan berobat.
"Masih bisa pegangan Ndak? Atau ibuk ikut?" tanya Ratih, ketika Wulan naik ke motor di bonceng Jaka.
"Bisa Buk, Wulan pergi sama Jaka saja." jawab Wulan.
"Jaka! Jaga Mbak mu!" teriak Ratih khawatir.
Bukan tidak ingin di dampingi sang ibu, tapi tujuan Wulan bukan ke dokter, melainkan ke rumah ustadz Ilman.
Sudah lama sekali dia tidak mendatangi sang ustadz, sejak beberapa tahun lalu ustadz Ilman pulang ke rumah mertua karena orang tua istrinya sakit-sakitan. Dan baru beberapa bulan ini kembali ke sini karena mertua beliau sudah meninggal.
"Assalamualaikum Ustadz." tepat ketika sampai, sang ustadz baru saja pulang dari mesjid.
"Wulan? Kamu kenapa?" Ustadz Ilman langsung mengajak Wulan masuk kedalam rumahnya.
"Jaka, bantu Mbak mu duduk." titah sang ustad kepada Jaka.
Jaka pun menopang tubuh Wulan yang semakin lemas.
"Ustadz, tolong!" ucap Wulan.
Sang ustadz menatap wajah Wulan yang semakin pucat. Kemudian melihat sisi lain kiri dan kanan.
Tampaklah di sana enam sosok ghaib yang tidak di lihat siapapun kecuali ustadz. Dua diantaranya babak belur seperti habis berkelahi, tiga lainnya berdiri agak jauh di belakang mengibas-ngibaskan senjata. Bisa di tebak mereka sedang sombong karena mengalahkan seseorang. Ustadz menggeleng.
Dan yang paling menarik perhatian ustadz adalah yang satu ini, dia memegangi tubuh Wulan seperti yang dilakukan Jaka. Tatapannya dingin, tapi sangat siaga memperhatikan segala sesuatu tentang Wulan.
"Wulan, lepaskan ikat pinggang yang kamu pakai." titah sang ustad, melirik kepada dua sosok babak belur di samping Wulan, mereka meringis lelah, dan sakit.
Wulan meraba pinggangnya, kemudian melepaskan ikat pinggang yang terselip didalam bajunya, yang ternyata adalah dua batu yang di berikan Ki Mangku Alam padanya.
Seketika dua sosok yang babak belur itu menghilang menjadi asap, masuk ke dalam dua batu milik Wulan. Di susul tiga sosok di belakangnya, mereka mengepul seperti abu dan hilang entah kemana.
Tapi sosok yang menopang tubuh Wulan, tidak bergeming dan tetap pada posisinya. Sampai ketika anak-anak di samping rumah ustadz mengaji bersama-sama, mereka serentak menghafalkan banyak doa-doa pendek. Anak-anak itu membacanya sangat kencang.
Sang ustad memandangi sosok pria berambut panjang itu, sampai dia sendiri mengangkat wajahnya dan mendongak kepada ustadz. Kemudian menghilang masuk kebagian pundak tubuh Wulan. Tepatnya otot bahu dekat dengan tulang belakang, di sanalah dia berdiam, beristirahat dalam hangatnya aliran darah. Orang terkadang menyebutnya Khodam.
Ustadz Ilman hanya bisa diam menyaksikan makhluk pendamping Wulan itu, dia satu-satunya yang menjaga Wulan siang dan malam, kecuali ketika Wulan sholat dan berada di tempat yang aman, seperti saat ini berada di tengah-tengah orang mengaji, dekat orang-orang beriman.
"Minumlah air doa ini Nduk, biar batinmu tenang." titah sang ustadz, setelah sejenak melafalkan doa-doa.
Wulan meminumnya hingga tandas, lalu menyandar sambil memejamkan mata. "Wulan kenapa Ustadz?" tanya nya.
Ustadz menjawab dengan tarikan nafas berat. Ingin sekali mengatakan kalau pendampingnya kalah, kelelahan, sehingga Wulan mengalami pusing tidak terkira. Tapi urung, lalu hanya mengatakan intinya saja.
"Tidak apa-apa, kamu hanya perlu istirahat secara batin." kata Ustadz.
"Maksudnya?"
"Mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa. Insyaa Allah besok kamu baik-baik saja."
Wulan mengangguk mengerti, sayangnya dia sedang berhalangan.
Setelah agak membaik ia pun minta izin pulang bersama Jaka.
"Hati-hati Nduk, kalau merasa berat, lepaskan." ucap ustadz Ilman, tentu hanya Wulan yang mengerti maksudnya.
Memiliki penjaga titipan seperti batu yang di simpan Wulan terkadang membuat dia merasa berat dan lelah. Itu adalah reaksi mereka yang sebenarnya lelah akan tugasnya tidak bisa kemana-mana.
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya