Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Arjuna Penasaran
Arjuna diam, menyantap makanannya perlahan, tapi setiap kali Lidya membuka mulut, matanya selalu bergerak cepat ke arahnya — seolah mencari kebenaran dari setiap kata yang diucapkan gadis itu.
Sampai akhirnya, ketika pelayan datang membawa dessert, ia berkata pelan tapi jelas, “Kamu nggak cerita soal itu sebelumnya, Lidya.”
Lidya mendongak, kaget. “Cerita apa, Kak?”
“Pacar,” jawab Arjuna datar. “Kamu biasanya selalu jujur soal banyak hal. Kenapa tiba-tiba punya pacar?”
Mama Hanum menatap mereka bergantian, heran. “Lho, Arjun, kamu kok tahu soal urusan pribadinya Lidya?”
Arjuna cepat menutupi. “Oh, maksud aku … sebagai atasan, aku cuma khawatir kalau nanti mengganggu pekerjaannya.”
Lidya menelan ludah. “Nggak akan, Kak. Aku bisa profesional.”
“Baik,” jawab Arjuna pendek, lalu kembali menatap piringnya. Tapi rahangnya menegang.
Mama Hanum hanya tersenyum, berusaha mencairkan suasana. “Ah, kalian ini serius amat. Udah, ayo habiskan makanannya.”
Namun kehangatan yang tadi mengalir kini sirna. Di bawah cahaya siang yang mulai mendung, hanya tersisa keheningan dan jantung berdegup tak beraturan di antara dua insan yang berpura-pura tidak saling peduli — padahal setiap kata, setiap tatapan, masih saling mengguncang.
Dan saat semua berdiri untuk kembali ke kantor, Arjuna sempat menatap Lidya sekali lagi.
“Selamat ya, Lidya,” ucapnya dingin, tapi suaranya serak. “Semoga dia bisa jaga kamu lebih baik dari siapa pun.”
Lidya hanya diam.
Senyumnya tipis, tapi air matanya hampir jatuh. Karena ia tahu — Arjuna bukan sedang memberi restu.
Pria itu sedang mencoba menghapus dirinya, perlahan tapi pasti, dari hidupnya sendiri.
***
Adiwongso Group, Jakarta – Pukul 14.30 WIB
Rapat siang telah usai, para direksi sudah kembali ke lantai masing-masing, namun sisa ketegangan dari makan siang tadi masih membekas di udara.
Lidya berjalan menyusuri koridor lantai delapan dengan langkah pelan. Sepatu hak rendah yang ia kenakan menimbulkan bunyi lembut di lantai marmer. Sisa tatapan Arjuna di restoran tadi masih menari-nari di pikirannya—tajam, dingin, tapi penuh sesuatu yang tak bisa ia definisikan.
Ia berusaha menghapus bayangan itu dengan menarik napas dalam, lalu duduk di meja kerjanya. Layar laptop kembali menyala, menampilkan berkas laporan yang belum sempat ia lengkapi. Tapi baru saja jari-jarinya menyentuh keyboard, ponselnya bergetar.
Windy: “Gemoyyyy! Tebak siapa yang baru balik dari Kalimantan dan mau ngajak kita nongkrong sore ini?”
Lidya tersenyum kecil membaca pesan itu.
Ia segera menjawab, “Siapa? Jangan bilang si Farel yang dulu doyan makan lima porsi itu.”
Notifikasi panggilan masuk langsung muncul. Windy menelpon sambil terkekeh di seberang.
“Betul banget, Lid! Si Farel udah balik! Katanya proyek tambangnya di Kalimantan selesai. Sekarang dia stay di Jakarta, dan tadi aku udah janjian sama dia buat ngopi bareng habis jam kantor. Kamu ikut ya, plis. Udah lama banget kita nggak ketemu bertiga.”
Lidya terdiam sesaat, menatap jam di layar komputer. Pukul 14.45. Ia tidak ada jadwal lembur, dan agenda Arjuna pun—setahunya—tidak ada pertemuan malam ini.
Ia mengembuskan napas pelan, merasa tidak ada alasan untuk menolak.
“Baiklah, Win. Tapi aku minta dijemput aja, ya? Biar nggak repot naik taksi lagi.”
“Siap! Aku sama Farel yang jemput. Jam lima di lobi kantor kamu, oke?”
“Deal,” jawab Lidya sambil tersenyum.
Telepon terputus, meninggalkan sedikit rasa hangat yang menenangkan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, sore ini ia akan tertawa tanpa beban.
***
Sementara itu, Arjuna baru saja masuk ke ruangannya. Dasi yang sedari tadi terasa mengekang ia longgarkan sedikit. Raffi, asistennya, sudah siap dengan berkas kontrak kerja sama yang harus mereka tinjau sebelum pertemuan malam.
Namun, bukannya langsung membaca, Arjuna menatap kosong ke arah jendela. Bayangan Lidya yang tersenyum di meja makan siang tadi terus menghantui pikirannya.
Suara lembutnya saat berbohong di depan ibunya pun masih bergema di telinga: “Udah, Tante. Saya … saya udah punya.”
Pikirannya berputar.
Kenapa ia harus merasa sesak hanya karena satu kalimat itu?
“Raffi.” Suaranya pelan tapi dalam.
“Hmm, iya, Pak?”
Arjuna memutar kursinya, menatap asistennya dengan sorot mata yang tajam tapi anehnya lelah.
“Kamu tahu nggak, Lidya punya pacar?”
Pertanyaan itu membuat Raffi nyaris menjatuhkan berkas di tangannya. “E—pacar, Pak?”
“Iya. Kamu sering lihat dia dijemput atau diantar seseorang?”
Raffi berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Kurang tahu, Pak. Setahu saya sih Mbak Lidya jarang dijemput ama cowok. Biasanya pulang naik taksi online. Kalau pacar … sepertinya nggak ada deh.”
Arjuna menghela napas panjang, menatap meja. “Tapi tadi dia bilang punya pacar.”
“Wah, mungkin baru kali ini, Pak. Atau … memang lagi deket sama seseorang.”
Hening sesaat.
Lalu, dengan nada setengah bergumam, Raffi menambahkan, “Tapi, bukannya Pak Arjuna sebagai kakak ipar lebih tahu soal itu?”
Arjuna mendengus kecil, setengah tertawa pahit. “Kakak ipar, ya?”
Ia menyandarkan punggung, menatap langit-langit dengan senyum miring. “Lucu juga saya nanya beginian ke kamu, Raff.”
Raffi tertawa canggung. “Namanya juga penasaran, Pak.”
Namun dalam hati Arjuna, ada sesuatu yang lebih dari sekadar penasaran. Ada api kecil yang menyala—campuran antara cemburu, amarah, dan perasaan kehilangan yang tak seharusnya ia rasakan.
Ia segera berdiri, mengambil jasnya. “Ayo, Raff. Kita ke ruang meeting bawah. Jam lima kita berangkat ke pertemuan relasi di Menteng.”
***
Pukul 17.00 WIB
Suara notifikasi jam kantor terdengar pelan. Beberapa karyawan mulai berkemas. Lidya menutup laptopnya, merapikan map, dan mematikan lampu meja. Ia sempat melirik ke ruang direktur, memastikan apakah Arjuna masih di tempat.
Ruang itu tampak tertutup rapat. Ia mengetuk pelan pintunya untuk berpamitan pada Raffi.
“Mas Raffi, aku pulang dulu ya. Ada janji sama teman,” katanya dengan senyum sopan.
“Oh, baik, Mbak. Hati-hati di jalan, ya.”
Belum sempat Lidya berbalik, suara langkah berat terdengar di belakang. Arjuna muncul di ambang pintu bersama Raffi, kancing jasnya sudah tertutup rapi.
Ia berhenti sejenak, menatap Lidya singkat.
“Kamu mau pulang?” Suaranya datar.
“Iya, Pak. Ada janji sama teman,” jawab Lidya pelan.
Arjuna hanya mengangguk tanpa ekspresi. “Baik.”
Lalu berjalan melewatinya begitu saja.
Sikapnya dingin, tapi langkahnya sedikit lebih cepat dari biasanya—seolah ada sesuatu yang ia hindari.
Lidya menatap punggung pria itu sejenak, lalu menunduk. “Kenapa aku selalu salah di matanya,” gumamnya lirih sebelum melangkah ke lift.
Bersambung ... 💔
Farel, mainkan peranmu sebaik mungkin 🤣🤣🤣 mari kita bwt Arjuna makin merana hidupnya, wkwkwkwk
aq g yakin Arjuna akan selalu bersikap dingin klo dia meliat dengan mata kepala sendiri kamu d jemput cowo,,apalagi klo cowo nya lebih ganteng dr Arjuna..d jamin tuh s kaka ipar g bakalan tenang hidup nyaaa /Joyful//Joyful/