Emily, seorang pekerja kantoran ambisius, memiliki dua kehidupan yang sangat berbeda. Di luar kesibukannya sebagai seorang profesional, ia menemukan pelarian dan kepuasan dalam menulis novel online sebagai hobi.
Suatu malam, setelah pulang dari kantor, Emily mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya. Namun, kematian tidak mengakhiri kisahnya. Saat Emily membuka mata, ia mendapati dirinya tidak lagi berada di dunia nyata. Sebaliknya, ia terbangun dalam tubuh Putri Adeline, salah satu tokoh figuran di novel yang selama ini ia tulis. Putri Adeline adalah karakter kecil dalam narasi Emily, yang memiliki nasib tragis—mati karena salah minum anggur beracun dalam sebuah pesta kerajaan. Dengan pengetahuan dari dunianya yang lama, ia mulai merancang strategi untuk memanipulasi alur cerita dan menjadikan Adeline sebagai protagonis, bukan sekadar korban.
"Ah, Aku seorang Author! Kenapa harus menjadi peran pendukung yang akan mati menyedihkan? Lebih baik jadi protagonis sekalian!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melsbay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Erangan Kegelapan
Disisi lain, Sebuah gunung menjulang angkuh di langit, menciptakan pemandangan yang mencengangkan sekaligus menakutkan. Puncaknya yang runcing tajam memecah awan kelabu yang selalu menyelimuti tempat itu, membuatnya tampak seperti penguasa langit. Bayangannya yang kelam menutupi seluruh penjuru kerajaan Splendora, seakan menjadi peringatan akan bahaya yang tersembunyi di sana. Tidak ada yang berani mendekat, karena dari jauh saja Gunung Kegelapan sudah memancarkan hawa yang menyelimuti siapa pun yang melihatnya dengan ketakutan yang mencekam.
Di dalam gunung yang menjulang itu, terdapat lautan lava yang selalu mendidih. Panas menyengat dan ancaman bahaya terasa nyata di udara. Uap panas mengepul dari celah-celah batuan, disertai asap tebal yang memancarkan bau sulfur. Setiap letupan kecil dari lava yang bergolak menambah kesan bahwa tempat ini bukan hanya berbahaya, tetapi juga hidup—seolah-olah seluruh gunung itu bernafas bersama dengan makhluk yang tertidur di dalamnya.
Di dasar lautan lava itu, sebuah sosok raksasa bersemayam. Tubuhnya dipenuhi sisik hitam mengkilap yang tampak seperti baja yang baru saja keluar dari tungku api, terbakar dan keras. Setiap sisiknya memancarkan kilauan kelam yang seolah memakan cahaya di sekitarnya, menciptakan aura kegelapan yang begitu mencekam. Naga itu, Narekthar, tertidur dalam diam, namun meski terlelap, kehadirannya menyiratkan ancaman besar. Nafasnya yang berat menggetarkan udara dan setiap gerakan kecil dari tubuhnya yang kolosal membuat lava di sekitarnya bergejolak seperti gelombang yang mengikuti perintah tak terlihat.
Matanya, meskipun tertutup rapat, menyimpan kekuatan besar. Iris merah darah di balik kelopak matanya tampak menyala, meski belum terbuka. Kegelapan yang memancar dari tubuhnya bagaikan bayangan kematian yang selalu menanti. Narekthar bukanlah sekadar monster, melainkan makhluk kuno yang dipenuhi kebencian, haus darah, dan kekuatan gelap. Saat ia bergerak dalam tidurnya, seisi gunung bergetar, seakan alam pun takut pada kemungkinan bangkitnya sang penguasa kegelapan ini. Di balik keheningan tidurnya, kegelapan yang ia bawa masih terasa nyata dan siap melahap seluruh Splendora kapan saja ia terbangun.
***
Adeline bergerak gelisah di atas tempat tidurnya, tubuhnya berkeringat deras, membasahi gaun malamnya yang indah hingga terasa lembab menempel pada kulitnya. Kain sutra yang biasanya begitu nyaman kini menjadi pengingat akan kepanikan yang merasuki dirinya. Wajahnya yang pucat bersinar samar di bawah cahaya lilin yang berkelap-kelip, memperlihatkan ketakutan yang jelas tergambar di setiap tarikan nafasnya.
Matanya tertutup rapat, seolah mencoba melarikan diri dari mimpi buruk yang terus menghantuinya. Erangan halus terdengar dari bibirnya yang penuh, bibir yang kini bergetar karena kecemasan.
“Tidak... aku mohon...,” kata-kata itu keluar dari mulutnya, nyaris terbisik, namun dipenuhi kepedihan. Suaranya pecah, menggambarkan rasa putus asa yang mendalam, seolah-olah ia sedang menghadapi sesuatu yang terlalu besar dan tak tertahankan.
Duke Emeric duduk di sampingnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. Ia mengusap wajah Adeline dengan lembut, jari-jarinya menyentuh pipi wanita itu seolah mencoba menariknya kembali ke kenyataan. Sentuhannya penuh kasih sayang, namun gemetar, karena ia tak tahu bagaimana menenangkan rasa takut yang menyiksa wanita yang dicintainya.
“Tenang, Sayang, aku di sini,” bisiknya pelan, suaranya lembut namun tegas. Kata-kata penenang itu terucap berulang kali, sementara Emeric mendekap tubuh Adeline yang gemetar dalam pelukannya, mencoba memberikan perlindungan yang tidak bisa ditawarkan oleh kata-kata.
Ia dapat merasakan tubuh Adeline yang panas dan lembab karena keringat, namun ia tidak melepaskan pelukannya, seolah dengan mendekap erat wanita itu, ia bisa mengusir mimpi buruk yang menghantuinya. Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang penuh ketegangan, hanya terdengar nafas putus-putus Adeline dan suara tenang Duke Emeric yang terus memanggilnya kembali dari kegelapan mimpinya. Wajahnya menyiratkan ketakutan dan kecemasan yang mendalam, tetapi juga cinta dan tekad yang tak tergoyahkan untuk melindungi wanita yang ia kasihi.
Duke Emeric mengernyitkan keningnya dalam diam, matanya yang penuh kasih sayang berubah menjadi cerminan dari rasa bingung dan frustasi. Ia menatap Adeline yang kini terbaring dengan napas yang masih tersengal-sengal. Dalam benaknya, ia berusaha keras mencari jawaban atas apa yang sedang terjadi pada wanita yang dicintainya itu. Sudah beberapa malam berturut-turut Adeline tersiksa oleh mimpi buruk yang luar biasa, namun setiap kali terbangun, ia tampak seperti melupakan sepenuhnya apa yang telah mengganggu tidurnya. Seolah-olah kegelapan itu hanya datang di malam hari, menghilang saat pagi tiba.
Emeric melihat ekspresi Adeline setiap kali terjaga—tatapan kosong yang perlahan berubah menjadi senyuman kecil, seakan semua kekhawatiran lenyap begitu saja. Meski demikian, kegelisahan di hatinya tak pernah hilang. Ia tahu, mimpi buruk yang dialami Adeline bukan sekadar mimpi biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, yang mengintai di balik alam bawah sadarnya. Namun, Adeline sendiri tampaknya tidak menyadari, atau mungkin memilih untuk melupakan ketakutan itu setelah terbangun.
Duke Emeric telah berkali-kali tergoda untuk bertanya, untuk menggali lebih dalam dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, setiap kali ia ingin membuka percakapan itu, ia teringat pada betapa rapuhnya Adeline tampak setelah terbangun. Ia tak ingin membuatnya gelisah atau membebani pikirannya dengan sesuatu yang tampaknya hilang begitu saja saat matahari muncul. Selama siang hari, Adeline tampak tenang, bahagia bahkan, seperti tidak ada awan yang menggantung di langit jiwanya.
Emeric mencintainya terlalu dalam untuk mengusik kedamaian itu. Jadi, dengan berat hati, ia memilih untuk tidak bertanya, membiarkan hari-hari tenang Adeline berjalan tanpa gangguan. Namun, di dalam hatinya, ia merasa semakin terguncang oleh ketidakpastian, seakan sesuatu yang tak terlihat mengintai mereka dari bayang-bayang malam. Setiap malam ia hanya bisa duduk di sampingnya, berharap bahwa mimpi buruk itu tidak akan kembali, atau setidaknya bahwa ia bisa menemani Adeline melewati setiap gelombang ketakutan yang datang tanpa penjelasan.
Tubuh Adeline mendadak menegang dalam pelukan Duke Emeric, seolah membeku di tempatnya. Napasnya yang tadinya terputus-putus kini terasa berhenti sama sekali, membuat Emeric semakin gelisah. Ia bisa merasakan perubahan mendadak itu, dan hatinya dipenuhi kecemasan.
"Sayang...Oh, sayang ku, Adeline..." panggilnya dengan nada penuh ketakutan, suaranya hampir pecah. Emeric mengguncang tubuh Adeline dengan lembut, berharap bisa menariknya kembali dari kedalaman mimpi buruk yang jelas masih menyiksanya.
Sejenak, waktu seolah terhenti. Ruangan terasa begitu sunyi, hanya suara napas panik Emeric yang terdengar. Namun tiba-tiba, Adeline membuka matanya perlahan. Napasnya mulai terengah-engah, seolah-olah baru saja kembali dari tempat yang jauh dan menakutkan. Wajahnya yang pucat kini dipenuhi bulir-bulir air mata, mengalir deras di pipinya yang lembut dan cantik. Mata yang penuh dengan ketakutan dan kebingungan itu menatap kosong untuk beberapa saat, sebelum akhirnya fokus pada Emeric.
"E...Emeric..." suaranya berbisik parau.
Dengan jemari yang gemetar, Adeline perlahan meraih leher Duke Emeric, sentuhan halusnya terasa lemah namun penuh kerinduan. Dalam diam, ia menarik tubuh Emeric mendekat, tangannya yang kecil memeluk erat pria yang sangat ia cintai itu, seolah tak ingin membiarkan Emeric menjauh lagi. Pelukannya kuat namun dipenuhi kelembutan yang putus asa, seakan Emeric adalah satu-satunya jangkar yang menyelamatkannya dari jurang kegelapan yang barusan ia alami.
Duke Emeric, yang diliputi rasa lega dan cinta, membalas pelukan Adeline tanpa ragu. Tangannya yang kokoh menyelimuti tubuhnya yang rapuh, memberikan kehangatan dan perlindungan. Dengan lembut, ia mengusap rambut Adeline yang sedikit berantakan, jari-jarinya menyisir lembut helai demi helai rambutnya, sementara hatinya berjanji untuk selalu ada di sisinya.
"Aku di sini, Sayang... aku tidak akan meninggalkanmu," bisiknya lembut di telinga wanita itu, mencoba menenangkan setiap ketakutan yang masih menyelubungi pikiran Adeline. Pelukan mereka terasa begitu kuat, mengikat dua jiwa yang saling mencintai dalam keheningan malam yang dingin.