Dikhianati menjadikannya penuh ambisi untuk balas dendam.
Semua bermula ketika Adrian berniat memberi kejutan untuk kekasihnya dengan lamaran dadakan. Tak disangka, kejutan yang ia persiapkan dengan baik justru berbalik mengejutkannya.
Haylea, kekasih yang sangat dicintainya itu kedapatan bermesraan dengan pria lain di apartemen pemberian Adrian.
Dendam membuat Adrian gelap mata. Ia menjerat Naomi, gadis belia polos yang merupakan bekas pelayan kekasihnya.
Tadinya, Adrian menjerat Naomi hanya untuk balas dendam. Tak disangka ia malah terjerat oleh permainannya sendiri. Karena perlahan-lahan kehadiran Naomi mampu mengikis luka menganga dalam hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : AROMA PERMUSUHAN
Mobil yang dikemudikan Bruno memasuki gerbang sebuah rumah megah. Adrian melirik Naomi yang tampak cukup terkejut melihat bangunan di hadapannya. Bola mata Naomi bergerak perlahan meneliti setiap sudut.
Begitu mobil berhenti, seorang pria berseragam hitam segera mendekat dan membuka pintu mobil bagian belakang.
"Selamat datang, Tuan. Selamat datang, Nona," ucapnya ramah sambil membungkukkan kepala.
Adrian sudah turun dari mobil. Tetapi Naomi masih terdiam di tempat. Seperti sedang mengatur napasnya.
"Ayo turun." Adrian mengulurkan tangan. Terpaksa Naomi menyambut uluran tangan suaminya dan turun dari mobil.
"Silahkan, Tuan. Nyonya sudah menunggu Anda sejak tadi."
Adrian hanya menyahut dengan anggukan kepala, tanpa suara. Tak pula terlihat senyum di sana. Sedangkan Naomi sudah berkeringat. Bahkan Adrian dapat merasakan tangan istrinya yang gemetar.
Kenapa dia jadi gemetar begini?
"Kalau ibu mengatakan sesuatu yang tidak-tidak, tidak usah pedulikan."
Bukannya tenang, ucapan Adrian malah semakin menambah dugaan buruk di hati Naomi. Adrian dapat membacanya. Ia segera memeluk pinggang Naomi dan membawanya memasuki rumah.
"Kenapa aku merasa di dalam rumah ini ada monster besar? Bodoh sekali kamu Naomi. Kenapa baru sadar kalau Tuan Adrian bukan orang biasa?" batin Naomi
Naomi meneliti keadaan sekitar. Mewah adalah kesan pertama yang ia temukan dalam rumah suaminya. Namun, ia seperti kesulitan bernapas di ruangan luas itu.
Jika biasanya seorang istri akan disambut hangat oleh anggota keluarga saat datang untuk pertama kali ke rumah suaminya, namun sepertinya tidak untuk Naomi.
Karena tak jauh darinya, seorang wanita paruh baya berdiri dengan kedua tangan menyilang. Melihat penampilannya yang berkelas, Naomi menebak bahwa itu adalah ibunya Adrian. Yang berarti ibu mertuanya.
Satu hal yang benar-benar disadari oleh Naomi, sang mertua menatapnya seperti musuh. Raut wajahnya sangat berbeda ketika menatap putranya.
"Adrian anakku ... Akhirnya kamu pulang juga." Wanita itu menyambut putranya dengan pelukan hangat.
"Maaf, Bu. Saat kembali dari Jerman aku tidak langsung pulang." Adrian kembali memeluk pinggang Naomi. "Kenalkan, ini istriku, namanya Naomi. Aku harap Ibu bisa menerimanya sebagai anggota baru di keluarga kita."
Wanita itu menatap Naomi dari ujung kaki ke ujung kepala. Sebuah tatapan yang membuat Naomi merinding.
"Apa kabar, Bu," ucap Naomi ragu-ragu.
Alih-alih menyahut, wanita paruh baya itu malah menatap Naomi dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Adrian, ibu rasa kita harus bicara berdua."
Tanpa banyak bicara, Adrian mengiyakan ucapan sang ibu. Kemudian melirik ke sudut ruangan di mana beberapa pelayan sedang berbaris. Beberapa di antaranya pun segera mendekat.
"Antar Naomi ke kamar," perintah Adrian.
"Baik, Tuan."
"Naomi, duluan saja ke kamar. Setelah bicara dengan ibu aku menyusul."
Naomi mengangguk. Lalu berjalan mengikuti dua orang pelayan menuju tangga. Salah satu di antaranya membawa koper milik Naomi.
"Kenapa harus tinggal di sini? Kenapa tidak di apartemen saja?"
.
.
Belum ada pembicaraan antara Adrian dan ibunya sejak sepuluh menit lalu. Keduanya saling diam.
Adrian tahu keputusan mendadaknya yang menikahi seorang gadis tanpa persetujuan keluarga besar Marx akan menimbulkan masalah. Tetapi bukan Adrian namanya jika peduli.
Ia bahkan masih duduk santai, meskipun sang ibu sudah terlihat marah.
"Ibu benar-benar tidak mengerti ada apa denganmu, Adrian. Kalau harus menikah kenapa dengan gadis seperti itu. Lihat, dia benar-benar tidak pantas untuk menjadi bagian dari keluarga kita," ucapnya tak suka.
Adrian menarik napas dalam. Ia tak heran lagi. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, ia dituntut untuk menikahi seorang gadis yang sepadan dengan keluarga mereka.
"Jika orang-orang tahu kamu menikahi gadis seperti itu, mereka pasti akan menertawakanmu."
"Jadi apa yang sebenarnya ibu inginkan?" tanya Adrian setelah mampu menebak arah pembicaraan sang ibu.
"Sebagai anggota keluarga Marx seharusnya kamu sudah mengerti apa maksud ibu."
Adrian bangkit dari duduknya. "Tentu saja. Tapi maaf, Bu. Aku tidak peduli apa kata orang. Dan satu hal lagi, aku tidak akan meninggalkan Naomi hanya karena status sosial."
Tanpa memerdulikan raut wajah sang ibu, Adrian melangkah keluar. Menyudahi pembicaraan yang baginya sangat membosankan.
.
.
.