Nia terpaksa menikah dengan Abizar untuk balas Budi. Karena suatu alasan Nia harus merahasiakan pernikahannya termasuk keluarganya. Orang tua Nia ingin menjodohkan Nia dengan Marcelino. Anak dari teman papanya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Abizar dan Nia ? Siapakah yang akan di pilih oleh Nia ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gadis Scorpio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 34
Setelah Marcelino pergi, Asti melanjutkan langkahnya menuju ke ruang kerja suaminya dengan membawakan minuman.
Asti berhenti tepat di depan pintu ketika mendengar Hendrawan sedang menelepon seseorang.
"Pa, jangan terlalu capek. Ingat pesan dokter." Asti masuk dengan tersenyum, meletakkan minuman di meja.
"Sebentar lagi selesai." ucap Hendrawan sambil terus melakukan pekerjaannya.
"Ya sudah, mama ke kamar dulu." sebelum keluar Asti melihat Hendrawan yang masih fokus menatap kertas-kertas di atas mejanya.
Di dalam kamarnya, Asti mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang. "Aku punya tugas untuk mu ?"
Asti tersenyum puas karena memiliki orang suruhan yang bisa di andalkan, biarpun ia harus merogoh kocek lebih tapi ia selalu puas dengan hasilnya. Asti berharap kali ini juga ia akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
"Maaf suamiku. Aku akan selalu menggagalkan rencana mu."
Sementara itu di sebuah bar Marcelino duduk sendiri menyesap minumannya. Hanya sedikit tapi tidak membuatnya mabuk. Matanya terus saja memperhatikan seorang wanita pelayan di bar tersebut.
"Maaf, tuan. Aku hanya pelayan yang mengantarkan minuman." Helena menepis tangan-tangan pria nakal yang mau memeluknya.
"Kami akan memberikan tips yang banyak untuk mu. Mari sebentar saja kita bersenang-senang." ucap seorang pria menarik paksa tangan Helena.
"Lepaskan !" Marcelino mencoba menghentikan.
"Marcel" Helena yang sedang ketakutan bersembunyi dibalik tubuh Marcelino.
"Siapa kamu ? jangan ikut campur !" pria itu menghardik Marcelino yang berusaha jadi pahlawan.
"Siapa aku tidak penting. Yang jelas aku bukan laki-laki b***gsek seperti kalian."
Ucapan Marcelino membuat pria itu marah dan langsung memberikan pukulan di wajah Marcelino. Perkelahian tak bisa dielakkan lagi ketika Marcelino membalas pukulannya. Suasana seketika menjadi semakin kacau apabila teman-teman pria itu ikut memberikan pukulan yang membuat teman-teman Marcelino tidak tinggal diam dan ikut membantu.
Aksi baku hantam yang terjadi selama beberapa menit itu baru berhenti setelah pihak keamanan bar turun tangan.
"Marcel, kau tak apa-apa ?" Helena menghampiri Marcelino yang di bawa ke ruangan sekuriti bersama beberapa orang yang tadi berkelahi.
Helena mencoba mengusap wajah Marcelino yang tampak membiru dan lebam. Tapi Marcelino memalingkan wajahnya sehingga tangan Helena menggapai udara. Helena merasakan sakit dalam hatinya.
"Mengapa masih peduli jika kau memang membenciku." ucap Helena sedih.
"Jangan terlalu percaya diri, Hel. Aku pasti akan melakukan hal ini meskipun itu orang lain." Marcelino berkata dengan nada merendahkan yang membuat Helena semakin merasakan sakit hati.
Helena menangis mendapatkan perlakukan sebegitu dari orang yang dia cintai. Gadis yatim piatu yang selalu saja tegar dan tidak pernah menjatuhkan air matanya sekalipun orang-orang merendahkan dan juga menghinanya. Tapi kenapa sesakit ini apabila Marcelino yang melakukan itu padanya.
Braaakkk
Hendrawan menghentak meja di hadapan Marcelino. "Dasar tidak berguna !" suara Hendrawan menggema di seluruh ruangan.
"Pa, sudah. Jangan seperti ini. Ingat penyakit papa." Asti mengusap punggung suaminya mencoba menenangkan Hendrawan yang sedang marah.
"Ini yang terakhir untuk mu, Marcel. Jika kau berulah lagi, papa tidak akan menolong mu lagi." Hendrawan memberi peringatan untuk anaknya.
Ini bukan pertama kalinya Hendrawan berurusan dengan polisi karena ulah Marcelino. Sudah sering kali Hendrawan dan pengacaranya datang kekantor polisi untuk menjamin dan membebaskan Marcelino. Hal inilah yang membuat Hendrawan tidak percaya kepada Marcelino dan menganggap anaknya itu yang tidak bisa di harapkan.
"Ingat itu !" Hendrawan kembali mengangkat suaranya sebelum pergi meninggalkan Marcelino dan kembali ke kamarnya. Ini bahkan baru pukul tiga dini hari tapi Hendrawan sudah menghabiskan separuh energinya untuk marah.