Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Di Perpustakaan yang Runtuh
Wijaya berusaha keras untuk bernapas, menahan rasa sakit di dadanya. Luka yang ditinggalkan oleh ledakan Void terasa dingin dan panas secara bersamaan, seolah-olah jiwanya sendiri terkoyak.
Jaya membacakan aksara kuno pada gulungan itu dengan cepat. Matanya menyala dengan cahaya keemasan khas keturunannya.
"Prinsipnya benar, Wijaya," kata Jaya, suaranya dipenuhi urgensi. "Kau harus memproyeksikan hatimu, bukan tubuhmu. Dan Dara benar-benar harus bersamamu. Pintu Kosmik Batin adalah Penyatuan Hati. Kau adalah tekadnya, tetapi Dara adalah jangkarnya—dia yang menunjukkan padamu siapa Ratih yang sebenarnya."
Dara sudah merobek kain dari jubahnya, mengikat luka Wijaya. "Aku akan menemanimu. Aku melihat ingatannya. Aku tahu kuncinya," tegas Dara, matanya tegas.
Wijaya mendongak, menatap mereka berdua. Mereka adalah sekutu sejatinya, dan dalam Penyatuan Hati, dia membutuhkan mereka berdua. Ratih bukan hanya miliknya; Ratih adalah bagian dari ikatan mereka bertiga.
"Baiklah," ucap Wijaya, mengeluarkan sisa kekuatannya. "Pegang tanganku. Kita akan masuk bersama. Jaya, kau yang membimbing mantra pembukaan. Fokus pada liontin Ratih—pada sisa jejak energinya yang menolak Void."
Mereka berpegangan tangan: Wijaya, Jaya, dan Dara, membentuk segitiga perlindungan di antara puing-puing.
Jaya menutup mata, mengucapkan mantra yang lebih tua dari waktu itu sendiri. Tidak ada api atau kilat; itu adalah bahasa jiwa.
Jejak energi Ratih yang tertinggal di udara mulai beresonansi. Jejak itu tidak tertarik ke kehampaan, melainkan mendorongnya. Perlahan, lubang kecil di lantai bekas runtuhnya Void mulai memancarkan cahaya ungu-putih. Cahaya itu membesar, berputar, menjadi pintu dimensi setinggi manusia.
"Masuk!" teriak Jaya.
Mereka melompat ke dalam pusaran cahaya ungu-putih itu, meninggalkan dunia material.
Di Pusara Air Mata Batin
Ketika mereka jatuh, dimensi kabut ungu-hitam itu menyerang mereka.
Jaya dan Dara merasakan tekanan yang luar biasa, seolah-olah semua penyesalan dan ketakutan kolektif alam semesta menghimpit mereka. Mereka terpisah dari Wijaya, berlutut di atas pilar kristal yang melayang.
"Wijaya!" teriak Dara.
Wijaya, dikelilingi oleh sisa-sisa api putihnya, maju. Dia melihat Ratih, melayang di tengah dimensi itu, dikelilingi oleh kegelapan dan bersiap untuk menghancurkan.
Dia juga melihat Pusara Air Mata Batin dengan jelas: di balik kabut ungu-hitam, ia adalah kuburan janji-janji yang tak terpenuhi, dihiasi dengan air mata penyesalan.
Wijaya harus melewati pilar-pilar kristal itu. Setiap pilar menahan satu ingatan atau emosi, dan setiap sentuhan akan menghancurkannya.
"Ratih!" panggil Wijaya lagi.
Ratih menoleh, matanya yang biasa cerah kini memancarkan cahaya ungu kosong. Energi Void berdenyut di sekelilingnya, dan dia tampak... tinggi dan berbahaya.
"Siapa kau?" tanya Ratih, suaranya menggema, tetapi nadanya dingin dan asing. "Kau adalah keraguan. Kau yang membawa virus ini."
Di belakang Ratih, Entitas Tunggal mulai terwujud di dalam kristal besar yang berputar—wajah Natan kini terlihat jelas, tersenyum sinis.
Natan: "Dia adalah virus itu, Wadah. Dia adalah janji yang menghancurkan. Hancurkan dia, dan kau akan bebas."
Ratih mengulurkan tangannya, dan pilar-pilar kristal di sekitar Wijaya mulai bergetar hebat. Mereka adalah manifestasi keraguannya yang paling dalam, senjata terbaik sang Entitas.
Wijaya menarik napas dalam-dalam, mengambil kembali fokus yang ia temukan saat mengalahkan Juru Bayangan.
"Aku bukan keraguanmu, Ratih! Aku adalah jawabanmu!"
Wijaya tidak menggunakan pedangnya. Dia mengulurkan tangannya, memancarkan cahaya putih murni dari telapak tangannya—cahaya yang sama dengan pedangnya.
"Cahaya tekad tidak pernah padam!" teriaknya. "Api putih ini, api ini adalah kita! Ia lahir saat kita berjuang bersama, bukan berpisah!"
Sambil berlari melewati pilar-pilar kristal yang meledak, Wijaya menembakkan gelombang api putih ke arah Ratih. Gelombang itu bukan serangan; itu adalah pengakuan.
Dara maju dari kristal, matanya memancarkan cahaya biru-perak. Dia mengulurkan tangannya, fokus pada kristal yang paling dekat dengan Ratih—kristal yang menahan ingatan tentang tawa dan ikatan mereka bertiga. "Ratih, aku melihatmu! Kau adalah senyum kami! Kau adalah alasan kami berjuang!"
Jaya juga bergerak. Dia mengangkat tongkatnya, membiarkan energi kuno mengalir ke pilar-pilar kristal yang menahan ingatan tentang petualangan mereka. "Kami adalah keluarga, Ratih! Bukan kewajiban! Bukankah kau yang mengatakan bahwa bahkan kehampaan membutuhkan teman?"
Serangan gabungan itu—Api Tekad Wijaya, Tampilan Ingatan Dara, dan Pengakuan Ikatan Jaya—menembus lapisan energi hitam di sekitar Ratih.
Ratih terhuyung. Cahaya ungu di matanya berkedip-kedip, dan sebuah air mata murni jatuh dari pilar yang terpisah.
"Teman... kehampaan..." bisiknya.
Natan: "Jangan dengarkan kebohongan itu! Hancurkan! Fokus pada Tujuanmu!"
Ratih mengangkat tangannya lagi, kali ini memanggil kekuatan Entitas Tunggal—gelombang energi Void yang sangat besar, gelombang yang dapat menghancurkan Pusara Air Mata Batin sepenuhnya.
"Aku memilih kebebasan!" raung Ratih, tetapi suaranya pecah.
Wijaya tahu, ini adalah kesempatan terakhir. Dia berlari melalui hujan kristal yang pecah, tepat ke jalur gelombang Void, menuju Ratih.
"Kau berbohong pada dirimu sendiri!" teriak Wijaya, kini berdiri tepat di hadapan Ratih, membiarkan gelombang Void menghantam dadanya. Luka lamanya terbuka lebar, tetapi dia tidak goyah.
"Kebebasan adalah untuk memilih! Bukan untuk menghancurkan!"
Wijaya menyentuh pipi Ratih. Api putih di tangannya tidak membakar; ia meresap. Itu adalah energi murni dari janji yang ia temukan kembali—janji kepada Ratih untuk selalu berada di sisinya.
"Aku di sini, Ratih. Liontin itu beresonansi dengan kehancuran karena aku ragu. Liontin itu beresonansi dengan cinta karena aku ada!"
Di saat itu, ingatan Ratih pecah dari segelnya. Dia melihat Wijaya yang berjuang, Dara yang tertawa, dan Jaya yang selalu bijaksana. Air mata mengalir dari mata ungunya, air mata sejati yang mengalahkan semua kristal penyesalan.
Ratih: "Wijaya..."
Natan: "Tidak! Kau milikku, Wadah! Kau akan mengakhiri penderitaan ini!"
CRAAAKKK!
Kristal besar di belakang Ratih, yang menahan wajah Natan, meledak, menumpahkan Entitas Tunggal dalam wujud aslinya—sosok bayangan raksasa, terbuat dari energi Void murni dan keraguan.
"Kau pikir kehancuran adalah musuh?" geram Entitas Tunggal/Natan, suaranya adalah miliaran bisikan penderitaan. "Aku adalah kebutuhan! Aku adalah keseimbangan sejati!"
Entitas Tunggal meluncurkan tangan bayangan besarnya, bukan ke Wijaya atau Ratih, tetapi ke Pusara Air Mata Batin.
"Jika kau memilih ikatan, aku akan menghancurkan kanvasnya!"
Wijaya menarik Ratih ke dalam pelukannya. Tubuhnya yang terluka mengeluarkan api putih yang memancar lebih terang dari sebelumnya, melawan bayangan raksasa itu.
Ratih, dengan ingatan yang kembali, memejamkan mata. Dia merasakan api putih Wijaya dan cahaya perak Dara, serta energi keemasan Jaya. Penyatuan Hati telah terjadi.
"Aku adalah Wadah," bisik Ratih. "Dan aku tidak akan menghancurkan lagi."
Cahaya ungu-api meledak dari mereka bertiga. Kali ini, itu bukan kehancuran, melainkan penolakan yang kuat. Cahaya itu membentuk perisai dan kemudian menusuk Entitas Tunggal.
"Kau benar, Wijaya," kata Ratih, menatap langsung ke wajah mengerikan Entitas Tunggal. "Kau adalah jawabanku."
Api Ungu-Putih yang menolak Void, yang didorong oleh Penyatuan Hati, menembus jantung bayangan Entitas Tunggal.
Entitas Tunggal/Natan: "Kalian hanya menunda yang tak terhindarkan! Aku adalah... Keseimbangan..."
Sosok bayangan itu hancur, tidak menjadi debu, tetapi menjadi cahaya putih murni, yang kemudian diserap oleh Pusara Air Mata Batin. Dimensi batin Ratih tidak lagi diselimuti kabut, tetapi diterangi oleh cahaya ungu yang lembut dan damai. Pilar-pilar kristal air mata kini bersinar, mengandung kenangan yang indah.
Ratih tersenyum.
Mereka bertiga terjatuh ke dalam keheningan, sebelum menemukan diri mereka kembali di perpustakaan yang runtuh, di samping lubang kecil yang kini tertutup.
Wijaya terengah-engah, lukanya tertutup lapisan tipis api putih yang kini meredup. Ratih memeluknya erat-erat, air mata membasahi jubahnya.
"Aku kembali," bisik Ratih.
Jaya dan Dara berdiri, menghela napas lega. Mereka tahu, pertempuran telah usai. Sebuah seyuman muncul dibibir mereka.
Jaya memeluk dara erat karena rasa bahagia dan lega, Ratih juga memeluk Wijaya yang terluka, namun saat itu sebuah cahaya muncul dan perlahan tubuh Ratih dan dara terhisap dan muncul di kamar kost mereka.
Mereka kembali kekota, jaya dan Wijaya seolah hanya menjadi mimpi mereka berdua, namun itu sangat nyata.
" kenapa kita ada disini Ratih, dimana jaya dan Wijaya. Kenapa kita kembali kekamar kost kita" ucap dara panik, dia tau semua yang dia lewati itu nyata, tapi kenapa mereka bisa kembali ke kota.
" Aku juga gak tau dara, aku juga bingung." Ujar Ratih, dia melihat lengan nya, disana ada lukisan cantik leotin tiga warna.
" Jadi itu bukan mimpi, kita harus kembali ke desa tiga batu Ratih, kita harus menjemput jaya dan Wijaya. Aku gak mau kehilang mereka" ucap dara histeris.
" Iya ayok, tapi kali ini misi kita adalah menemukan cinta kita" ucap Ratih lalu mereka berpelukan.