Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 22 ~ Harta, tahta, WANITA
Diantara rasa menggigil yang dimana buku-buku kukunya telah siap memutih, Sekar memejamkan matanya.
Tak ada tiupan angin berarti, aneh tidak? Justru hembusannya itu terkesan membelai lembut. Rasa dingin yang mulai menjalar itu tak dirasakan lagi diantara setengah badan yang telah basah.
Guyuran air dingin membuat otaknya ikut relaks, bersama aroma bunga setaman.
Kini apa? Di waktu semakin larut, amih Mayang melantunkan asmarandana bersama latar gemericik air sungai yang tenang.
Byurr....
Air mengguyur lembut bersama kelopak-kelopak mawar dan kenanga, mulai dari pangkal rambut hingga ujung kaki, seolah setiap tetesnya itu menghapus segala niatan terburuk dari diri manusia yang terkungkung di hati, termasuk rasa kurang bersyukur, iri, dengki. Ruwat, ritual membersihkan....
Sayup-sayup diantara lantunan kidung amih Mayang, ada isakan tangis yang terdengar di telinga Sekar. Dan itu berasal dari depannya, dimana suara itu jelas suara teh Ros. Semakin lama isakan itu semakin terdengar lirih bersama dendangan amih Mayang.
Tak habis di teh Ros, selanjutnya ada teh Sari yang sama-sama terisak. Benar, nada dan syairnya cukup menyayat hati, bentuk dari sebuah refleksi diri.
Segelas wedang jahe bersama umbi-umbian kukus tersaji setelah mereka berganti pakaian. Tepat di waktu yang sudah melewati sepertiga malam, Sekar dan yang lain dibiarkan istirahat lalu sarapan dan pulang kembali ke rumah.
.
.
Keraton memang sudah sibuk sejak beberapa hari ke belakang, mulai dari para ambu yang membuat penganan khas, para abdi dalem yang di beri arahan. Lalu beberapa ornamen kaputren dan ruang bertemu tamu penting yang diganti.
Rupanya keberangkatan ayahanda dan ibunda ke Cirendeu itu tak lain dan tak bukan untuk memberi kabar, jika hari ini akan terjadi. Pertemuan dan perkenalan Bahureksa dan Anjarwati.
Amar yang sejak siang sudah berada di rumah, lalu berkutat dengan pekerjaan, baru saja keluar dari ruang kerja yang biasa dihuni Bahureksa.
Amih, Mahiswar yang paling sibuk jika akan ada acara di keraton sebab, ia yang selalu dipercayai oleh ibunda membantunya, dimana beberapa sanggar dibawah naungan keraton kasepuhan dalam tanggung jawabnya.
"Kenapa harus ambil dari luar?" tanya ibunda melihat susunan para pengisi acara yang beberapa hari ke depan akan berdatangan ke keraton.
"Untuk yang ini, atas permintaan den bagus Reksa sendiri, Ceu. Dia yang minta agar anak asuhan Mayang diikutkan. Ceuceu tenang saja, Mayang...aku mengenalnya."
Tanpa keraguan dan kecurigaan ibunda mengangguk percaya, "ya sudah. Kapan jadinya para pengisi acara akan datang?"
"Untuk kelompok angklung buncis, tarawangsa, sanggar Ciptagelar akan datang sore ini, ceu. Kalo untuk sanggar Mayang besok.."
Ayunan langkah diantara jarik hijau dan kebaya merahnya terhenti demi melihat kedua putranya yang terpantau akur, tanpa tau di belakangnya mereka lebih sering bertengkar dan bersaing. Putra kebangaan calon penerus tahta, senyuman puas tercetak di wajah ibunda melihat keduanya tumbuh menjadi lelaki pintar, tampan, dan mengagumkan.
Jangankan untuk Bahureksa, untuk Amar pun...ia sudah menyiapkan yang terbaik dari yang terbaik menurutnya, bahkan untuk Somantri sang putra selir. Sampai netranya ikut bergerak kala Reksa dan Amar berpisah di persimpangan.
Satu persatu semua rencana dan apa yang sudah ia atur akan tercapai. Semua memang harus tetap pada jalurnya, tetap pada arusnya.
Amar sudah berada di rumah sore itu, memangku mesin tik bersama beberapa map bahan skripsinya. Ia merasa bosan mengerjakan tugas di kamar, inginnya mencari suasana baru....dan akhirnya, ia nyangkut di gazebo taman depan kaputren.
Secangkir kopi susu dan kudapan manis menemaninya menyicil tugas skripsi agar segera sidang dan berakhir masa-masa indah kuliahnya.
Somantri yang memang jarang keluyuran seperti Amar jelas memperhatikan adiknya yang dalam jenjang pendidikan satu angkatan, "rajin sekali, sudah cicil, ini untuk skripsi?"
Amar menoleh dan mengangguk, "kau kan tau. Aku suka keluar....biar nanti aku punya banyak waktu senggang." jawabnya mulai membuka map pertama, oke...ia akan menulis judul dan temanya dulu.
Somantri yang hari itu merasa tak memiliki kesibukan turut melihat dan merecoki, "isue apa yang kau ambil?" tanya nya mengambil satu map dan membacanya.
"Kau dan aku beda jurusan. Tidak usah mencontek dengan dalih terinspirasi, plagiarisme itu namanya." Amar mewanti-wanti yang langsung membuat Somantri merotasi bola matanya, "kepedean kamu."
Dan beberapa rombongan manusia terlihat berjalan masuk ke bangunan kaputren berbeda, lebih tepatnya bangunan aula dan beberapa pendopo berisi ruangan untuk tamu.
Ada senyum tersungging, namun kemudian Somantri ingat sesuatu yang Bahureksa bicarakan malam lepas padanya, "Mar."
"Hm," Amar masih mendaratkan fokusnya pada file dan mesin tik, tik---tik---tik, Amar mulai mengetik.
"Kau tau, kakang Reksa mengikutsertakan sanggar Mayang di acaranya nanti? Dan kau tebak siapa yang menjadi bintang utamanya?" ucap Somantri membaca makalah lalu bergantian melirik rombongan para pengisi acara di ujung sana yang belum habis.
Seketika Amar terdiam, alisnya terangkat memandang Somantri kemudian beralih pada arah pandangan Somantri dimana rombongan itu masuk ke arah pendopo tamu.
"Aku kira kakang hanya bercanda dan mempermainkan kepolosannya serta emosimu saja saat di pabrik kerupuk. Tapi sepertinya tebakanku waktu itu salah, kakang benar-benar serius kepincut gadis ronggeng bernama Sekar itu, sampai-sampai memintanya langsung pada amih Mahiswar dan pemilik sanggar, bahkan kakang Reksa sampai repot-repot bertemu dengan nyai Mayang."
"Tau dari mana kang Mantri?" tanya Amar mulai serius menanggapi, wajah datar dan tenang Somantri menatap adiknya itu, "kukira kakang Reksa memberitahumu? Sebab kemarin-kemarin kau beberapa kali memberikan laporan keuangan pabrik dan sentra oleh-oleh."
Amar mengernyit, ia langsung berdiri saat ingat sebuah nama, "dimana kakang Reksa sekarang?" Alih-alih menunggu Somantri menjawab, Amar sudah beranjak pergi mencari kakak pertamanya itu ke arah ruang kerja.
Amar, jujur saja saat kakangnya Somantri mengatakan hal itu, jika kakang Reksa memanggil sanggar Mayang untuk mengisi acaranya, pikirannya langsung tertuju pada Sekar. Apa yang dipikirkan Somantri sama dengan pikirannya. Namun benar, mereka meleset.
Apa yang akan dilakukan kakangnya itu.
Amar mengetuk pintu kerja namun tak ada jawaban, lantas ia membukanya dan memang tak ada siapapun di dalam. Lantas ia beralih ke arah perpustakaan, namun belum ia sampai....ia telah melihat Bahureksa sedang nyebat di gazebo dekat dengan ruang makan bersama kemeja batik yang masih menempel di badannya.
"Kang."
"Kenapa?"
"Kakang meminta sanggar Mayang mengisi acaramu?" tanya Amar, Reksa menggerus tembakaunya, "kenapa memangnya?"
Reksa tersenyum miring, "ahhh...Sekar? Jadi kau benar-benar menyukainya? Atau hanya takut aku macam-macam dan mempermainkan seorang gadis polos yang berasal dari rakyat biasa?" tanya Reksa mencibir jiwa kemanusiaan yang Amar punyai.
"Kenapa kau tak bilang padaku?" tanya Amar.
Reksa mengangkat alisnya, "apa urusannya denganmu?"
Amar sempat terdiam, memang benar ..apa urusannya? Memangnya ia siapanya Sekar?
"Ini acaraku Amar, jadi suka-suka ku. Terserah aku, siapa saja yang mau kuundang. Menurutku penampilan sanggar Mayang baik, dan aku suka...." ia menarik senyumnya lebih lebar lagi, "terutama Sekar. Ada masalah untukmu?"
Matanya mengilat saat kakangnya mengucapkan itu, seolah ia sedang menghina Amar melalui Sekar, "kang, jangan macam-macam. Ini acaramu, disana akan ada calonmu dan keluarganya. Kalau mereka tau kau justru sedang----"
"Apa?! Mereka tau aku sedang memuja gadis lain?!" Reksa mendengus, "lalu kenapa, apa salahnya? Sudah jadi tradisi kan? Yang ada kamu terlalu mencampuri urusanku, Amar....sudah cukup merasa yang paling bisa meredakan semuanya, merasa paling membantu dan paling sempurna." Murkanya ingin pergi.
"Jangan pernah kamu macam-macam dengan Sekar, kang..." ancam Amar dengan nada normal, tapi sepertinya hal itu justru membuat Reksa meradang dan berbalik, "kenapa memangnya? Kau suka dia, ingin menjadikan dia selir juga?!"
"Ya. Aku menyukainya." Akui Amar.
Reksa mendengus tertawa, "Amar, lantas apa yang sedang kau lakukan sekarang? Justru kau yang sedang macam-macam dengan aturan aristokrat keraton."
"Kau tau, tidak mungkin kau menyukai Sekar tanpa memilih orang lain terlebih dahulu terutama ia adalah pilihan ayahanda dan ibunda. Dan kau tau, aku selangkah lebih awal darimu...untuk memiliki Sekar."
Amar tak gentar, ia memandang wajah kakangnya dengan sorot mata tajam.
"Kau lupa, siapapun yang lahir disini sudah dengan takdir dan kodratnya, serta jodohnya?" Bahureksa bertanya setengah mencibir, sebab sang adiklah yang paling vokal menentang beberapa aturan ayah dan bunda yang tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan atau kebebasan.
"Sekar tidak akan mau kau jadikan selir. Percaya padaku. Dia berbeda, dia bukan gadis bo doh yang gila harta dan kekuasaan. Dia tidak seperti gadis lain." Jawab Amar seolah yang paling tau.
Reksa kembali mendengus dan tertawa kecil, "wanita mana yang tak suka uang, tak suka laki-laki yang punya segalanya. Apalagi Sekar yang hanya seorang gadis kampung biasa. Kita lihat, siapa yang akan menjadikannya selir lebih dulu?!"
Reksa meninggalkan Amar.
Sekar memasukan beberapa pakaian yang menurutnya layak dan tak memalukan untuk dipakai.
"3 hari mak," ucap Sekar, seolah paham dengan kegundahan yang tersirat dari wajah mak.
"Hati-hati. Jangan macam-macam atau bertindak gegabah, ya neng..."
Sekar mengangguk tersenyum mengusap bahu mak, "do'akan yang baik-baik untukku mak."
.
.
.
Note :
Ceuceu \= mbakyu
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏