NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:118
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31: KEBERSAMAAN SINGKAT

#

Seminggu berlalu di safe house. Tujuh hari yang terasa kayak dua puluh hari karena Laura gak bisa kemana-mana. Tapi ada satu hal yang bikin seminggu itu gak seburuk yang dia pikir: Julian.

Julian datang setiap hari—pagi, siang, malam. Kadang cuma sejam di sela meeting, kadang nginep sampai pagi. Dia bawa makanan favorit Laura, bawa film-film yang Laura suka, bahkan bawa puzzle yang mereka kerjain bareng sambil ngobrol tentang segala hal.

Pagi itu, hari kedelapan, Laura bangun dengan bau pancake yang menggoda dari dapur. Dia keluar dari kamar dengan rambut berantakan dan mata masih setengah terpejam.

Julian di dapur dengan apron yang kegedean—pinjeman dari pengurus safe house—lagi bolak-balik pancake dengan serius banget. Wajahnya fokus kayak lagi defuse bom, bukan masak pancake.

"Lo lagi ngapain?" tanya Laura, gak bisa nahan senyum.

Julian terlonjak sedikit—gak denger Laura keluar—lalu tersenyum malu. "Gue—gue coba bikin sarapan. Lo suka pancake kan?"

"Suka. Tapi lo bisa masak?" Laura berjalan mendekat, ngintip wajan. Pancake-nya—well, bentuknya aneh. Ada yang gosong di pinggir, ada yang terlalu tipis, ada yang malah kayak blob gak jelas.

"Gue belajar dari YouTube semalam," jawab Julian dengan bangga yang gak proporsional dengan hasil di wajan. "Kelihatannya gampang pas di video."

Laura tertawa—tertawa yang tulus, yang bikin Julian ikutan senyum meski dia tau pancake-nya gagal total.

"Okay, turun. Biar aku yang masak," ujar Laura, mendorong Julian dari kompor dengan lembut.

"Tapi ini kan harusnya gue yang masak buat lo—"

"Dan aku appreciate usaha lo," potong Laura dengan senyum. "Tapi kalau kita mau sarapan sesuatu yang edible, biar aku yang handle."

Julian mundur dengan tangan terangkat, senyum lebar di wajahnya. "Baiklah, Chef Laura. Gue akan jadi taste tester aja."

Mereka akhirnya masak bareng—Laura yang aktual masak, Julian yang bantuin dengan canggung tapi penuh semangat. Dapur kecil itu dipenuhi tawa saat Julian nyaris numpah tepung, saat Laura kesel karena Julian makan cokelat chip yang harusnya buat topping, saat mereka berantem main-main tentang apakah pancake harus bulat sempurna atau gak masalah bentuknya aneh.

Dan di moment-moment sederhana itu, Laura ngerasa—ngerasa lebih bahagia dari sebelumnya. Bukan karena mereka di tempat mewah atau lagi ngapa-ngapain yang spektakuler. Tapi karena mereka bareng. Karena ini terasa—terasa kayak rumah.

***

Siang harinya, setelah Julian harus balik ke kantor untuk meeting penting, Laura duduk sendirian di taman kecil belakang safe house. Ini satu-satunya tempat dia bisa keluar—taman yang dikelilingi tembok tinggi dengan security di setiap sudut.

Dia lagi baca buku yang Nia bawain kemarin pas visit, tapi pikiran nya melayang. Melayang ke Julian, ke masa depan mereka yang masih penuh tanda tanya karena Leon.

Ponselnya berdering. Pesan dari Julian.

**Julian: Gue kangen lo. Meeting ini membosankan banget. Wish lo ada di sini.**

Laura tersenyum, jarinya mengetik balasan.

**Laura: Meeting baru sejam, lebih cepet. Dan kenapa aku harus di meeting membosankan lo?**

**Julian: Karena lo bikin segalanya jadi gak membosankan. Even cuma duduk di samping gue, itu udah cukup.**

**Laura: Lo cheesy lagi. Fokus di meeting lo.**

**Julian: Gak bisa fokus. Gue mikirin lo terus. Lo udah makan siang?**

**Laura: Belum. Lo?**

**Julian: Gue mau pesen makanan. Lo mau makan apa? Gue akan bawa nanti.**

Laura merasakan dadanya hangat. Detail-detail kecil kayak gini—Julian yang inget dia belum makan, yang mau bawain makanan walau dia pasti capek—ini yang bikin Laura jatuh cinta lebih dalam setiap hari.

**Laura: Apa aja. Asal ada lo.**

Ada jeda beberapa detik sebelum balasan datang.

**Julian: Lo bikin gue pengen skip meeting ini dan langsung balik ke sana.**

**Laura: Jangan. Lo punya tanggung jawab. Aku akan tunggu di sini. Gak kemana-mana kok.**

**Julian: Oke. Tapi nanti malem, kita punya kencan. Gue udah planning sesuatu.**

**Laura: Kencan? Di safe house?**

**Julian: Lo akan lihat nanti. Trust me.**

***

Malam itu, jam tujuh, Laura duduk di ruang tamu dengan bingung. Julian bilang kencan tapi dia gak tau kencan kayak gimana di safe house yang terbatas gini.

Pintu terbuka. Julian masuk dengan tas besar di tangan, senyum lebar di wajahnya.

"Lo bawa apa?" tanya Laura, berdiri dan mendekat.

"Surprise," jawab Julian dengan mata berbinar. "Tapi lo harus tutup mata dulu."

"Serius?"

"Serius. Ayolah, trust me."

Laura mendesah tapi nurut, menutup matanya. Dia denger Julian gerak-gerak, bunyi sesuatu di-set up, bunyi musik pelan mulai mengalun.

"Okay, buka."

Laura membuka mata dan langsung terpesona.

Ruang tamu yang tadi biasa aja sekarang berubah total. Lampu utama dimatiin, diganti dengan lilin-lilin kecil yang ditaruh di mana-mana—aman karena dalam jar kaca. String lights digantung di dinding, bikin ruangan terlihat kayak scene dari film romantis. Di tengah ruangan, ada selimut besar digelar dengan bantal-bantal empuk, dan di atasnya makanan dari restoran favorit Laura.

"Julian—" Laura gak bisa ngomong, terlalu terharu.

"Indoor picnic," ujar Julian dengan senyum malu. "Karena kita gak bisa pergi keluar, gue bawa luar masuk ke dalam. Cheesy, gue tau. Tapi—"

Laura langsung memeluknya, memeluk Julian dengan erat sampai dia agak kehilangan keseimbangan. "Ini—ini paling manis yang pernah ada yang lakuin buat aku."

Julian memeluknya balik, mencium puncak kepala Laura. "Lo deserve lebih dari ini. Lo deserve kencan beneran di luar, restoran mewah, bunga, semua itu. Tapi untuk sekarang—"

"Ini sempurna," potong Laura, mengangkat wajahnya untuk menatap Julian. "Ini lebih dari sempurna."

Mereka duduk di selimut itu, makan sambil ngobrol tentang segala hal. Julian cerita tentang meeting tadi yang beneran membosankan, tentang Adrian yang somehow udah punya pacar baru padahal seminggu lalu masih jomblo, tentang Felix yang ngirim pesan nanyain kapan dia bisa visit Laura.

Laura cerita tentang buku yang dia baca, tentang gimana dia kangen kerja tapi juga appreciate waktu untuk istirahat ini, tentang gimana dia kangen ortunya di Surabaya yang gak bisa dia kunjungi karena security concern.

"Lo mau videocall mereka?" tanya Julian tiba-tiba. "Gue bisa atur sekarang kalau lo mau."

Laura menatapnya dengan terkejut. "Serius? Tapi—tapi kan security—"

"Gue udah check sama tim. Selama gak mention lokasi lo dan gak terlalu lama, videocall aman," jawab Julian. "Dan gue tau lo kangen mereka."

Lima menit kemudian, wajah Mama dan Papa Laura muncul di layar laptop. Mereka kelihatan lega banget lihat Laura.

"Sayang, kamu baik-baik aja?" tanya Mama dengan mata berkaca-kaca.

"Aku baik, Ma. Sehat. Cuma—cuma harus di sini dulu untuk sementara," jawab Laura, suaranya juga bergetar.

"Kami khawatir banget pas denger ada orang ngancam kamu," ujar Papa. "Tapi orang keamanan yang Julian kirim bilang kamu aman. Dia—Julian—dia jagain kamu kan?"

Laura melirik Julian yang duduk agak jauh, kasih privasi tapi tetep di ruangan yang sama. "Iya, Pa. Dia jagain aku."

"Bagus. Bilang sama dia terima kasih dari kami," ujar Mama. "Dan Laura—kamu tau kan kalau kami sayang sama kamu? Apapun yang terjadi, kami selalu ada."

"Aku tau, Ma. Aku juga sayang Mama Papa."

Setelah videocall selesai—Lima belas menit yang terlalu cepat tapi cukup untuk bikin Laura nangis bahagia—Julian duduk di samping Laura lagi, ngusap air matanya dengan lembut.

"Terima kasih," bisik Laura. "Terima kasih udah ngatur itu."

"Apapun buat lo," jawab Julian simpel.

Mereka lanjut makan, lanjut ngobrol, sampai makanan habis dan musik berubah jadi lagu-lagu slow yang lembut.

"Dance with me," ujar Julian tiba-tiba, berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Di sini? Sekarang?" Laura menatap tangannya dengan ragu.

"Kenapa enggak? Gak ada yang lihat kecuali security di luar yang pura-pura gak lihat. Ayolah."

Laura tersenyum, meletakkan tangannya di tangan Julian. Mereka berdiri di tengah ruangan yang diterangi lilin-lilin kecil itu, bergoyang pelan mengikuti musik.

Julian gak jago dance—gerakan nya kaku dan beberapa kali dia injek kaki Laura—tapi Laura gak peduli. Karena ini—ini adalah moment yang akan dia inget selamanya. Moment dimana mereka dance di ruangan kecil safe house, dikelilingi lilin, dengan ancaman di luar tapi cinta di dalam.

"Gue pengen lo tau sesuatu," ujar Julian pelan, dagu nya bersandar di puncak kepala Laura.

"Apa?"

"Seminggu terakhir ini—seminggu dimana kita stuck di safe house ini, dimana kita gak bisa kemana-mana, dimana semua terbatas—ini adalah seminggu paling bahagia dalam hidup gue."

Laura mengangkat kepalanya, menatap Julian dengan mata berkaca-kaca.

"Karena gue sadar," lanjut Julian, "kebahagiaan itu bukan tentang dimana lo berada atau apa yang lo lakuin. Tapi tentang sama siapa lo berada. Dan selama gue sama lo—gue bisa stuck di manapun, lakuin apapun, dan gue akan tetap bahagia."

"Julian—" suara Laura pecah.

"Gue mencintai lo, Laura Christina," ujar Julian dengan tegas. "Gue mencintai lo dengan cara yang gue gak bisa jelasin. Dan apapun yang terjadi dengan Leon, apapun yang terjadi di masa depan—gue mau lo tau bahwa lo adalah orang paling penting dalam hidup gue. Lo adalah rumah gue."

Laura gak bisa nahan air matanya lagi. Dia nangis di pelukan Julian, nangis bahagia, nangis karena dia ngerasa—ngerasa dicintai dengan cara yang dia gak pernah pikir possible.

"Aku juga mencintai lo," bisiknya di dada Julian. "Aku mencintai lo dengan seluruh hatiku. Dan aku gak mau kehilangan lo. Gak mau kehilangan ini."

"Lo gak akan kehilangan gue," janji Julian, mencium dahi Laura. "Gue janji."

Mereka dance seperti itu—pelan, erat, nyaman—sampai musik berhenti dan lilin-lilin mulai padam satu per satu.

Dan di moment itu, di ruangan yang mulai gelap itu, Laura merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Sesuatu yang kayak warning, kayak feeling bahwa kebahagiaan ini terlalu sempurna untuk bertahan lama.

Tapi dia mengabaikan feeling itu. Dia fokus pada detak jantung Julian, pada kehangatan pelukannya, pada perasaan aman yang dia rasain saat dia sama Julian.

Karena besok—besok mereka harus fight lagi. Harus hadapin Leon, hadapin bahaya, hadapin semua yang mengancam mereka.

Tapi malam ini, mereka biarkan diri mereka bahagia. Biarkan diri mereka tenggelam dalam cinta yang mereka punya, dalam momen-momen sederhana yang ternyata adalah momen paling berharga.

Dan saat mereka akhirnya tidur di sofa—Julian memeluk Laura dari belakang, selimut menutupi mereka berdua—mereka gak tau bahwa di luar safe house, di kegelapan malam Jakarta, Leon sedang ngawasin dari kejauhan.

Ngawasin dengan mata yang penuh kebencian, dengan rencana yang udah matang, dengan satu tujuan: menghancurkan Julian Mahardika dengan cara yang paling menyakitkan.

Dan cara paling menyakitkan adalah dengan merebut satu-satunya orang yang Julian cintai lebih dari nyawanya sendiri: Laura Christina.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!