Arjuna Hartono tiba-tiba mendapat ultimatum bahwa dirinya harus menikahi putri teman papanya yang baru berusia 16 tahun.
“Mana bisa aku menikah sama bocah, Pa. Lagipula Juna sudah punya Luna, wanita yang akan menjadi calon istri Juna.”
“Kalau kamu menolak, berarti kamu sudah siap menerima konsekuensinya. Semua fasilitasmu papa tarik kembali termasuk jabatan CEO di Perusahaan.”
Arjuna, pria berusia 25 tahun itu terdiam. Berpikir matang-matang apakah dia siap menjalani kondisi dari titik nol lagi kalau papa menarik semuanya. Apakah Luna yang sudah menjadi kekasihnya selama 2 tahun sudi menerimanya?
Karena rasa gengsi menerima paksaan papa yang tetap akan menikahkannya dengan atau tanpa persetujuan Arjuna, pria itu memilih melepaskan semua dan meninggalkan kemewahannya.
Dari CEO, Arjuna pun turun pangkat jadi guru matematika sebuah SMA Swasta yang cukup ternama, itupun atas bantuan koneksi temannya.
Ternyata Luna memilih meninggalkannya, membuat hati Arjuna merasa kecewa dan sakit. Belum pulih dari sakit hatinya, Arjuna dipusingkan dengan hubungan menyebalkan dengan salah satu siswi bermasalah di tempatnya mengajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Tahun Ajaran Baru
Akhirnya datang juga saatnya Arjuna resmi mengajar mapel matematika kelas 12 tanpa pendampingan Pak Wahyu.
Terlihat beberapa kali Arjuna melakukan gerakan pernafasan di mejanya untuk menenangkan diri. Padahal selama raker para guru, Dono membantunya berlatih bagaimana mengajar di depan kelas.
“Sepertinya akan ada gosip baru nih. Judulnya kisah cinta anak pemilik sekolah dengan guru matematika,” ujar Dono setengah berbisik saat melihat Arjuna sudah duduk di mejanya sedang menenangkan diri.
“Jangan mulai deh,” omel Arjuna.
“Terus ini apaan ?” Dono memperlihatkan sekilas foto yang dikirim Theo di grup mereka bertujuh.
Menjelang pernikahan Dono bulan lalu, grup pertemanan yang semula hanya berempat bertambah menjadi tujuh dengan masuknya Erwin, Dono dan Pius.
“Anjir !” Maki Arjuna tanpa sadar. Dono menyenggol bahu Arjuna yang langsung melirik ke kiri kanan dsn mendapati beberapa guru sedang menatapnya.
“Maaf,” Arjuna mengatupkan kedua tangannya di depan wajah sambil meringis.
“Asli rese nih si Theo,” omel Arjuna dengan suara pelan. Wajahnya yang terlihat kesal malah membuat Dono tertawa.
“Gue mendukung, Bro,” Dono menepuk bahu Arjuna sambil tertawa.
Arjuna mengepalkan tangannya sambil mengomel. Dia memang belum memeriksa handphonenya pagi ini. Arjuna mengambil benda pipih itu dari kantong celananya ldan langsung menekan icon pesan masuk dengan nama grup mereka.
Arjuna kembali terperangah saat melihat postingan Theo. Bisa-bisanya Theo mengambil fotonya saat tidak sengaja memeluk Kirana di Lawang Sewu !
“Shit !” omel Arjuna dengan wajah kesal. “Bisa dapat aja tuh anak. B**ngke !” Umpat Arjuna.
Belum lagi caption di bawahnya
“Mulut menolak, hati terpikat 😍😍”
Kabur dari kejaran anak itik, malah terbang masuk ke sarang anak burung
Buruan daftar yang mau ikutan acara siraman Arjuna (pakai air got) 🤣🤣🤣
Entah berapa banyak Theo mengambil fotonya dengan Cilla secara candid. Arjuna memutuskan akan menemui sahabat laknatnya untuk meminta semua koleksi fotonya dengan Cilla yang diambil secara diam-diam oleh Theo.
Belum selesai Arjuna menulis pesan untuk Theo, suara bel tanda masuk berbunyi. Hari ini ada upacara dalam rangka pembukaan tahun ajaran baru.
Arjuna bersiap-siap sementara Dono entah ada dimana. Ia melangkah keluar ruang guru dengan posisi paling belakang. Masih canggung sebagai guru baru, Arjuna hanya berjalan sendiri.
Bagaikan jodoh yang tidak lari kemana, Cilla sudah berjalan di sampingnya, di belakang mereka ada Febi dan Lili yang mengikuti.
“Selamat pagi Pak Arjuna,” Cilla menyapa pertama diikuti oleh Febi dan Lili.
“Pagi,” jawab Arjuna singkat dengan wajah datar.
“Tambah ganteg aja habis liburan, Pak ? Nggak oplas ke Korea kan, Pak ?” Febi duluan buka suara menggoda Arjuna yang berjalan dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana panjangnya.
Terdengar Lili cekikikan sementara Cilla hanya senyum-senyum saja sambil memandang wajah Arjuna dari samping.
Arjuna mendengus kesal. Sepertinya hari-hari selanjutnya akan penuh dengan ujian mental menghadapi trio ceriwis SMA Guna Bangsa ini.
“Hari pertama harus bahagia, Pak. Jangan jutek kayak begitu,” Cilla cekikikan melihat wajah Arjuna mulai menekuk. “Karena suasana hati di awal perjuangan akan berdampak pada hasil akhirnya.”
Arjuna hanya melirik ke arah Cilla sambil melengos. Ia sengaja mempercepat langkahnya menyusul guru-guru lainnya.
Ketiga siswi itu saling melemparkan pandangan dan tertawa bersamaan.
Sampai di lapangan terlihat Jovan, sang Ketos sedang mengarahkan para siswa untuk merapikan barisan mereka.
Tidak ada perubahan anggota kelas XI yang sekarang menjadi senior di tahun ajaran baru ini. Mereka tidak diacak seperti murid kelas X yang dipencar sesuai dengan kelas penjurusan yang diambil.
“Selamat pagi Jovan,” Lili yang sudah lama menaruh hati pada Ketos ganteng itu menyapa dengan gaya manjanya.
Febi dan Cilla geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya itu. Sudah pernah ditolak Jovan lebih dari sekali dan tahu kalau pria itu menyukai Cilla, namun Lili pantang menyerah memperlihatkan perasaannya.
“Liburan kemana, Cil ?” Jovan malah mendekati Cilla yang masuk dalam barisan kelasnya.
Seperti biasa Cilla dan ketiga temannya memilih paling belakang meskipun secara tinggi seharusnya Cilla hampir di depan. Bagi Jovan yang bertugas mengawasi ketertiban barisan siswa selama upacara, malah lebih baik kalau Cilla di paling belakang. Kesempatan baginya untuk mengawasi sahabat kecilnya itu lebih jelas dan mudah didekati.
“Mulai jadi petugas sensus ?” Cilla mencibir. “Apa tugas ketos sekarang sampai mendata kegiatan liburan siswa ?”
Jovan menghela nafasnya. Sudah sembilan tahun ia berusaha memperbaiki hubungan persahabatan mereka yang rusak saat keduanya duduk di bangku kelas 3 SD. Pricilla, mantan tetangga dan sahabat baiknya sejak mereka masih balita, menutup dirinya rapat-rapat, seolah tidak ada lagi kata maaf untuk Jovan.
“Gue sempet datang ke rumah elo, mau ajak ke rumah. Mami mau ketemu dan ngajak elo jalan. Kata Bang Toga elo pergi ke tempat Bik Mina.”
“Nah itu elo tahu, ngapain nanya lagi ?” Nada suara Cilla terdengar datar tanpa emosi.
Febi dan Lili saling memberikan isyarat sambil mencibir. Meskipun Jovan terlihat berusaha mendekati Cilla di depan Lili, tidak ada kata sakit hati bagi Lili karena ia tahu kalau Cilla tidak pernah menaruh minat pada Jovan.
“Sebentar lagi kita lulus, Cil. Nggak ada niatan buat baikan lagi sama gue ?” Lirih Jovan pelan.
Cilla menoleh dan menatap Jovan dengan wajah dingin.
“Jangan memaksakan kehendak elo terus menerus sama gue,” ujar Cilla sambil tertawa getir. “Cukup sekali dan gue pastiin kalau itu akan menjadi yang terakhir elo menyakiti gue. Kata maaf mungkin gampang diucapin, tapi nggak cukup untuk hilangin rasa sakit gue di sini,” Cilla memegang dadanya sendiri.
“Dan itu semua keputusan elo sendiri bahkan tanpa peduli bagaimana gue memohon sama elo,” nada Cilla berubah sinis dengan senyuman pahit di bibirnya.
Jovan menatapnya sendu. Penyesalan yang dia tunjukkan pada Cilla selama 9 tahun ini, belum mampu menghapus perbuatan buruknya pada sahabatnya itu.
Febi dan Lili saling berpandangan dan mengerutkan dahinya. Meski sudah menjadi sahabat baik Cilla sejak SMP dan sering mendengar permintaan maaf keluar dari mulut Jovan untuk Cilla, namun Febi dan Lili tidak pernah mengetahui pokok persoalan mereka yang sebenarnya.
Suasana hati Cilla mendadak jadi buruk setelah pembicaraannya dengan Jovan pagi ini. Entah mengapa rasa sakit di hatinya selalu kembali membuncah saat membahas perisitiwa buruk yang menimpanya 9 tahun yang lalu. Ditambah lagi sejak kejadian itu, Cilla lebih memilih untuk menghabiskan waktu sendiri atau dengan kedua sahabatnya.
Kesibukan papi Darmawan melebihi tugas seorang presiden. Untuk bertemu saja, Cilla harus bikin janji supaya tidak mengganggu pekerjaan papi.
Febi dan Lili mendiamkan Cilla yang berjalan mengikuti mereka saat upacara telah berakhir. Kalau dalam mode melow seperti ini, apalagi karena Jovan, kedua sahabatnya sudah mengerti apa yang harus mereka lakukan. Membiarkan Cilla menenangkan hatinya seorang diri dengan diam.
“Gue mau bolos,” ujar Cilla tiba-tiba.
Ketiganya baru saja sampai di depan pintu kelaa XIIIPS-1. Febi dan Lili langsung memutar badan mereka menatap Cilla.
“Eh jangan dong, Sis,” Lili langsung menggeleng. “Jam pertama kan perwalian. Katanya mau tahu siapa walkes kita. Jangan bilang elo udah dapat bocoran dari Pak Slamet !” Ujar Lili dengan tatapan menyelidik.Cilla menggeleng.
Meskipun ia anak pemilik sekolah dan hubungannya dengan Pak Slamet bisa dibilang dekat, namun Cilla tidak pernah memanfaatkannya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Cilla justru lebih senang kalau para guru dan teman-temannya memperlakukan dia seperti siswi biasa.
“Ayolah Sis, masa hari pertama di jam pertama elo udah bolos,” bujuk Lili sambil menarik tangan Cilla.
“Iya Cil, jangan di hari pertama, dong,” timpal Febi sambil mengerling.
“Lebay,” Cilla mencibir. “Kalau besok dan besoknya lagi berarti boleh ya ?” Cila mengerjapkan matanya dengan senyum sok manis menatap Febi dan Lili bergantian.
“Udah kelas XII, Neng,” Febi menoyor kening Cilla. “Kagak mau tobat ?”
“Nanti Pak Arjuna naksir kalo gue tobat,” Cilla mengedipkan matanya sambil mengikuti kedua sahabatnya masuk kelas.
“Sok jaim,” Lili mencebik. “Gayanya ngomong sama kita cuma demen nge-bully tuh guteng. Dalam hati sih, ngarep ditembak juga.”
“Eh gue bukan cewek ajaib bin aneh ya,” Cilla menoyor pelan kepala Lili dari belakang. “Kalau ditembak cowok ya berbunga-bunga juga lah. Masalahnya mau diterima apa nggak.”
Lili mencebik dan Febi hanya tertawa. Mereka sudah sampai di meja. Seperti biasa, baris paling belakang dekat jendela adalah pilihan favorit Cilla sementara Febi dan Lili duduk berdua di depannya.