Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
“Maaf Bu, untuk sekarang saya tak bisa menjelaskan apapun. Hanya ingin meminta bantuannya! Tolong sementara waktu jaga hunianku, pintunya tak dikunci. Bila ada yang mencari, jawab saja tidak tahu, bisa ‘kan, Bu?” pintanya penuh harap dengan air mata berlinang.
“Bisa.” Bu Mar mengangguk, meskipun dirinya tak paham apa yang telah terjadi.
Nirma mengambil kain jarik di sandaran kursi, lalu mengikatkan pada pundak, menggendong Kamal yang masih menangis kencang.
“Saya pergi dulu ya, Bu. Terima kasih banyak untuk semuanya.” Nirma bergegas ke luar rumah pemilik kontrakan, ia berjalan ke pinggir jalan raya, mencoba menghentikan becak motor.
Bu Mar mengikuti dari belakang, wanita paruh baya berpakaian rumahan itu ikut melambaikan tangan, meminta seorang pengemudi becak berhenti.
“Bang, tolong antar ke terminal bus!” pintanya seraya naik dan duduk di kursi busa.
“Nirma, hati-hati!”
Nirma menatap haru wajah Bu Mar yang jelas terlihat bingung bercampur cemas. “Baik, Bu. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.” Bu Mar masih berdiri di posisi tadi, suara tangisan Kamal tidak terdengar lagi bersamaan dengan laju becak motor semakin jauh. ‘Sebetulnya dia kenapa? Mengapa perasaan ku tak enak begini?’
.
.
“Nak, sudah ya nangisnya. Maafkan Ibuk yang telah mengagetkan Kamal.” Ia dekap lembut badan mungil putranya, sebisa mungkin menjaga nada suara agar tidak bergetar.
'Ya Rabb, hamba tak meminta pengampunan atas dosa yang baru saja hamba lakukan. Hamba sadar bila telah melakukan kesalahan yang sulit dimaafkan. Tapi, tolong sekiranya Engkau sedikit berbaik hati, melindungi serta menjaga buah hati hamba, ya Allah,’ pintanya dalam hati.
Nirma menatap netra berair Kamal yang memandangnya sendu, ia kecup dalam kening sang putra, begitu lirih membisikkan kata-kata. “Dek … bila nanti Ibuk lama menemui mu, tolong jangan bersedih ya Nak! Meskipun tak bisa lagi bersama-sama dikarenakan kita dipisahkan oleh jarak. Percayalah Kamal, bila doa Ibuk selalu menyertaimu. Kasih sayang ini sedikitpun takkan pudar.”
“Bu Bu ….” bibir mungil itu mencoba merangkai kata, tapi belum bisa sempurna.
“Alhamdulillah.” Nirma menangis tersedu-sedu, ia dekap erat Kamal. “Nanti, Ibuk pasti sangat merindukan mu, Nak.”
Dalam perjalanan yang memakan waktu sekitar 15 menit itu, Nirma terus mengajak Kamal bercengkrama, mengucapkan kata-kata sayang, seolah mereka akan terpisah lama.
Becak motor memasuki area terminal bus. Nirma bergegas mengambil dompet dan membayar tarif yang telah ditentukan.
Wanita berpakaian perawat itu mengeratkan kain gendongan putranya, melangkah mencari angkutan umum yang akan membawanya ke tempat tujuan.
Tidak ada bus, dikarenakan sudah berangkat beberapa menit yang lalu, dan harus menunggu setengah jam lagi.
Nirma yang merasa seperti diburu sang waktu, tentu tidak ingin membuang sia-sia setiap detik yang tersisa. Ia memilih naik sudaku (angkot).
Banyak pasang mata yang sekilas menatapnya, apalagi tempat duduk angkutan umum ini saling berhadapan dengan bangku busa memanjang. Nirma mencoba membuka kaca jendela agar udara segar dapat masuk.
Kamal mulai rewel lagi, ia menggeliat dikarenakan hawa panas, sedangkan kendaraan belum juga jalan.
“Dek ... sini kau duduk! Ini kacanya bisa dibuka! Kasihan kali ku tengok anakmu yang kepanasan itu!” ucap salah satu penumpang.
“Terima kasih Bu.” Nirma mengangguk, mereka melakukan tukar tempat duduk.
Benar saja, Kamal yang terbebas dari gendongan jarik, sudah tidak rewel lagi duduk di atas paha ibunya, ia menatap keluar jendela. Mobil sudako pun mulai melaju.
Selama perjalanan 2 jam itu, hati Nirma dirundung cemas memikirkan nasib putranya di masa depan.
“Ya Rabb,” lirihnya dengan napas berat. Kali ini dirinya yakin akan susah keluar dari permasalahan, karena si Linda benar-benar ia buat sekarat.
.
.
“Kota kecamatan! Kota kecamatan!”
Seruan pemberitahuan itu membawa Nirma kembali ke dunia nyata, setelah ia termenung hanyut dalam lamunan.
Nirma kembali mengikatkan kain jarik nya, sabar mengantri kala penumpang lain turun lebih dulu.
Begitu menjejakkan kaki di aspal jalan raya, hatinya berdesir dengan debar jantung menggila, ia mengedarkan pandangan ke segala arah.
Rindu kampung halaman semakin menyeruak ke permukaan. Dari sini ke tanah kelahirannya hanya membutuhkan waktu kurang dari 60 menit bila ditempuh dengan kendaraan roda dua ataupun empat.
“Yah Yah ….” Kamal terlihat antusias, matanya menatap awas. Ia jarang sekali di bawa jalan-jalan, hari-hari hanya dihabiskan di dalam dan halaman rumah, nyaris hampir tidak pernah berinteraksi dengan teman sebaya.
“Sayang, ini kota Kecamatan. Kota kelahiran Ibuk. Lurus kesana, itu jalan ke kampung Nenek dan Bude!” Tunjuknya pada jalan beraspal yang sisi kanan kirinya terdapat lapak pedagang.
Bayi gempal itu sibuk mengoceh sendiri. Nirma mencium pipi putranya, dalam hati tersenyum miris. Mungkin saja ini saat-saat terakhirnya bersama Kamal.
Berdua dengan Kamal dalam gendongan, Nirma berjalan melewati trotoar dan teras ruko, sampai di mana ia pada bangunan rumah terbilang mewah berlantai dua berpagar tinggi.
Nirma memencet bel yang dipasang pada tembok pagar, tertutup pohon bunga kertas (bugenvil) berwarna merah muda menjulang keluar pagar.
“Ya, cari siapa?” tanya pria berperawakan tinggi, netranya menelisik penampilan wanita dan sang bayi.
“Juragan Byakta, ada?” tanyanya lirih, ia seperti kembali mengulang, sama seperti saat pertama kali mencari keberadaan pria memiliki kuasa itu, dulu dirinya mendatangi rumah ini demi meminta perlindungan kala tengah hamil besar, selepas memergoki Yasir Huda berselingkuh.
“Tolong sampaikan! Bila Nirma dan Kamal yang datang mencarinya,” lanjutnya saat dilihatnya raut tanya di wajah pengawal juragan Byakta.
Sosok dewasa berkumis tebal itu lantas menghidupkan talkie walkie nya, menyampaikan sesuai yang dikatakan sang tamu.
“Silahkan masuk!” Ia membuka pintu samping pagar besi.
Nirma melangkah masuk, baru saja jalan beberapa langkah, Kamal sudah berteriak histeris.
"YAH YAH!" Kaki mungilnya menendang-nendang perut ibunya, tangannya diangkat tinggi-tinggi, meminta di gendong oleh sosok ayah angkat yang tergesa-gesa menghampiri dirinya.
"Anak Ayah!" Juragan Byakta tak kalah antusias, tanpa mengenakan sandal berlari kecil menuju Kamal.
Nirma luruh, tubuhnya bergetar hebat, ia menangis tergugu, seolah kehabisan tenaga, bersimpuh di atas lantai paving blok. "Mas ...."
"Sini Nak, sama Ayah!" Juragan Byakta mengangkat Kamal yang menangis, kemudian tangannya terulur meminta Nirma sambut. "Kita bicarakan di dalam, Buk!"
Bersama mereka melangkah, tangan Nirma digenggam erat oleh juragan Byakta, menuju ruang keluarga, bukan ruang tamu. Sebab Nirma lebih dari sekedar tamu bagi si pemilik rumah.
***
"Cerita lah! Apa sebab kau sampai sini dengan penampilan jauh dari kata rapi?" tanyanya, tangannya terus menepuk bokong Kamal yang kepalanya bersandar pada pundaknya.
Nirma menghela napas panjang, ia duduk pada sofa tunggal, mendongak menatap pilu. "Aku baru saja nyaris membunuh seseorang, Mas."
Kemudian Nirma menceritakan semuanya, dari awal Linda masuk kerja hingga pada kejadian beberapa jam lalu.
"Tega kau Nirma! Sedikitpun tak ada buka suara perihal mulut Bangsat tu yang seenaknya saja mencaci maki anak kita!" intonasi suaranya datar nan rendah, tatapannya menghunus tepat pada manik basah Nirma.
"Memang betul bila Kamal bukan anak kandung saya, tapi diri inilah yang pertama kali menggendong bahkan mengadzani nya, namanya pun pemberian dari saya! Apa segitu tak pantas nya kah? Bila saya ingin menjadi bapak sambungnya, Nirma ...?"
.
.
Bersambung.
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆