Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Membuat Harinya Berantakan
Dexter keluar apartemen mencari sarapan, dia bertemu dengan Hulya dan Marchel yang kini akan pergi ke butik. Hulya tersenyum ramah seperti biasa pada Dexter, senyuman yang mampu menyihir Dexter hingga lupa diri.
Marchel yang melihat hal tersebut langsung memeluk pinggang Hulya dengan posesif.
Dexter tak memperhatikan perlakuan itu, pandangannya justru tertuju pada wajah Hulya— wajah yang dia jadikan fantasi ketika berhubungan dengan Tifani semalam.
“Mau ke butik?” tanya Dexter untuk membuka sapaan pagi ini pada Hulya.
“Iya, kamu sendiri mau ke mana?” tanya Hulya kembali, dia tidak menyadari kalau Marchel cemburu.
“Nyari sarapan, karena pagi ini aku tidak bisa sarapan denganmu,” canda Dexter yang dibalas senyuman oleh Hulya, hal itu hampir menyulut emosi Marchel.
“Kami duluan Dexter,” timpal Marchel lalu memasuki lift terlebih dahulu, suasana menjadi tegang antara Hulya dan Marchel di dalam lift.
“Kamu itu tidak bisa ya, biasa saja pada Dexter? Apa harus semanis dan selembut itu?” Hulya mengerutkan dahinya menatap Marchel.
“Mau biasa bagaimana lagi? Aku udah biasa sama Dexter, kamu saja yang menanggapinya secara berlebihan.”
“Aku tidak berlebihan, aku bisa lihat kalau dia suka sama kamu.”
“Stop Marchel. Aku tidak pernah berpikir begitu, Dexter baik padaku karena dia memang baik, bukan berarti dia suka. Jangan apa-apa kamu kaitkan dengan perasaan.”
“Kamu itu jangan terlalu polos begini, Hulya.”
“Sudahlah Marchel, aku lelah berdebat denganmu. Yang ada nanti kamu emosi, aku juga emosi dan kita bertengkar. Aku malas berada di dalam situasi itu lagi.” Hulya melangkah lebih dulu keluar dari lift setelah mengeluarkan uneg-unegnya lalu diikuti oleh Marchel.
Di dalam mobil, Hulya sibuk dengan ponselnya sedangkan Marchel masih meredam emosi, mengingat bagaimana tatapan Dexter pada Hulya tadi, sebagai pria yang sangat mencintai Hulya, dia sangat tahu arti tatapan Dexter tadi.
“Sibuk sekali kamu dari tadi? Chattingan dengan Dexter?” tuduh Marchel yang membuat Hulya mendengus kesal.
“Nih lihat, aku hanya scroll sosial media saja, tidak chattingan sama siapa pun, kamu ini kenapa?”
“Aku cemburu Hulya, aku benci jika ada pria lain yang menatapmu begitu.”
“Terus aku harus bagaimana? Ini bukan salahku.”
“Iya aku tau itu bukan salah kamu, tapi apa tidak bisa kamu merespon biasa saja?”
“Aku sudah biasa Marchel, aku bahkan tidak kecentilan sama Dexter.”
“Kamu itu terlalu ramah sama dia, Hulya. Kenapa harus memberikan senyuman begitu manis padanya?”
“Jadi? Kamu mau aku ketus gitu sama dia? Emang kamu pikir aku ini gila? Orang tidak punya salah malah aku jutekin?”
“Jangan-jangan kamu suka ya sama Dexter?” Hulya mengepalkan tangannya karena terus dituduh yang bukan-bukan oleh Marchel.
“Jangan membuat suasana hatiku rusak Marchel, aku tidak suka memulai hari dengan mood yang berantakan.”
“Terserah kamu.”
...***...
Hulya sibuk dengan pekerjaannya, mencoba untuk menghindari percakapan intens dengan Marchel. Baginya, jika sudah bicara dengan Marchel, pasti ujung-ujungnya bertengkar dan salah paham. Terlebih dia masih takut untuk dikasari lagi.
“ini sudah malam, ayo pulang! Mau sampai jam berapa kamu di butik ini?” Hulya masih berkutat dengan kertas desain yang ada di depannya tanpa mempedulikan Marchel yang terlihat jenuh.
“Kalau kamu mau pulang ya silakan Marchel, aku masih sibuk,” sahut Hulya mencoba tetap fokus pada pekerjaannya.
“Kamu juga butuh istirahat, jangan kerja sampai begini juga.”
“Aku tidak suka diatur sama kamu, lagian kamu ini cerewet sekali dari tadi. Aku lelah, baru sehari kamu sama aku, tapi aku udah jengah dan risih.”
“Hah? Jadi bagimu aku ini pengganggu?”
“Kamu pikir saja sendiri.”
“Pulang sekarang sebelum aku membakar tokomu ini.”
“Kebiasaan mengancam itu tak pernah hilang darimu ya? Kamu pikir aku takut? Ya sudah bakar saja,” tantang Hulya, ia mengemasi barangnya dan keluar dari sana, membiarkan orang kepercayaannya untuk menutup butik.
“Hulya, mau ke mana?” tanya Marchel saat Hulya tidak menaiki mobilnya.
“Aku mau naik taksi, aku lelah sama kamu, Marchel.”
“Kamu jangan seperti anak kecil Hulya, ayo ke mobil!”
“Aku tidak mau, aku mau pulang sendiri. Lagian kamu ini bukan suamiku lagi, jangan kebiasaan mengendalikan aku. Aku tidak suka.”
Marchel mencengkeram tangan Hulya dan menariknya, begitu tersinggung dia saat Hulya mengingatkan status mereka saat ini.
Hulya meringis, tangannya perih digenggam kuat oleh Marchel begitu.
“Lepas Marchel, kamu itu apa-apaan?” Hulya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Marchel.
“Kau itu bisa menurut padaku tidak? Jangan pancing emosiku, Hulya.”
“Selama ini aku selalu menurut padamu, bahkan sampai detik di mana kau menceraikan aku, apa kau lupa? Selama menjadi istrimu, aku tidak pernah membantahmu kan, sekarang kau bukan siapa-siapaku, lepaskan aku, Marchel. Jangan gila.” Hulya terus memukul-mukul genggaman tangan Marchel di lengannya.
“Aku tidak suka kau bicara begitu, kita harus rujuk dan semua ini akan kembali seperti biasa. Kamu milikku dan aku berhak atas dirimu.”
“Aku tidak mau, rujuk denganmu sama saja menghancurkan hidupku. Kau terlalu obsesif dan posesif, aku tidak nyaman begitu. Memangnya kau pikir kau itu Tuhan, yang bisa memiliki hak penuh atas diriku?”
Karena keras kepala Hulya tak bisa dikontrol oleh Marchel lagi, pria itu menggendong Hulya dan memasukkannya ke dalam mobil tanpa peduli dengan rontaan mantan istrinya tersebut.
Hulya tidak dibawa ke apartemen, melainkan dibawa kembali ke New York oleh Marchel. Pria itu sudah mengatur perjalanannya dengan Hulya malam ini. Marchel bahkan tidak peduli dengan perlawanan Hulya sampai dia membius Hulya agar tidak berisik lagi.
...***...
Marchel terlihat santai saat mendengarkan amarah Hulya, dia bahkan tidak peduli dengan perkataan Hulya yang terus mengumpatnya.
“Apa tidak ada lagi kata-kata yang bisa kamu keluarkan?” ledek Marchel saat Hulya diam, dia merasa lelah karena sudah bicara tanpa henti sejak tadi tapi tidak di tanggapi oleh Marchel. Pria itu hanya membalas ocehannya dengan senyuman, seakan Hulya bicara dengan tembok.
“Aku haus, mana minum?” pinta Hulya dengan kening yang berkerut, Marchel terkekeh lalu memberikan segelas air putih pada Hulya.
“Bebaskan aku Marchel, aku tidak mau tinggal bersama denganmu lagi.” Nada bicara Hulya mulai melunak, berharap Marchel luluh.
“Awalnya aku pikir kita bisa menjalin hubungan dengan baik kembali, aku membiarkan kamu bebas, tapi ternyata aku tidak bisa. Aku tidak mau ada pria lain yang menyukaimu dan kamu akan berpaling dariku. Jujur saja, menahan hati saat kamu jauh sangatlah menyakitkan untukku, itu membuat diriku gelisah.” Marchel mengungkapkan apa yang dia rasa, terlebih saat melihat Hulya didekati oleh Dexter— semakin membara pikirannya.
“Marchel, pernikahan itu tidak bisa dipaksakan, kita masih bisa menjalin hubungan dengan baik tanpa harus menikah, bukan.”
“Aku tidak mau begitu, aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya. Yang boleh memiliki dan mencintaimu hanyalah aku.”
“Lalu? Kau pikir aku akan menerima semua ini, dengan menyekap aku begini, tidak akan menyelesaikan masalah. Aku tetap pada pendirianku, aku tidak mau kembali padamu.”