NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:372
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Image Fiction TV adalah stasiun TV baru yang meskipun baru berumur lima tahun, sudah menjadi TV nomor satu di Indonesia. Selain dapat ditonton melalui TV biasa, acara-acara IFTV bisa dilihat secara online dan gratis, bahkan tidak ada iklan. IFTV menggunakan metode baru dalam pendanaan acara-acaranya. Setiap acara yang dibuat IFTV sudah langsung disponsori oleh brand tertentu. Dan karena acara yang ada di IFTV adalah acara-acara berkualitas dan tidak ada yang stripping, banyak brand terkenal mau turut mensponsori. Salah satu acara IFTV yang paling terkenal adalah acara pencarian bakat menyanyi You Are My Idol. Tahun ini YAMI memasuki season keempatnya. 

Tampak antrian kendaraan di depan pintu gerbang IFT. Beberapa satpam lari ke gerbang depan untuk membuka gerbang tambahan, sehingga kendaraan dapat dengan lebih cepat diperiksa dan lebih cepat masuk. 

Mobil taksi online yang membawa Quin dan mamanya tiba di depan lobi. Sudah ada spanduk besar bertuliskan Season 4 You Are My Idol dan foto-foto pemenang season sebelumnya. 

“Banyak banget pesertanya,” kata Quin pada Mamanya sambil memakai kardigan hijau muda, untuk menutupi baju seragamnya.

“Ya iya. Banyak yang mau ikut YAMI,” kata mamanya Quin yang baru saja membayar taksi onlinenya. 

Quin melihat ke arah lobi yang penuh dengan anak berseragam SMA, beberapa dari mereka ditemani oleh orang tuanya, “Kayanya percuma aku ikut, Ma. Takut.”

“Menang alhamdulillah, kalah ya udah. Namanya juga usaha,” jawab Mamanya Quin menenangkan. “Ayo!” Mamanya Quin membuka pintu mobil.

Quin dan mamanya turun dari sisi mobil yang berbeda.

“Quin!” Teriak seseorang dari tengah kerumunan.

Quin dan mamanya melihat sekeliling, mencari sumber suara yang meneriakkan nama Quin.

“Quiiin!” Arka muncul dari tengah keramaian, melompat sambil melambaikan tangan dengan senyum lebar di wajahnya.

“Arka,” bisik mamanya Quin pada Quin.

Teringat waktu masih SD, Quin sekelas dengan anak laki-laki yang hiperaktif yang pernah membuat guru kelas mereka jatuh pingsan kepleset di lantai. 

Namanya Arka, badannya kurus, tidak terlalu tinggi, rambutnya lurus, suaranya tidak terlalu bagus, tapi dia pandai bernyanyi. Waktu tujuh belasan, Arka pernah jadi penyanyi di pentas sekolahnya. Dia menanyikan lagu tradisional dengan nada melengking sehingga membuat seluruh murid yang ada di aula tertawa. 

Sayangnya ketika Quin dan Arka beda SMP, mereka tidak pernah saling kontak.

Dari kerumunan, Arka lari mendekati Quin, tapi lantai lobi yang super licin dan mengkilap ternyata tidak bersahabat dengan sepatu Arka. Arka kepeleset dan jatuh nyungsruk di depan Quin dan mamanya. 

Semua orang yang ada di situ terpaku, khawatir Arka pingsan. Ketika satpam mau mendekati Arka, Arka melompat berdiri dan nyengir, “Nggak sakit, kok! Cuma malu!”

Quin dan Mamanya tertawa kecil, melihat Arka celingkukan salah tingkah karena semua orang memperhatikannya.

“Kamu ikutan audisi juga?” Tanya Quin pada Arka.

“Disuruh ibu negara!” Arka menoleh ke arah mamanya yang datang membawa dua tas, tas miliknya dan milik Arka.

“Kamu itu, kebiasaan! Jangan lari-lari! Kaya anak kecil aja!” kata Mamanya yang datang tergopoh-gopoh karena badannya yang gemuk dan pendek.

“Bu Arni!” Kata Mamanya Quin pada Mamanya Arka. Mereka lalu cipika-cipiki.

Quin tiba-tiba lupa akan masalahnya di sekolah. Lupa tentang kenapa dia bisa didaftarkan YAMI. Lupa tentang bahwa dia menyesal pernah bertengkar dengan neneknya. Dia perhatikan wajah Arka yang kalau sekilas mirip seperti Iqbal Balee. Mungkin karena senyumnya yang lebar dan membuat matanya cerah. 

Arka melirik Quin yang seperti bengong memperhatikannya, “Kamu mau nyanyi apa nanti?”

“Ehmm…,” Quin masih belum menentukannya. Apakah Ocean Eyes atau Pergilah Kasih.

“Aku tau, pasti Ocean Eyes, kan?” Tebak Arka dengan penuh percaya diri.  

Quin hanya bisa membuat senyum kecil di sudut bibirnya.

“Udah dibilangin beliin obat asam lambung!” Lala berdiri di teras.

Dima memakai helm, lalu naik ke motor sambil berkata, “Tadi pagi belum buka apoteknya!”

“Ya udah buruan!” 

“Lagian kenapa nggak beli online aja sih?” Dima menyalakan motor.

“Mahal ongkirnya!”

“Lagian kenapa nggak naik motor?”

“Nggak bisa!”

“Lagian nggak pernah mau belajar naik motor.”

“Eh, lagian-lagian mulu! Buruan!” Lala menendang jok motor, tapi Dima menjalankan motornya. 

Langit sore itu cerah, tapi tidak panas. Mungkin karena banyak awan tebal putih yang menutupi cahaya matahari.

Sebelum keluar jalan raya, Dima yang mengendarai motornya pelan, melirik sedetik ke jendela kamar Quin.

‘Pasti nggak jadi audisi’, pikir Dima. Jauh di dasar hatinya, ada batu besar yang membebani. Ada perasaan bersalah dalam dirinya, telah membentak Quin di depan banyak orang. 

Arka mendapatkan nomor audisi lebih awal daripada Quin. Semua peserta yang menunggu, bisa melihat rekaman audisi dari TV monitor di ruang tunggu.

Quin, mamanya, dan mamanya Arka memperhatikan TV monitor dengan penuh harapan. Papanya Arka tidak bisa ikut datang melihat audisi karena kerja. 

Arka bernyanyi dengan sangat bagus, jauh lebih bagus daripada dulu ketika masih SD. ‘Mungkin karena sekarang suara Arka sudah pecah’, pikir Quin. Lagu Kacamata milik Afgan sangatlah cocok dengan karakter suaranya.

Dima berdiri di depan kasir apotek, menunggu struk dan obatnya dibungkus. Sesekali dia melihat ke luar kaca apotik. Seperti ada orang yang memperhatikannya, tapi Dima tidak yakin.

Kasir memberikan struk dan obat pada Dima. Dima keluar dari apotik, lalu pergi dengan motornya. 

Di jalan, sesekali Dima melirik ke spionnya, memastikan apakah perasaannya bahwa ada orang yang mengikutinya. 

‘Ya, ada!’ Kata Dima dalam hati.

Dima menghentikan motornya, lalu menelepon Givan. “Halo? Di mana lu?”

“Elu di mana?” Jawab Givan malah bercanda.

“Gue di gang Rawa Bebek, deket apotek.”

“Bagus!” Kata Givan yang sedang duduk di teras rumahnya.

“Bukan bagus!”

“Terus kenapa?”

“Kayaknya ada yang ngikutin gue!”

“Siapa?”

“Nggak tau! Bantuin napa!”

“Bentar gue ke situ. Tunggu!” Kata Givan serius.

“Oke,” Dima menurunkan hapenya, lalu menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.

“Bagus, nggak? Jelek, ya?” Tanya Arka pada mamanya, Quin, dan mamanya Quin.

“Bagus, Dek!” Kata mamanya Arka memeluk Arka yang selalu dipanggil adek, meski Arka adalah anak pertama dan punya dua adik.

“Bagus! Aku jadi nggak pede, deh!” Kata Quin sambil mengernyitkan dahi menatap mamanya.

“Pede!” Jawab mamanya Quin memberikan semangat.

“Aku aja yang pas-pasan, pede. Masa kamu nggak!” Kata Arka meninju bahunya Quin pelan.

Quin nyengir karir, nggak tahu harus merasa semangat atau tambah takut.

Di pertigaan yang sama, Dima masih duduk di motornya. Suasananya semakin mencekam. Dima ingin mencari tahu siapa yang mengikutinya, tapi dia tidak berani sendiri. Setidaknya kalau pergi sama Givan ada yang bisa silat. 

Givan datang dengan motornya, “Mana?”

“Ke sana,” Dima menunjuk ke arah yang berlawanan dengan Givan datang.

“Ayo!”

Givan dan Dima menyusuri jalanan arah ke apotik. Tidak ada siapa-siapa. Mereka sampai di apotek.

“Nggak ada siapa-siapa?” Tanya Givan.

“Udah pergi kali,” jawab Dima yang juga bingung. 

Terdengar dering hape Dima. 

Dima mengangkat telepon dari kakaknya, “Halo?”

“Lama amat beli obatnya, main dulu ya?” Tanya Lala dengan nada membentak.

“Iya, ini mau pulang, kok!” Dima menurunkan hapenya lalu bicara pada Givan dengan lesu, “Sori ya, jadi ngerepotin. Gue pulang duluan, udah ditungguin.”

“Gua temenin dah!”

“Nggak usah!” Dima memutar balik arah motornya.

“Btw, Quin jadi audisi nggak?”

“Au,” Dima menjawab lalu pergi menjalankan motornya.

Arka, mamanya, dan mamanya Quin sedang berdiri di depan TV monitor mendengarkan Quin yang menyanyikan lagu Chrisye yang berjudul Pergilah Kasih.

Semua memperhatikan dengan serius, seperti tersihir oleh merdunya suara Quin.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!