Zahira Maswah, siswi SMA sederhana dari kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hidupnya berubah total saat ia harus menikah secara diam-diam dengan Zayn Rayyan — pria kota yang dingin, angkuh, anak orang kaya raya, dan terkenal bad boy di sekolahnya. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena keadaan yang memaksa.
Zahira dan Zayn harus merahasiakan pernikahan itu, sampai saatnya tiba Zayn akan menceraikan Zahira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Kelas itu terdiri dari empat baris meja. Zahira duduk di barisan pertama, paling kiri, di meja paling belakang. Di sebelah kanannya, yaitu baris kedua, duduklah Aldrich—dua meja dari depan. Zayn duduk di baris paling kanan, baris keempat, tepat dua meja dari depan. Jaraknya cukup jauh dari Zahira. Clara, si gadis dengan ekspresi malas dan sinis, duduk di baris ketiga dari kiri, tepat di meja paling depan. Sementara Sinta, siswa terpintar dan paling ambisius di kelas itu, duduk di samping meja Clara.
Setelah Zahira duduk di tempatnya, dan semua siswa/i tenang, barulah Bu Zeni memulai pembelajaran.
“Anak-anak, hari ini kita akan bahas tentang kalimat pasif dalam teks eksplanasi,” ucap Bu Zeni, suaranya lembut namun jelas terdengar.
Ia menyalakan papan interaktif di depannya. Slide demi slide ditampilkan dengan perlahan.
Zahira duduk tegak. Tangannya menggenggam pena erat. Matanya menatap papan, namun pikirannya melayang. Ia berusaha memahami penjelasan Bu Zeni, namun kalimat-kalimat itu seperti kabut yang tak bisa ditembus. Sekolah ini, kurikulumnya, caranya mengajar—semuanya terasa asing baginya.
Sedari awal Zahira hanya bersekolah di sekolah negeri biasa, dan sekarang ia bersekolah di sekolah internasional, yang tentunya cara belajar dan kurikulumnya jauh sangat berbeda.
Beberapa kali, ia menggigit tutup pulpennya. Helaan napas lirih keluar dari bibirnya. Ia menunduk, mengerutkan kening pada buku catatannya yang kosong. Tangannya sempat terangkat, tapi segera turun kembali. Ragu.
Zayn melirik ke arah Zahira dari ujung matanya, ia berusaha untuk berpura-pura tidak perduli. Tapi, Ia merasa resah melihat Zahira.
“Baik, ibu ada soal, dan ibu minta kalian untuk menjawabnya secara lisan,” suara Bu Zeni memecah keheningan. Semua mata tertuju padanya. “Sekarang siapa yang bisa, menunjukkan dan menjelaskan tiga contoh kalimat pasif dalam teks eksplanasi ini. Jelaskan bentuk dan fungsinya.”
Sinta langsung mengangkat tangan, "saya, Bu.”
“Sinta, silajkan.”
Dengan nada cepat dan percaya diri, Sinta menyebutkan tiga kalimat. Penjelasannya rinci, tepat sasaran, dan tanpa ragu.
“Wahhh, luar biasa sekali, jawabannya benar, berikan tepuk tangan untuk Sinta,” puji Bu Zeni.
Semua siswa bertepuk tangan, walau sebagian hanya sekadar formalitas. Clara hanya menepuk tangannya sekali, lalu kembali bersandar di kursi dengan malas.
“Baik, soal selanjutnya, ibu berikan kesempatan kepada Sinta untuk menunjuk siapa kira-kira teman kamu yang ingin kamu minta untuk menyelesaikannya,” ucap Bu Zeni.
Sinta menatap sekeliling. Pandangannya melayang, hingga Clara berbisik, “suruh si anak baru itu.” Senyum licik tersungging di bibir Clara.
Sinta diam. Ia sebenarnya tak terlalu peduli siapa yang harus ditunjuk. Tapi Clara kembali berbisik, “pilih dia saja, yang lain kan udah biasa.”
Meskipun enggan, Sinta akhirnya berkata, “saya pilih murid baru, Bu.”
Zayn yang duduk tenang di pojok menghela napas panjang. Ia tahu ini akan buruk.
Aldrich tersenyum penuh minat, seperti menonton pertunjukan menarik.
“Baik, nak Zahira, tolong kamu kerjakan soal berikut ini,” ujar Bu Zeni sambil menggesek slide ke halaman berikutnya.
Zahira menegang. Matanya membaca soal itu, tapi seolah huruf-huruf di layar berubah jadi simbol-simbol asing. Tangannya gemetar. Ia merasa semua mata tertuju padanya.
“Zahira...?” panggil Bu Zeni pelan.
Zahira menunduk, “maaf, saya tidak bisa mengerjakannya, Bu.”
Beberapa siswa tertawa pelan. Clara terkekeh sambil menutup mulutnya. Ares menyenggol bahu temannya, Ryon, yang hanya mengangkat alis.
Bu Zeni tersenyum maklum, “vaiklah. Karena ini adalah hari pertama kamu masuk sekolah, ibu akan memaafkan. Tapi lain kali, ibu akan memberi hukuman. Jadi, silakan belajar di rumah, ya Nak Zahira.”
“Baik, Bu,” ucap Zahira pelan, wajahnya merah padam. Ia ingin menghilang. Ia ingin lari dari kelas itu. Tapi ia hanya bisa menunduk, menahan malu. Ia malu sekali, terkhususnya kepada Zayn.
Zayn kembali melirik. Ia menggigit bibir, tak suka melihat tatapan murid-murid lain kepada Zahira.
"Kring..."
Bel istirahat pun berbunyi.
“Baiklah, cukup sekian untuk hari ini. Selamat beristirahat,” ucap Bu Zeni lalu keluar dari kelas.
Zahira merapikan bukunya pelan-pelan, mencoba agar tak ada yang memperhatikannya. Tapi semua itu sia-sia.
Aldrich berjalan menghampirinya, senyumannya seperti serigala.
“Heii,” ucapnya santai, lalu duduk di atas meja Zahira.
Zahira kaget. Ia menoleh perlahan, “eh… iya?”
“Lo keren juga. Bener-bener gak ngerti soal tadi.” Ucapan itu seperti candaan, tapi nadanya sinis.
Zayn melihat dari jauh. Ia tahu Aldrich sedang mulai. Tapi ia menunduk, lalu memasukkan bukunya ke dalam tas. Ia memilih pergi. Atau setidaknya berpura-pura pergi.
Ares dan Ryon berdiri di belakang Aldrich, menyeringai.
Clara menyilangkan tangan di dada, melihat dari bangkunya, “lihat, apa yang akan dilakukan si anak nakal itu,” gumamnya.
Axel menyikut Ryu, "seru nih.”
Namun, tiba-tiba, Zayn berjalan kembali. Berdiri di dekat pintu kelas, menyandarkan tubuhnya pada dinding.
Aldrich menyandarkan tangannya di meja Zahira, “sebagai permintaan maaf karena gue ‘gak sengaja’ buat Lo terjatuh tadi, gimana kalo gue traktir makan di kantin? Pesan aja apa saja, nanti gue yang bayarin.”
Zahira buru-buru menggeleng, “nggak perlu, aku udah maafin kok.”
“Yakin? Jangan sampe gue nyesel karena ditolak mentah-mentah.” Nada suaranya menggoda, tapi ada tekanan yang membuat Zahira tak nyaman.
“Tadi kamu bilang nggak sengaja, kan? Ya udah. Aku juga gak anggap itu serius, jadi beneran aku enggak apa-apa,” ucap Zahira pelan.
Aldrich memiringkan kepalanya, “baik hati banget sih lo. Jarang-jarang nemu yang kayak gini di sini," nadanya setengah mengejek.
Zayn melangkah maju, “lo denger dia udah bilang nggak, Drich.”
Aldrich menoleh, “wah, Tuan Dingin kita turun gunung juga akhirnya.”
Zayn mengangkat bahu, “gue cuma gak suka kalau ada yang nggak ngerti bahasa manusia.”
Aldrich berdiri, “oke, oke. Tenang. Gue cuma ngajak makan, bukan ngajak kawin.”
Zayn menatapnya tajam, "bagus.”
Zahira menunduk makin dalam. Wajahnya merah, bukan hanya karena malu, tapi juga bingung.
Zayn berbalik, memanggil Ryu dan Axel, “ayo kita ke kantin.”
Mereka bertiga pun keluar, langkah Zayn sedikit lebih cepat dari biasanya.
Aldrich hanya tertawa kecil, lalu memberi isyarat pada Ares dan Ryon untuk ikut keluar.
Clara mengangkat alis, “drama yang cukup menghibur untuk hari ini,” ucapnya sambil berdiri, dan pergi keluar kelas.
Sinta hanya menghela napas. Ia tak suka konflik, tapi ia juga tak punya waktu mengurusi drama anak-anak orang kaya itu.
Zahira masih duduk sendiri. Tangannya menggenggam buku catatan yang belum sempat diisi. Di halaman depan tertulis namanya dengan tulisan rapi : Zahira Maswah.
Ia menarik napas pelan. Lalu memasukkannya ke dalam tasnya.
lanjut Thor mau lihat seberapa hebat Zahira bisa melalui ini semua
dan cerita cinta di sekolah ini pastinya yg di tunggu ,,rasa iri, cemburu dll
apa sekejam itu Thor di sana ?
selipin cowok yg cakep Pari purna yg tertarik ma Zahira mau tau reaksi suami nya,,kalau ada seseorang yg suka pasti membara bak 🔥
ayah zayn atau ayah ardi?.
kalo ayah zayn..
apakah ingin zahira twrsiksa dan dibully di sekokah zayn?
apa gak kauatir klao terbongkar pernikahan mereka?
❤❤❤❤❤❤
atau carikan sekolah lain.
❤❤❤❤❤
use your brain