Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hamil
Sepeninggal Brian, Hani dan Revi sibuk menelepon Zaira dan juga Mbok Inah. Keduanya tidak bisa dihubungi. Mereka sangat cemas dan tidak tahu cara lain menghubungi sahabatnya itu.
Apalagi, pernyataan Brian sangat tidak bisa diterima. Bagaimana mungkin dia menginap di rumah klien? lalu ponselnya mati? Apakah disana tidak ada charger? Alibinya sungguh luar biasa! Siapapun tahu kalau dia tengah berbohong.
"Bagaimana, Han?" Revi berhenti sejenak dari aktivitas mondar-mandirnya.
Hani menatapnya sambil menggelengkan kepala. Bagaimana pun dia berusaha, ponsel Zaira tetap tidak bisa dihubungi.
"Aduh. Aku sama sekali gak paham! Bedebah itu benar-benar tebal muka menemui kita dan menanyakan keberadaan istrinya!" Gerutu Revi yang sejak tadi amarahnya ia tahan lantaran tidak mau merusak suasana. Dia merasa Brian banyak membohongi sahabat itu.
Hani hanya diam. Duduk sambil menopang dagunya.
"Apa kak Brian menemui mantannya lagi, ya?" Gumam Hani pelan.
"Jelas! Sangat jelas. Dia terlalu kelihatan menutupi kebohongannya itu!" Pekik Revi yang menumpahkan kekesalannya.
Lalu mereka terdiam cukup lama. Sebab tidak mendapatkan informasi yang akurat dan menggantung. Zaira benar-benar menghilang entah kemana.
"Biarlah Zaira menenangkan dirinya dahulu. Nanti dia pasti akan menghubungi kita". Terang Revi kemudian. Dia lalu beranjak dari kursi menuju pintu keluar. "Aku lanjut lagi, ya. Tolong hubungi kalau ada kabar dari Zaira." Ucapnya lalu keluar dari ruangan Hani.
"Sialan dia. Padahal dia yang bermasalah!" Geram Hani tiba-tiba. Di matanya, Brian adalah manusia yang tidak tahu diri.
******
Brian menyandarkan punggungnya kursi belakang kemudi mobil. Dia memejamkan matanya beberapa saat. Hari berat mungkin mulai terjadi. Dia tidak bisa berfikir jernih karena sampai sore ini Zaira bahkan tidak memberi kabar.
Dia menjalankan mobilnya. Matanya lurus kedepan menatap jalan. Namun pikirannya terbang melayang. Dia mengakui bahwa dia telah salah memilih jalan. Mungkin kalau dia mengakhiri hubungan dengan Rinnada sekarang, rumah tangga dirinya dan Zaira masih bisa terselamatkan.
Apalagi, dia merasa tidak bisa kehilangan Zaira. Istrinya tidak memberi kabar seharian ini saja, hatinya sangat gundah.
Beberapa menit kemudian, dia sudah sampai di apartemen Rinnada. Sambil berjalan, dia menimbang-nimbang dan memilih kata yang pas untuk diucapkan supaya gadis itu mau menerima kenyataan bahwa kini dirinya telah berumah tangga.
Brian memencet bel di pintu. Setelah menunggu beberapa saat, Rinnada membukanya dan langsung memeluk saat tahu siapa yang datang ke apartemennya.
"Ah, kakak. Aku sangat rindu". Pelukannya erat dan membuat Brian terpaku.
"Kak, masuklah. Ada yang mau aku tanyakan". Rinnada memeluk lengan Brian sambil membawanya masuk. Dia mendudukkan Brian di sofa, lalu ia pun duduk disampingnya.
"Kak, aku tadi aku sudah cari tahu tentang kehamilan, loh". Ucap Rinnada dengan penuh keceriaan. Dia tidak melepaskan tangannya yang melingkar di lengan Brian.
Brian menoleh dengan alis berkerut. Hamil? Belum ada 24 jam mereka berhubungan. Apakah secepat itu? Batin Brian.
"Kak, aku lagi di masa subur. Kemungkinan hamilnya itu sangat tinggi. Kalau aku hamil, kakak mau bertanggung jawab, kan?"
Brian membisu. Otaknya seperti berhenti bekerja. Bagaimana mungkin dia tidak memikirkan hal itu?
"Kak, aku tidak masalah jika kakak tidak mau menikahiku. Tapi, jangan pernah tinggalkan aku dan anakku". Ucapnya sambil merangkulkan tangan Brian ke pundaknya. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Brian.
"Aku tahu, jauh di lubuk hati yang terdalam, kakak pasti menginginkan keturunan. Dan aku, bisa memberikannya untukmu. Bagaimana, kak?" Ucapnya sambil mendongakkan kepalanya. Dia melihat Brian hanya mematung menatap ke depan.
"Kak.." Rinnada menyentuh pipi Brian. Lelaki itu lalu tersadar.
"Apa kau bilang?"
"Kalau aku hamil, aku tidak masalah jika tidak menikah. Aku akan bersembunyi dan membesarkan anakmu". Ujarnya lalu mencium pipi Brian. "Aku tidak akan memberi tahu siapapun. Asal kau tidak meninggalkan aku".
Brian terdiam. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
"Aku sangat mencintaimu, kak. Kau pasti tahu itu. Perasaanku tidak pernah berubah bahkan setitik pun". Rinnada memeluk pinggang Brian lagi. "Bagaimana? Kak, kau mau kan? Kau cuma perlu mengunjungiku. Seminggu sekali juga tidak masalah asal tetap bersamaku dan tetap mencintaiku. Aku akan melahirkan banyak anak untukmu". Ucapnya sambil tersenyum.
"Benarkah?" Pikiran Brian teralihkan. Dia merasa tawaran Rinnada sungguh mengesankannya. Wanita itu akan melahirkan anak untuknya. Jika ini terjadi, sepertinya pelan-pelan Zaira akan mengerti. Toh, dia pernah memintanya melakukan itu. Walau awalnya bersedih, lambat laun dia pasti akan menerimanya. Begitu batinnya.
"Iya. Begitu. Berjanjilah untuk tidak meninggalkanku, kak". Mata Rinnada bersinar. Dia tak sangka Brian mau menerimanya seperti itu.
"Baiklah. Aku berjanji, jika kau hamil dan melahirkan anakku, aku takkan meninggalkanmu." Ucap Brian pada Rinnada. Namun, wajah wanita itu sedikit berubah.
"Begitukah?" Dia sejenak terdiam mendengar isi janji Brian.
"Baiklah sayang". Ucapnya lagi lalu memeluk Brian lebih erat. Dalam hatinya, dia berusaha sekuat tenaga supaya ia hamil agar Brian tetap berada di sampingnya.
****
Hari sudah berubah gelap. Brian menanti istrinya di ruang tamu. Sama seperti yang dilakukan Zaira kemarin, dia mengintip jendela saat mendengar suara mobil menuju ke arah rumahnya dan kecewa kalau ternyata bukan Zaira yang datang.
Tak lama, Brian mengintip dari jendela saat suara deru mobil terdengar. sontak dia keluar saat melihat mobil Zaira yang masuk ke dalam gerbang. Wanita itu keluar dan terhenti saat melihat Brian berdiri dengan wajah cemasnya. Zaira buang muka dengan kesal.
Zaira melangkah masuk melewati Brian yang mematung. Dia bahkan tidak melirik suaminya itu. Dari belakang, Brian mengikutinya dengan perasaan hampa. Sebab ternyata istrinya itu masih marah.
"Sayang.."
Brian mencegatnya masuk ke dalam kamar. Lelaki itu menahan gagang pintu.
"Maafkan aku. Tolong dengarlah dulu penjelasanku". Ucapnya dengan wajah memelas, berharap Zaira mau mendengarkannya saat ini.
Zaira mendengus kesal. "Berhentilah, mas. aku lelah. Biarkan aku istirahat dulu". Ucapnya dengan malas. Dia enggan menatap Brian apalagi harus bercerita, dia belum bisa.
Brian menjatuhkan tangannya dan membiarkan Zaira masuk. Wajahnya masih terlihat kesal, karena itulah dia tidak mau memaksa istrinya. Bisa-bisa dia meledak dan Brian tidak mau itu terjadi.
Dia ikut masuk dan melihat Zaira langsung tergeletak di atas tempat tidur. Melihat dari penampilannya, Zaira segar dan wangi. Artinya dia sudah bersih-bersih dari tempatnya tadi.
Brian berdiri mematung menatap tubuh Zaira yang menimpa wajahnya dengan bantal. Dia teringat lagi pada apa yang dia lakukan. Dia sangat tidak bisa kehilangan Zaira. Lalu kalau Rinnada hamil dan melahirkan anaknya, akankah dia meninggalkan Zaira?
Brian memegang dahinya. 'Aku tidak ingin kehilangan keduanya..' Gumamnya dalam hati.
Bersambung...
cow gk tahu diuntung