Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 | Istri
“Nggak usah, Bang. Fara ada uang, kok.”
“Abang bayarin aja. Mau beli apa lagi?”
“Nggak usah, Bang… Fara punya—“
Yuto menyela cepat, “Ini salah satu cara abang untuk dekatin Fara. Jadi, tolong jangan ditolak.”
“Tapi bang…”
“Sini, abang yang bawa.” Yuto meraih kresek dari tangan Fara. “Ayo beli yang lain. Mama abang juga suruh beli kikil. Di mana belinya?”
Fara ingin membahas kembali penolakannya tentang keinginan Yuto untuk membayar, tetapi Yuto sudah terlanjur mendorong pelan punggungnya agar segera melangkah. “Fara suka kikil?” tanya Yuto sambil terus mendorong punggungnya, yang perlahan posisi tangannya berpindah ke bahu Fara, merangkulnya.
Tentu saja hal itu membuat Fara gugup dan canggung.
“Suka, Bang…” jawabnya.
“Sukanya diapain?”
“Digulai. Tapi masaknya di presto, biar kikilnya makin lembut, terus bumbu gulainya meresap ke kikil.” Karena membahas makanan, langsung teralihkan pikirannya.
Dan Yuto pun memanfaatkan momen itu.
Masih merangkul Fara, ia bertanya lagi sambil terus melangkah. “Selain kikil, suka apa lagi?”
“Ayam kukus bawang putih, Bang. Dikukus sama jahe, ntar dikasih minyak bawang sama daun bawang. Kasih chili oil lebih enak lagi.”
“Wah, abang belum pernah rasa. Jadi penasaran. Kalau Fara buat lagi, kasih abang sedikit, dong.”
“Abang mau coba?”
Yuto mengangguk, menikmati obrolan itu, tak peduli ada beberapa ibu-ibu yang melihat ke arah mereka—mungkin karena mereka tampak sangat santai, sambil rangkulan pula.
“Senin pagi memang rencananya mau bikin itu sih, Bang.”
“Boleh abang minta?”
Sambil terus melangkah, Fara memikirkannya sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
“Bawa ke kantor, ya.”
Fara mengangguk lagi, lalu tampak bingung. “Jadi, nanti aku buatkan bekal untuk Bang Yuto lagi?” pikirnya, tak menyadari dirinya baru saja masuk ke dalam perangkap Yuto.
“Itu yang jual kikil, Bang.”
Fara melangkan lebih cepat, membuat rangkulan Yuto terlepas. Dia memang selalu happy jika sedang belanja ke pajak, apalagi kalau menemukan bahan-bahan yang bagus, seperti kikil yang ia temukan.
“Wih, tebal kali ya, Pak. Ini bagian apa, Pak?” tanya Fara, tersenyum ramah.
“Bagian kepala, Dek. Tebal kali, kan? Belilah. 50 ribu aja sekilo,” kata si penjual.
“Loh, kok mahal kali, Pak? Nggak bisa kurang? Biasanya saya beli—“
Perkataannya terhenti tepat Yuto menyentuh bahunya. “Saya mau sekilo, Pak,” ujarnya setelah itu kepada si penjual. “Fara mau?” tanyanya lagi kepada Fara.
Saat Fara menggeleng, Yuto malah kembali berkata kepada si penjual, tambahkan setengah kilo ya, Pak. Pisah plastik.”
Langsung protes si Fara. “Bang, Fara nggak usah—“
“Terima aja,” sela Yuto. Tak ingin Fara protes lagi, langsung saja Yuto berikan uangnya kepada si penjual yang kemudian menerima kembalian beserta dua kresek kikil tebal yang telah membuat senyum Fara mengembang.
“Mau beli apa lagi?” Yuto bertanya lagi, tetap tersenyum manis padanya.
Pada akhirnya, belanjaan Fara di hari itu dibayarkan oleh Yuto semua. Setiap kali ingin menolak, Yuto akan membalasnya dengan mengatakan, “Terima aja.” Bahkan ia juga mengatakan, “Biar Fara terbiasa, karena kalau nanti Fara betul-betul udah terima abang, apapun yang Fara minta bakal abang penuhi.”
Bergetar jiwa si Fara mendengar itu.
Kini, mereka sudah melangkah menuju motor di parkiran. Tak ada satupun plastik belanjaan yang Fara bawa. Semuanya ada pada Yuto, tak peduli meski dirinya sudah kesulitan membawa semua barang belanjaan mereka yang tanpa mereka sadari sudah sebanyak itu.
Setelah menyusunnya di dalam jok, dan sebagian di tenteng Fara, akhirnya mereka meninggalkan pajak.
“Sekarang kita makan mie balap, kan?” tanya Yuto, sedikit memalingkan wajahnya ke samping agar Fara mendengarnya.
Fara sedikit kaget mendengarnya, tak menyangka Yuto masih mengingat itu.
“Memangnya abang nggak capek abis keliling pajak?” tanya Fara sedikit keras, takut suaranya kalah dengan suara mesin kendaraan di jalanan.
Yuto terdengar tertawa pelan. “Yang penting abang bisa lebih lama sama Fara.”
Jujur kali dia!
Sukses membuat wajah Fara memerah seketika.
Tak lama dari itu, mereka tiba di sana, penjual mie balap yang menjual di trotoar. Ada banyak antrian di sana, memang selalu seperti itu. Si penjual memasak di atas mobil pick up, dan para pembeli sebagian duduk di kursi plastik yang disediakan, dan sebagian mengantri di samping pick up.
“Abang duduk aja, biar Fara yang antri,” kata Fara setelah menggantung kresek yang tadi ia pegang di stang motor.
“Sama-sama aja,” balas Yuto, langsung berdiri di samping Fara, ikut mengantri bersamanya. “Apa yang Fara suka di sini?” tanyanya setelah itu.
“Mie tiaw sama bakwannya. Mie kuningnya juga enak, sih. Tapi lagi pengen mie tiaw, sama bakwannya juga. Abang mau pesan apa?”
“Samakan aja dengan Fara. Abang mau makan apa yang Fara suka.”
Bergetar lagi jantung si Fara.
Entah mengapa, ia merasa sekarang Yuto semakin terang-terangan, sementara dirinya masih belum sepenuhnya yakin dengan perasaan pria itu. Ia masih ragu, apakah ini nyata, atau hanya mimpi belaka, karena terlalu indah untuk orang sepertinya.
Selesai mendapatkan pesanan, Yuto membawa dua porsi kwetiaw bersamanya, dan Fara menyusul dengan membawa satu piring berisikan lima potong bakwan.
Mereka duduk di kursi plastik tanpa sandaran, duduk berhadapan berbataskan meja plastik kecil. Yuto menyukai posisi itu. Ia bisa makan sambil melihat wajah Fara dari dekat, namun Fara sebaliknya.
Ia malu.
“Woy, Yuto!” panggil seseorang, spontan membuat mereka menoleh bersamaan.
“Eh, Itun! Apa kabar?” Yuto sudah berdiri dan menghampiri seorang pria berbadan kurus, pendek, yang juga sedang melangkah menghampiri meja mereka.
Mereka berjabatan tangan dengan riang.
“Baik, Alhamdulillah. Kapan kau pulang? Bukannya kau di Jepang?”
“Aku baru aja pulang.”
“Balik lagi ke sana?”
“Enggak. Aku udah kerja di sini.”
“Mantap lah itu.” Kemudian temannya itu menoleh ke Fara yang saat itu sedang mengunyah bakwan. “Sama istri, ya? Aku juga sama istriku. Sayang! Ke sini bentar. Ini temanku.”
Tanpa memberi kesempatan kepada Yuto untuk meralat perkataannya, dan Fara pun tersedak hingga terbatuk-batuk di kursinya saat mendengar kata ‘istri’ dilontarkan, teman Yuto fokus menunggu istrinya yang turun dari motor dan melangkah mendekati mereka.
Selagi menunggu istri temannya tiba, Yuto langsung meraih botol air mineral di atas meja, ia buka tutupnya dan ia berikan kepada Fara. “Minum dulu,” pintanya lembut, sambil menepuk-nepuk pelan punggung Fara.
Fara lekas meneguk air, meredam batuknya.
Saat ia menjadi tenang, tibalah istri temannya di sana, yang langsung mengulurkan tangan kepada Yuto untuk berjabatan tangan.
Yuto menyambut tangannya, yang kemudian wanita itu ingin berjabatan dengan Fara. Fara refleks berdiri dan menyambut jabatan tangannya dengan sopan, tampak jauh lebih tenang usai batuknya mereda, tapi tidak dengan debaran jantungnya.
Ia sangat berharap Yuto meralat kata ‘istri’ yang tadi dikatakan temannya. Tapi, bukannya membahas hal itu, itu malah bertanya kepada istri temannya, “Hamil berapa bulan, Kak?” Karena perut wanita itu tampak sangat buncit.
“Mau masuk sembilan bulan. Insya’allah minggu depan jadwal melahirkannya,” temannya yang menjawab, yang kemudian menoleh ke Fara lagi. “Istrimu juga hamil?”
Mendengar itu, Yuto tertawa geli, sementara Fara malu kali.
Lalu, dengan sisa tawanya, Yuto menjawab, “Bukan hamil. Memang agak berisi.”
.
.
.
.
.
Continued...
sama kita fara, banyak yg ngira lagi hamil gara2 gendut, 🤣🤣🤣🤣