Beni Candra Winata terpaksa menikah dengan seorang gadis, bernama Viola Karin. Mereka dijodohkan sejak lama, padahal keduanya saling bermusuhan sejak SMP.
Bagaimana kisah mereka?
Mari kita simak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Secangkir Kopi
"Tuan, ada kejadian di hotel. Lihatlah rekaman CCTV ini." Dika menunjukkan laptopnya yang terhubung dengan CCTV di hotel teratai.
"Viola!" teriak Beni, lalu menuju ke kolam renang hendak menyelamatkan istrinya.
Ketika Viola berangkat ke hotel, diam-diam Beni mengikutinya. Ia sengaja akan hadir di akhir acara agar tidak ketahuan kalau sudah menikah, dengan Viola. Sampai di hotel, Beni menuju ke ruang kerja sedangkan Viola bergabung dengan teman-temannya.
Beni melompat ke dalam kolam yang lumayan dangkal itu, ia langsung membawa Viola menepi. Untung saja Beni datang tepat waktu, kalau tidak pasti Viola sudah tiada. Ia langsung membawa Viola ke sebuah kamar, sebelum teman-temannya melihat kejadian ini.
"Dika, cepat panggil dokter," pinta Beni.
"Tuan, lebih baik Anda yang bantu Nyonya Viola. Coba berikan napas buatan," ujar Dika yang sudah berpengalaman membantu orang pingsan.
"Iya," jawab Beni singkat. Ia juga menyuruh Dika untuk mengambilkan baju ganti di ruang kerjanya.
Tanpa menunda-nunda waktu, Beni mendekatkan wajahnya ke wajah Viola. Namun, ketika hampir menyentuh bibirnya Viola tersadar dari pingsannya.
"Ben, lo mau apa?" tanya Viola, mendorong tubuh Beni hingga hampir jatuh.
"Kasih lo napas buatan," jawab Beni santai.
"Gue gak butuh napas lo." Viola menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Lo setiap gue tolongin bukannya bilang makasih, tapi malah ngajak ribut." Beni menatap kesal Viola.
Untung saja Dika datang, membawa sebuah kemeja warna putih milik Beni. Sehingga Beni dan Viola tidak melanjutkan perdebatannya lagi.
"Keluar lo!" Beni mengusir Dika.
"Baik, Tuan," sahut Dika, sambil menahan senyum.
Beni memberikan kemejanya agar digunakan Viola, karena tidak mungkin untuk membeli pakaian yang baru. Ia khawatir istrinya sakit lagi, seperti tadi pagi.
Sebenarnya Beni sangat peduli dengan Viola, padahal bajunya sendiri juga basah kuyup. Akan tetapi, Beni lebih mengutamakan Viola daripada dirinya sendiri.
"Ben, buat lo aja," kata Viola.
"Lo mau keluar dengan gaun basah? Biar Indra semakin tertarik lihat tubuh lo," ucap Beni.
"Eh, lo masih ingat sama Indra! Dia sekarang sudah sukses, Ben. Rela buang duit buat sewa hotel semewah ini, buat acara reuni." Viola tersenyum tipis, ia sengaja berkata seperti itu untuk mengetahui reaksi suaminya.
"Dasar wanita sama saja! Memandang laki-laki dengan hartanya," gerutu Beni.
Beni melarang Viola membicarakan kesuksesan orang lain, lebih baik fokus dengan diri sendiri yang saat ini dalam kondisi basah. Ia segera mengajak Viola keluar dari dalam hotel, melalui jalan lain yang biasanya digunakan oleh para pegawai hotel agar lebih cepat.
Hanya menggunakan kemeja putih milik Beni, tubuh Viola masih terlihat dari balik kain putih itu. Beni akhirnya memberikan jasnya, agar digunakan sang istri.
Sampai di dalam mobil, Viola merasa perutnya sangat lapar. Ia meminta Beni membelikan makanan ketika di jalan nanti, tetapi Beni menolak.
"Ben, di depan ada yang jual ayam goreng. Tolong belikan satu potong," pinta Viola, sambil memegang perutnya.
"Dasar merepotkan saja!" gerutu Beni.
"Tidak baik selalu menggerutu, Ben. Suatu saat lo pasti butuh gue," ucap Viola dengan penuh percaya diri.
Bukannya berhenti di tempat penjual ayam goreng permintaan Viola, Beni justru berhenti di restoran siap saji. Ia meminta istrinya agar tidak keluar dari dalam mobil, dan akan membelikan lebih dulu.
Viola tersenyum menatap punggung suaminya yang berjalan menuju ke dalam restoran, ia tidak menyangka seorang Beni yang dulu galak, kasar, bisa diminta membelikan sesuatu.
"Ben, makasih banyak," ungkap Viola, ketika Beni memberikan paperbag yang berisi makanan.
"Hum," sahut Beni, lalu melanjutkan perjalanan menuju ke rumah.
Akan tetapi, Viola tidak memakannya sendiri. Ia menunggu sampai di rumah nanti, dan berencana makan berdua bersama Beni.
"Kenapa tidak bilang di dalam kamar hotel tadi, kalau lo kelaparan?" tanya Beni, melirik ke arah istrinya.
"Tadi belum terasa lapar," jawab Viola.
"Makanan di hotel sangat enak, chef terkenal yang memasak. Berbagi olahan makanan dari berbagai negara juga ada," jelas Beni.
"Lo tahu dari mana, Ben?" Viola terkejut, ternyata suaminya bisa tahu kondisi dapur hotel ternama di kota ini.
Tidak mengakui kalau hotel itu milik keluarganya, Beni justru berharap Viola tidak pernah mengetahuinya. Lebih baik dipandang sederhana, daripada dianggap kaya raya. Namun, ia yakin suatu saat Viola akan mengetahui semua.
Tak lama kemudian, Beni dan Viola sudah sampai di rumah. Viola segera menyiapkan makanan untuknya dan Beni. Walaupun hanya dianggap sebagai istri mainan, Viola akan berusaha melayani Beni dengan baik. Akhir-akhir ini, Viola merasa sudah lelah selalu ribut dengan Beni.
"Ben, kita makan dulu yuk," ajak Viola, tersenyum lembut.
"Habiskan saja sendiri! Gue masih sibuk!" ketus Beni, lalu menuju ke ruang kerjanya.
Viola menghela napas beratnya, sudah berusaha berbicara baik-baik masih saja Beni berkata ketus. Ia hanya bisa bersabar, dan berharap sikap suaminya bisa berubah seiring berjalannya waktu.
Ibarat menanti sebuah keajaiban, Viola hanya ingin menjalin hubungan dengan baik. Seandainya nanti mereka berdua bercerai, Viola tidak akan pernah mempermasalahkan semuanya. Ia juga sudah setuju, dan terlanjur tanda tangan atas keputusan yang dibuat Beni.
Berbeda lagi kalau sampai Viola jatuh cinta dengan Beni, begitu juga sebaliknya. Keduanya pasti akan membatalkan perjanjian pernikahan, dan mengadakan pesta pernikahan lagi.
Selesai makan Viola baru mengganti pakaiannya, dengan baju tidur. Ia merasa penasaran apa yang dilakukan Beni di ruang kerjanya. Sambil membawa secangkir kopi panas, Viola masuk ke ruang kerja Beni.
"Minum dulu, Ben. Gue buatin kopi," kata Viola, meletakkan secangkir kopi di atas meja kerja Beni.
"Gak usah sok perhatian. Gue bisa bikin sendiri." Beni tetap fokus dengan layar laptopnya.
"Gue tahu lo pasti capek, Ben. Jadi orang gak usah belagu!" ketus Viola, menatap kesal suaminya.
Seandainya menyiramkan secangkir kopi ke wajah Beni tidak berdosa, pasti Viola akan melakukannya. Orang seperti Beni harus sesekali diberikan pelajaran, agar bisa bersikap baik ke orang lain.
Malam ini Viola menyerah, sudah merasa sangat lelah. Padahal ia berniat menemani Beni bekerja di ruang kerjanya, tetapi tidak jadi. Ia memilih meninggalkan Beni sendiri dengan kesibukannya.
Setelah Viola berlalu, Beni menyesap sedikit kopi buatan Viola. Rasa manis dan pahitnya pas di lidahnya, menurut Beni sangat enak dan nikmat. Beni kembali menyesapnya hingga habis, hanya tinggal ampasnya saja.
Wajah Beni tersenyum lebar, dalam hatinya berbunga-bunga. Ia sedikit menyadari, kalau ternyata mempunyai seorang istri tidak seburuk apa yang dipikirkan.
Beni kemudian menghentikan aktivitasnya, ia menuju ke dalam kamarnya. Melihat istrinya yang tertidur pulas tanpa selimut, Beni mengambilkan selimut lalu menyelimuti tubuh Viola.
Keesokan harinya, Viola bangun kesiangan. Ia merasa menyesal tidak menyiapkan sarapan pagi untuk Beni. Viola kemudian bangkit dari ranjangnya, ia mencuci muka lebih dulu lalu mencari keberadaan Beni. Tinggal ruang kerja yang belum Viola lihat, ia segera ke sana dan ternyata tidak ada. Namun, wajahnya mengukir senyuman ketika melihat cangkir kosong.
"Ternyata dia minum juga," batin Viola, membawa cangkir kotor itu ke dapur.
Viola kemudian mengambil ponselnya, ia hendak mengirimkan pesan ke Beni untuk meminta izin keluar rumah. Tiba-tiba Viola teringat sikap kasar Beni, sehingga memilih untuk mengurungkan niatnya.
Hari ini Viola berencana untuk pergi ke perusahaan papanya, tanpa sepengetahuan siapapun. Ia ingin menyelidiki apakah benar perusahaan milik papanya dalam masalah. Sebenarnya dari kemarin Viola memikirkan hal itu, karena sangat membebani pikirannya.
Viola menuju ke perusahaan papanya dengan menggunakan ojek online, agar tidak ada yang curiga. Ia juga meminta diturunkan di jalan, dan memilih jalan kaki.
"Mbak, saya ada janji dengan Pak Aldi. Boleh tahu ruang kerjanya sebelah mana?" tanya Viola ke salah satu resepsionis.
"Maaf, Mbak. Untuk sementara waktu perusahaan ini menjadi milik Winata Grup, jadi Pak Aldi tidak diperbolehkan menginjakkan kakinya di kantor ini," jelas resepsionis itu.
Viola terkejut mendengar penjelasan resepsionis itu, apalagi kondisinya seperti ini sudah hampir satu bulan sebelum dirinya menikah dengan Beni. Biasanya papanya selalu menceritakan kondisinya, tetapi kali ini sama sekali tidak.
"Gue harus bicara sama Beni. Jangan-jangan keluarga dia yang membuat perusahaan papa hancur!" Viola menjadi sedih, harus berbuat apa lagi untuk membantu papanya.
musuh jadi cinta😍😍😍🥳🥳🥳🥳