Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Sisil membuka matanya. Pandangannya berputar sebentar sebelum fokus, dan teror seketika menyergapnya.
Ia berada di ruangan kecil yang dengan tangan dan kakinya terikat erat ke belakang sebuah kursi kayu.
Pergelangan tangannya sakit, dan mulutnya disumpal kain tebal yang membuat ia sulit bernapas.
"Mmmmpphh! Mmmmpphh!"
Sisil meronta, berusaha berteriak, tapi yang keluar hanyalah suara erangan teredam.
Ia memutar kepalanya dengan panik, mencari siapa yang melakukan ini.
Tiba-tiba, Sania muncul dari bayangan, wajahnya dingin, tanpa sedikit pun rasa kasihan.
Ia mendekat, mata mereka bertemu. Sania kini terlihat jauh berbeda dari Sania yang lembut yang dikenalnya ada kekerasan dan tekad yang kejam di matanya.
Dengan gerakan cepat, Sania mencabut kain sumpal dari mulut Sisil.
Sisil langsung terbatuk dan menarik napas dalam-dalam, sebelum melontarkan teriakan panik.
"Sania! Lepaskan aku! Apa-apaan ini?! Kenapa kau melakukan ini?!"
Sania tidak bereaksi. Ia berjongkok di hadapan Sisil, menatapnya tajam.
"Sisil," ucap Sania, suaranya rendah dan menusuk.
"Pertanyaanku cuma satu. Jawab jujur, dan aku akan mempertimbangkan untuk tidak menyerahkanmu ke polisi atas kasus pembunuhan Adam."
Mendengar nama Adam, wajah Sisil langsung pucat.
"Apa yang kamu lakukan di losmen kecil ini? Apa yang kamu cari?" tanya Sania.
Sisil menggelengkan kepalanya kuat-kuat, air mata mulai menggenang.
"Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Aku hanya berlibur. Aku tidak melakukan apa-apa!"
Wajah Sania mengeras. Ia sudah terlalu lelah untuk menghadapi kebohongan.
PLAK!
Tamparan Sania mendarat keras di pipi Sisil. Suaranya menggema di ruangan sempit itu.
Sisil menjerit kesakitan, rasa perih di pipinya jauh lebih ringan daripada rasa takut yang mencekiknya.
"Jangan pernah berani berbohong padaku lagi!" desis Sania.
"Aku tahu kamu bukan kebetulan ada di sini. Jawab! Kenapa kau mengikutiku?!"
Sisil terisak, menatap Sania dengan ketakutan luar biasa. Pertahanannya runtuh seketika.
"Ampun, Sania! Ampun! Aku mohon!" Sisil menangis meraung.
"Bukan aku! Bukan aku yang mau! Salvatore meminta ku untuk mengikutimu! Dia bilang aku harus mengawasi setiap gerak-gerikmu! Dia mencarimu dan flashdisk itu!"
Sania berdiri, napasnya memburu. Matanya kini penuh perhitungan.
Ternyata dugaannya benar. Sisil adalah umpan yang dikirim oleh Salvatore.
"Apa rencana Salvatore?" tanya Sania, tidak memberi Sisil kesempatan untuk bernapas.
"Cepat katakan!"
Tepat saat Sania bersiap untuk menekan Sisil lebih jauh, pintu gudang terbuka perlahan, dan Bima muncul.
Ia berjalan pincang, dengan tongkat di tangan, wajahnya tegang dan khawatir. Ia pasti mendengar suara tamparan dan teriakan Sisil.
Melihat Sisil terikat, Bima menghela napas panjang.
Ia mengerti kenapa Sania melakukan ini, tapi ia tidak ingin Sania mengambil risiko lebih jauh dalam keadaan emosional.
"Sania, tenang," pinta Bima, suaranya mengandung otoritas lembut yang langsung menenangkan Sania.
Ia menaruh tongkatnya dan dengan hati-hati meletakkan tangannya di bahu istrinya.
"Biar aku yang urus sekarang."
Sania menoleh pada Bima, matanya masih dipenuhi kobaran amarah, tapi ia mengangguk patuh. Ia mundur selangkah, memberi ruang pada Bima.
Bima duduk di sebuah kotak kayu tua di depan Sisil.
Ia terlihat tenang, tetapi sorot matanya yang gelap menunjukkan betapa seriusnya situasi ini. Rasa sakit di kakinya seolah hilang, digantikan oleh fokus pada ancaman di depan mereka.
"Sisil," kata Bima. Suaranya tidak keras, tetapi nadanya dingin dan sangat mengancam.
"Kita tidak punya waktu untuk drama. Istriku sudah cukup menderita. Jadi, aku minta kamu mengatakan sebenarnya."
Sisil menatap Bima, ketakutan di wajahnya bercampur dengan rasa bersalah yang ia rasakan pada Bima di masa lalu.
"Bima... aku—"
"Jangan sebut namaku. Katakan apa yang kamu ketahui tentang rencana Salvatore," potong Bima tanpa ampun.
"Kenapa dia mengirimmu ke sini? Apa rencananya jika kamu menemukan kami?"
Sisil menelan salivanya, suaranya bergetar. "Dia... dia mencarimu dan Sania ke mana-mana. Dia sudah tahu kalian lolos dari klinik itu. Dia menutup semua jalur udara dan pelabuhan. Dia tidak peduli dengan uang atau bisnisnya lagi. Dia hanya ingin flashdisk itu dan Sania."
Sisil terisak lagi. "Dia menyuruhku mengawasimu. Dia bilang, jika aku menemukan kalian, aku harus memberi tahu orangnya untuk mengepung losmen ini, lalu berpura-pura menjadi korban di sini. Dia bilang, dia akan menjadikan Sania umpan agar kamu keluar dari persembunyian."
Sania tersentak, wajahnya kembali pucat.
Bima menatap Sisil tanpa berkedip. "Jadi, kamu sudah menghubungi anak buahnya?"
Sisil menggeleng panik. "Belum! Sumpah, Bima! Aku baru saja melihat Sania, dan dia sudah membiusku sebelum aku sempat melakukan apa-apa! Aku bersumpah!"
Bima menoleh pada Sania, matanya menyiratkan kelegaan.
Sania bertindak cepat, dan itu menyelamatkan mereka.
Bima kembali menatap Sisil, kini dengan tatapan yang lebih dingin.
"Di mana ponselmu? Dan siapa yang harus kamu hubungi?"
Sisil menunjuk ke arah tumpukan kardus dengan dagunya.
"Ponselku di sana. Dan aku harus menghubungi seseorang bernama Marco. Dia yang
bertanggung jawab di area ini."
Bima mengangguk.
Ia bangkit dengan bantuan Sania, meraih ponsel Sisil.
"San," Bima berbalik pada istrinya.
"Kita harus keluar dari sini sekarang juga. Sebelum Marco tahu Sisil gagal melapor."
Sania mengangguk, semua amarahnya kini berubah menjadi insting bertahan hidup yang tajam.
"Apa yang harus kita lakukan dengan dia?" tanyanya, menatap Sisil.
Bima memandang Sisil, lalu menghela napas.
"Kita akan bawa dia. Dia bukan lagi mata-mata Salvatore. Dia sekarang adalah kartu As kita yang kedua."
Bima dan Sania bertindak cepat, didorong oleh alarm bahaya yang berbunyi nyaring di kepala mereka.
Setelah Bima mengambil ponsel Sisil, ia tahu mereka hanya punya waktu beberapa menit sebelum Marco mulai curiga karena Sisil tidak melapor.
"Cepat, San. Ambil barang-barang kita. Kita harus pergi sekarang," perintah Bima, sambil memasukkan ponsel Sisil ke saku jaketnya.
Sania bergegas kembali ke kamar losmen dan dalam waktu kurang dari satu menit, ia kembali membawa tas ransel mereka.
Sementara itu, Bima menyeret Sisil yang masih terikat keluar dari gudang.
Bima berjalan pincang, tapi adrenalin memberinya kekuatan ekstra. Sisil, meskipun sadar, terlalu ketakutan dan tidak berdaya untuk melawan.
"Bim, di mana kau akan menaruhnya?" tanya Sania cemas, saat mereka mendekati mobil.
Bima membuka bagasi mobil yang cukup luas.
"Dia tidak bisa duduk di dalam. Terlalu berisiko. Kalau ada yang melihat, kita dalam masalah. Dia harus di sini."
Dengan sedikit usaha, Bima dengan hati-hati mengangkat dan menempatkan Sisil ke dalam bagasi.
Sisil merintih pelan saat tubuhnya terbaring di atas permukaan yang keras.
"Jangan khawatir, aku akan meninggalkan sedikit celah agar dia bisa bernapas," ucap Bima, menenangkan Sania. Ia mengikat tali lagi pada tangan dan kaki Sisil untuk memastikan ia tidak bisa bergerak sama sekali.
"Bima, kumohon. Disini dingin dan gelap," Sisil memohon dengan suara bergetar.
"Kamu harus diam, Sisil," balas Bima dingin, tanpa simpati.
"Atau aku akan menutup mulutmu lagi. Kamu telah membunuh Adam dan kamu bekerja untuk orang yang mencoba membunuh istriku. Bagasi ini jauh lebih baik daripada yang pantas kamu dapatkan."
Bima menutup pintu bagasi, tidak sampai terkunci rapat, menyisakan sedikit celah kecil.
Sania sudah duduk di kursi penumpang.
Bima langsung masuk ke kursi kemudi, menyalakan mesin.
Dengan hati-hati, Bima melajukan mobil keluar dari area parkir losmen.
Mereka melaju perlahan terlebih dahulu, memastikan tidak ada mobil lain yang membuntuti atau mencurigai kepergian mereka.
"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Bima, melirik Sania yang wajahnya tegang.
"Aku baik-baik saja. Cepat, Bim. Aku ingin kita jauh dari sini sebelum matahari benar-benar terbit," jawab Sania.
Mobil itu akhirnya melaju kencang, meninggalkan losmen kecil di tengah pagi buta, membawa dua orang yang terluka dan satu rahasia yang terikat di dalam bagasi.
Mereka menghilang, sesaat sebelum Marco menyadari bahwa mata-mata Salvatore telah lenyap.