"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ikatan Sejati
Malam itu, suasana di dalam kamar Hamzah dan Robi begitu tenang. Hanya terdengar desah napas mereka yang teratur, menandakan tidur yang nyenyak. Namun, ketenangan itu tiba-tiba pecah ketika suara alarm dari handphone Hamzah menggema di ruangan. “Kriiing....kriiing......kriiiing,” suara monoton itu memecah keheningan malam.
Hamzah terbangun, matanya masih setengah terpejam. Ia meraih handphone yang bergetar di atas meja, lalu dengan sigap mematikan alarm yang terus berdering. Setelah menatap layar handphone yang menunjukkan pukul empat pagi, ia menggumam, “Sudah jam empat pagi.” Dengan semangat yang baru, Hamzah duduk di tepi tempat tidur dan segera berdiri untuk bersiap melaksanakan sholat subuh.
Ia berjalan menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar. Setelah menggosok gigi dan berwudhu, Hamzah kembali ke kamar dan mengambil kemeja yang tergantung rapi di dinding. “Masih setengah jam sebelum subuh,” gumamnya sambil mengamati waktu. Ia kemudian mengambil Al-Qur’an dari dalam koper dan menggelar sajadahnya.
Hamzah duduk bersila di atas kasur, membuka Al-Qur’an dengan penuh khidmat. Suara lembutnya melantunkan ayat-ayat suci menggema di dalam kamar. Di luar kamar, Mbah Dul, seorang pria tua bijak yang tinggal di rumah yang sama, melintas dan mendengar suara merdu Hamzah. Ia berhenti sejenak, terpesona oleh melodi indah yang mengalun dari dalam kamar.
“Subhanallah, begitu indah suara Hamzah melantunkan ayat-ayat-Mu,” gumam Mbah Dul dalam hati sebelum melanjutkan langkahnya. Sementara itu, Hamzah masih larut dalam murajaah-nya, merasakan kedamaian yang hanya bisa didapatkan saat membaca kitab suci.
Beberapa saat kemudian, Robi, teman sekamar Hamzah yang sebelumnya terlelap, terbangun oleh suara mengaji tersebut. Ia melihat jam dinding dan menyadari waktu hampir subuh. “Sudah hampir subuh,” gumamnya pelan sebelum beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
Setelah menyegarkan diri, Robi mengambil baju kemeja yang terlipat rapi dari kopernya. Tiba-tiba, suara adzan subuh dari masjid dekat rumah Mbah Dul menggema memenuhi udara pagi. “Shadaqallahul-‘adzim’. Alhamdulillah sudah adzan,” ucap Hamzah sambil menutup Al-Qur’an dengan penuh rasa syukur.
“Rob, yuk kita keluar. Kita sholat jama'ah bareng Mbah Dul,” ajak Hamzah dengan semangat.
“Iya Zah, aku juga sudah siap,” sahut Robi seraya tersenyum. Mereka berdua segera berjalan keluar dari kamar setelah menutup pintu dengan lembut.
Ketika tiba di mushola, mereka melihat Mbah Dul sedang iktikaf di atas sajadahnya. Mbah Dul menoleh ke belakang saat mendengar langkah mereka. “Sudah wudhu?” tanyanya.
“Sudah Mbah,” jawab Hamzah dan Robi bergantian.
“Yasudah kalau begitu, kita sholat subuh yuk,” lanjut Mbah Dul dengan nada ceria.
“Iya Mbah,” sahut mereka serentak.
“Seperti biasa, yuk Mas Hamzah jadi imam, yuk bisa yuk!” Robi menggoda sambil tersenyum nakal.
“Yeee, aku terus. Gantian kamu dong Rob,” balas Hamzah sambil tertawa.
“Kok aku? Lagian di sini ada imam besar kok,” timpal Robi dengan nada ngeles.
Mbah Dul ikut tertawa sebelum berkata tegas, “Sudah Nak Hamzah, ayo jadi imam.”
Dengan senyum pasrah namun penuh rasa tanggung jawab, Hamzah akhirnya berjalan ke depan. Sembari menoleh ke belakang ia bertanya, “Sudah siap?”
“Alhamdulillah sudah,” jawab Mbah Dul dan Robi serentak.
Hamzah mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan takbiratul ihram dengan khusyuk. “Allahu Akbar...” Suara itu memecah kesunyian pagi yang damai. Mereka bertiga larut dalam sholat subuh dengan penuh ketenangan dan rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Saat mereka bersujud dalam kebersamaan itu, suasana pagi seolah dipenuhi berkah dan harapan baru. Dalam hati mereka berdoa agar setiap langkah kehidupan selanjutnya dipenuhi cahaya dan petunjuk-Nya.
Setelah sholat selesai, ketiganya duduk bersila di atas sajadah sambil berbincang ringan tentang harapan dan impian mereka untuk hari itu. Suara tawa dan canda menggema di mushola kecil itu, menciptakan suasana hangat yang membuat pagi semakin indah.
Dalam kebersamaan itu, Hamzah menyadari betapa berharganya momen-momen sederhana ini—momen yang akan selalu dikenang dalam setiap detak jantung kehidupannya. Sebuah pelajaran bahwa kebersamaan dalam ibadah adalah sumber kekuatan bagi jiwa manusia. Dan begitulah hari baru dimulai dengan harapan baru—sebuah nyanyian subuh yang tak akan pernah terlupakan.
***
Beberapa saat setelah melaksanakan sholat subuh berjama’ah, Mbah Dul beranjak dari duduknya dan meninggalkan dua orang pemuda yang masih terdiam. Sesaat kemudian Robi mengikuti langkah Mbah Dul, menyisakan Hamzah seorang diri. Dalam keheningan, Hamzah tetap duduk, kepalanya menunduk, memegang tasbih kayu yang telah menemaninya dalam banyak doa.
Dengan suara lembut, Hamzah mulai berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba...” Doanya mengalir penuh harapan dan kerendahan hati. Hari itu adalah hari yang istimewa baginya; ia akan berangkat ke luar negeri untuk mengejar cita-citanya.
Setelah selesai berdoa, Hamzah berdiri dan melangkah menuju kamarnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah bingkai besar di dinding yang terlihat begitu mewah dan antik. Di dalamnya terdapat foto tua Mbah Dul bersama tiga temannya semasa muda.
Hamzah termenung, diam sesaat seraya memperhatikan wajah-wajah dalam foto tersebut. Mbah Dul tampak muda dan ceria, seumuran dengan Hamzah saat ini. Namun, ada satu wajah yang mencuri perhatiannya—salah satu teman Mbah Dul terlihat sangat familiar bagi Hamzah. “Siapakah dia?” gumam Hamzah.
Di bawah foto itu tertulis kalimat bijak: “Bahasa persahabatan tak tercermin dari kata-kata, melainkan dengan arti.” Nama-nama tertera: Abdullah, Taufiq, Yahya, dan Rozi. Ketika membaca nama Rozi, jantung Hamzah berdegup kencang. “MasyaAllah,” ucapnya terkejut. “Ternyata pak Kyai Rozi adalah sahabat Mbah Dul.”
Pikirannya berkelana tentang bagaimana Pak Kyai Rozi dan Mbah Dul bisa memiliki ikatan yang begitu kuat. Rasa penasaran semakin membara dalam dirinya.
Hamzah berjalan pelan untuk kembali ke kamarnya, dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Mengapa pak Kyai Rozi bisa berteman akrab dengan Mbah Dul? Apa cerita di balik persahabatan mereka? Ia merasa perlu mencari jawaban.
Disaat Hamzah sudah berada di depan pintu kamarnya, suara seorang perempuan memanggilnya dari arah belakang dengan nada pelan dan sopan.
“Mas Hamzah,” ucap bibi dengan nada ramah.
Hamzah menoleh, terkejut namun segera menjawab, “Iya bi, ada apa?” Suara bibi memecah lamunan Hamzah.
“Ini mas, tadi Tuan Dul meminta bibi untuk memanggil Mas Hamzah,” lanjut bibi dengan senyuman.
“Ada apa bi?” Hamzah bertanya, rasa ingin tahunya semakin membara.
“Tidak tahu mas, bibi cuma disuruh untuk menyampaikan ke mas Hamzah,” jawab bibi sambil menggelengkan kepala.
“Sekarang bi?” Hamzah memastikan, merasa ada urgensi dalam pesan itu.
“Iya mas, sekarang,” bibi mengangguk mantap.
“Oh iya bi,” jawab Hamzah sambil mengangguk pelan. Ia merasa ada sesuatu yang penting menunggu di dalam pertemuan ini.
“Eh bi, Mbah Dul menunggu di mana ya bi?” tanya Hamzah lagi.
“Di kamar Tuan Dul mas,” jawab bibi dengan nada tenang.
“Iya bi, tunggu sebentar ya bi, Hamzah kembalikan sajadah terlebih dahulu” sahut Hamzah sebelum membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar yang nyaman itu, Hamzah melihat sahabatnya Robi tertidur pulas di atas kasur. Tanpa membangunkan Robi, ia meletakkan sajadah di atas kasur dan segera keluar untuk menemui Mbah Dul.
“Yuk bi, Hamzah sudah siap,” ucapnya bersemangat.
“Iya mas,” timpal bibi sambil melangkah ke arah kamar Mbah Dul. Hamzah mengikuti langkah cepat bibi dengan hati yang berdebar.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di depan kamar Mbah Dul. “Silakan masuk mas,” ucap bibi memberi izin.
Hamzah mengangguk dan menjawab, “Iya bi.” Bibi kemudian meninggalkannya dan Hamzah pun segera mengetuk pintu kamar Mbah Dul dengan lembut. “Tok...tok...tok.”
“Silakan masuk nak,” teriak Mbah Dul dari dalam dengan suara yang hangat dan penuh kasih sayang.
Hamzah membuka pintu dan melangkah masuk. “Assalamu’alaikum Mbah Dul,” ucapnya dengan sopan.
“Wa’alaikumussalam, sini duduk sini,” ajak Mbah Dul sembari menunjuk kursi di dekatnya. Hamzah berjalan menuju kursi itu dan duduk dengan penuh rasa hormat.
Kamar Mbah Dul terlihat begitu luas dan nyaman, jauh lebih besar daripada kamarnya sendiri. Dalam hati Hamzah bergumam, “Kamarnya begitu besar, kemungkinan ukuran kamar Mbah Dul sama dengan ukuran rumahku.”
“Nak Hamzah,” panggil Mbah Dul singkat.
“Iya mbah,” jawabnya cepat.
“Nak Hamzah tahu tidak alasan simbah memanggil nak Hamzah?” lanjut Mbah Dul dengan senyuman yang penuh makna.
Hamzah menggelengkan kepala, ia tidak tahu apa yang ingin Mbah Dul sampaikan. Lantas Mbah Dul pun tersenyum lebar dan melanjutkan pembicaraan pagi itu dengan nada serius namun lembut. “Jadi begini Nak Hamzah...”
Kata-kata Mbah Dul menggantung di udara, menciptakan rasa penasaran yang mendalam dalam diri Hamzah. Apa yang akan disampaikan oleh sosok bijak ini? Dalam suasana tenang itu, berbagai pikiran melintas di benak Hamzah tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya.