Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 24
“Aku gak ngindarin kamu,” kata Puja. Dagu diangkatnya untuk menangkap raut wajah Kavi yang berada dua puluh sentimeter di atas kepalanya.
"Kalo bukan menghindar, lalu apa?" telisik Kavi, merunduk menatap balik.
Puja bingung lagi, memilih jawaban dari pertanyaan itu seperti mencari kelereng di sungai berlumpur. Hanya bermain melalui sirat pandangan bermakna sulit.
"Kamu mulai menyukai Jun?"
Pertanyaan Kavi yang tak diduga langsung melebarkan bola mata Puja. Semakin dalam dia menatap, semakin tidak mengerti ke mana arahnya. “Maksud kamu apa? Kenapa jadi sangkutin aku sama Jun?”
“Kalian makin deket, wajar tebakanku mengarah ke sana, 'kan?” debat Kavi.
Tatapan Puja dalam dilema. Hari ini Kavi terlalu banyak mengejutkannya.
"Kalo kamu panggil aku ke sini cuma buat bahas hal gak jelas kayak gini, mending aku balik ke kerjaan aku! Gak ada guna ladenin kamu yang tiba-tiba strange!”
Kavi melengak. “Apa kamu bil--”
"Ya!" serobot Puja. "Kamu aneh! ... Ini kantor dan ini masih jam kerja. Tugas kita berdua masih sama-sama banyak. Jadi Pak CEO ... tolong ... jangan menghamburkan waktu saya yang masih belajar, terlebih waktu Anda yang seperti emas."
Kavi terperangah sendiri, sampai sulit berkata-kata.
Diam memandangi wajah istrinya seraya menggali pikir. Apakah yang dia lakukan ini salah? Berlebihan? Atau memang wajar dan seharusnya?
Puja menjauhkan diri dari lelaki itu dengan memundurkan dua langkah kakinya ke belakang, setelah beberapa saat tak ada tanggapan yang berarti.
“Kalo gak ada yang mau kamu sampein lagi, aku permisi!” ujarnya. Berbalik badan untuk melenggang pergi.
Namun ....
GREB!
“Hey!" Puja memekik terkaget.
Kavi menarik cepat pergelangan tangannya hingga berbalik paksa dan berakhir dalam pelukan lelaki itu. Mempertemukan pasang mata yang saling bertatap lurus.
Tidak tenggelam, segera Puja menarik diri untuk menjauh, tapi Kavi kukuh menguncinya dalam dekapan yang bertenaga.
"Apa sebenarnya yang kamu inginkan dari aku ... Kavi?!” Suara Puja cukup keras untuk sebuah pertanyaan sederhana. Merasa dipermainkan, dia jadi meradang. Terus menggeliatkan tubuh ingin terbebas dari kuncian lelaki itu.
Kavi masih diam di mode sama. Namun semakin lama, pandangannya semakin lain. Puja menemukan mata itu berubah kelam, dan mulai merasa terintimidasi.
"Kavi ...."
"Gua nanya dan gua nggak lagi bercanda, Puja," kata Kavi setelah diam beberapa saat, kembali pada gaya sapa asalnya. "Gua beneran mau tau, apa alesan lu kayak gitu? Kenapa sampe harus hindarin gua kayak lu punya dosa. Padahal biasanya lu nempel terus sama gua. Ya, 'kan?”
Puja menelan ludah, merasakan keadaan ini mulai mengarah pada hal yang [mungkin] akan tak baik selanjutnya.
Jika itu yang ingin Kavi ketahui, dia merasa lebih dipermainkan lagi.
"Jawab gua ... Puja Anugerah!” Kavi mendesak tak sabar.
Puja kembali mengerjapkan mata dan menelan ludah. Menatap Kavi bingung harus berkata apa. Namun setelah itu, dia menegaskan diri. Sorot matanya melahirkan kekuatan lagi.
"Lepasin aku dulu, akan aku jelasin semua yang mau kau tahu!"
Sejenak Kavi terdiam untuk berpikir, kemudian ....
"Oke."
Dekapan itu melonggar, dia melepas Puja.
Wanita itu langsung mengambil jarak, kemudian kembali menegakkan diri.
"Jelasin sekarang!"
Sepaut napas ditarik Puja, lalu mengembuskannya perlahan, menyiapkan segalanya untuk memberi jelas, juga menguatkan mental agar tak goncang.
"Alasan kenapa aku masih terus bertahan di sisi kamu, gak lain hanya sebatas memenuhi tanggung jawab kontrak yang dibuat kedua orang tuamu." Tapi dia tak mengatakan perkara perjanjian rumah. "Walaupun alasan mereka terbilang konyol, tapi mereka udah berjasa banyak buat aku. Aku mendapat pekerjaan dan bisa menghidupi keluargaku."
Itu Kavi bisa memahami dengan sangat cepat bahkan tanpa mencerna. "Lalu gimana dengan alasan kenapa lu jauhin gua?"
Untuk pertanyaan itu, jujur saja Puja juga bingung. Apakah dia harus berterus terang, atau tetap menyimpan rapi sebagaimana yang selalu dia lakukan.
Banyak sekali pertimbangan, tapi yang pada akhir diputuskannya ....
"Aku hanya berusaha menyelamatkan hatiku."
Kavi terperangah. "Menyelamatkan hati lu bilang? ... Dari apa?" tanyanya mendalam.
"Dari kamu!" jawab cepat Puja, didukung sorot tegas, sekaligus rapuh di waktu sama.
"Dari ... gua?"
"Ya!"
Kavi jadi tercenung, menatap ke dalam bening mata Puja yang tidak teralih dari matanya.
"Aku gak mau lagi mempertaruhkan hati aku sama kamu kayak dulu," sambung Puja, menyerobot kediaman Kavi. "Aku mau menjadi Puja yang kuat, gak memalukan sampai orang-orang puas menginjak-injak harga diriku."
Dua bingkai mata Kavi lebih melebar lagi setelah meredup sesaat. Orang-orang yang dimaksud Puja salah satu tentu adalah dirinya. Ada kilatan benda tajam menggores hati, sedikit perih namun berdampak tak sederhana.
"Kamu inget bagaimana dulu aku diperlakukan, bukan?"
Pertanyaan itu langsung menyeret pikiran Kavi kembali ke masa itu. Masa dimana Puja habis dibully dan dijadikan bahan olokan.
"Tentu," jawabnya kemudian, namun hanya di hati.
"Tapi lu gak memperlihatkan kesakitan apa pun saat itu. Lu gak peduli mereka. Bahkan sering gua bentak pun lu selalu tanggap dengan keceriaan yang menyebalkan. Bahkan terkadang gua iri, lu punya mental sekuat itu. Tapi sekarang gua jadi tahu, ternyata dari sana lu menyimpan kesakitan yang luar biasa. Gimana bisa serapi itu lu sembunyiin semua itu, Puja?"
Jantung Puja berdendam, matanya mulai berkaca, sampai merangsek menjadi dua butiran bening yang menggantung di pelupuk. Dia tak ingin menangis dan terlihat lemah, namun air mata itu dengan bodohnya malah jatuh menimpa kedua pipi. "Aku cuma gak mau keliatan semakin bodoh."
Kavi terhenyak lagi.
"Apa ...perubahan diri lu yang sebanyak ini juga termasuk bagian dari keinginan lu tadi?" sambung tanyanya, dengan keraguan.
Telapak tangan Puja menyapu cepat pipi basahnya. Sudah berjanji pada diri sendiri tak akan lemah, segera dia merubah rautnya kembali tegar. "Gak berbeda sama orang-orang, bukankah itu juga salah satu alasan kamu gak suka sama aku dulu?"
Lagi, Kavi Freeze.
Terlahir sebagai pria tampan dan kaya, tentu adalah anugerah baginya. Dengan segala kelebihan itu, dia juga ingin memiliki pasangan yang cantik dan sempurna, dan saat itu dia sudah memilikinya.
Puja saat itu sangat menjijikkan bagi Kavi. Selain jelek dan gendut, gadis itu juga tak henti mengejar-ngejarnya seperti rentenir. Meneriakkan "I LOVE YOU, SUAMIKU", dengan sangat percaya diri dan tak tahu malu, itu ketika pertandingan basket berlangsung bahkan berulang di waktu lain. Jelas membuat Kavi sangat malu.
Tapi yang terpenting bukan itu!
Yang paling menjadikan Kavi membenci adalah ... Puja telah membuat perempuan yang saat itu dekat dengan Kavi, meninggalkannya, sampai tidak pernah kembali bahkan hingga sekarang.
"Kamu benar, Kavi Manggala," Puja mengakui.
"Aku melakukan perawatan sampai hampir gila. Menangis karena tidak bisa memakan roti keju buatan Ayah, meneguk liur saat melihat jajanan kesukaanku dipinggir jalan, lalu pulang dengan wajah lesu. Aku melakukan operasi mata untuk memulihkan penglihatanku. Aku menangis saat lambungku terasa sakit karena diet ketat yang kujalani. Dan sekarang, apa kamu masih mau mengatai aku berlebihan?"
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..