Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Di sebuah ruang kerja yang luas dindingnya dipenuhi panel kayu gelap dan lampu redup seorang pria duduk santai, memutar gelas wine di tangannya. Di sampingnya, meja marmer memantulkan lampu, menyisakan bayangan panjang. Itu Mark: tenang, berbahaya, dan penuh kendali.
“Bagaimana? Sudah dapat siapa istri Vincent?” tanya Mark tanpa menenggelamkan suaranya, matanya tetap menatap gelas.
Asistennya tampak resah, napasnya cepat. “Maaf, Tuan… Mereka menutup rapat informasi tentang istri tuan Vincent. Hampir tidak ada jejak.”
Mark membuang napas panjang, suaranya dingin. “Sial. Kenapa kau payah sekali? Informasi dasar saja tidak bisa kau dapatkan.”
Asisten itu menelan ludah, lalu mencoba menarik satu hal terakhir. “Tuan… saya menemukan sesuatu tentang Grandpa nya William Verhaag.”
Mendengar nama itu, sudut mulut Mark merenggang sedikit bukan senyum, melainkan napas yang berhenti sesaat. “William Verhaag,” gumamnya pelan, lalu mengetukkan gelasnya ke meja. “Ah, pria tua itu… ya, aku tahu. Satu-satunya keluarga yang tersisa untuk Vincent.”
Seorang pria kasar dengan bekas-bekas hidup di wajahnya Dani melangkah maju, matanya menyala. “Aku bisa menghabisi dia,” ucap Dani singkat, lebih seperti tantangan daripada janji.
Mark menatap Dani santai, tanpa terkesan. “Kau tak bisa seenaknya membunuhnya, sialan. Mereka… terlalu misterius. Ada segumpal hal yang tak kau mengerti.”
Dani tersenyum penuh keyakinan, membaui peluang. “Aku tak perlu mengotori tangan sendiri. Beri aku satu kapal feri kalau aku bisa menyelesaikannya.”
Mark mengangkat alis, memperhitungkan. Di ruang itu, udara terasa lebih tegang. “Kau punya waktu dua minggu. Dan kalau kau ketahuan jangan pernah sebut namaku. Kau paham?”
“Tentu. Dan kalau berhasil, ferinya jadi milikku,” Dani menjawab, senyum penuh arti terlipat di bibirnya.
Dani meninggalkan kantor dengan langkah ringan, rencana sudah mengendap di kepalanya. Ia segera mengeluarkan ponsel, menekan nomor yang sudah lama tersimpan.
“Hallo di mana kau?” suara di seberang terdengar kasar.
“Aku di kantor. Kenapa?” jawab pria itu kesal.
Dani menurunkan nada, berbisik penuh rahasia. “Santai. Ayo ketemu di kafe dekat mall. Ada urusan besar.”
Pria di ujung telepon mengumpat, tapi setuju. Sepuluh menit kemudian, di sebuah kafe sepi, Dani menunggu seorang lelaki bertampang dingin Eiden, sniper yang terkenal dingin dan profesional. Eiden menaruh kopinya, menatap Dani dengan acuh. Dani dan Eiden merupakan kerabat jauh.
“Kau panggil aku kenapa?” tanya Eiden, suaranya datar seorang yang tidak mudah tergoda.
Dani mencondongkan badan, matanya berapi. “Misi besar. Targetmu bukan seorang preman. Targetnya lebih… berpengaruh. Tinggal arahkan saja pelurumu.”
Eiden duduk, meraup informasi setengah hati. “Siapa targetnya?”
Dani mengangkat bahu, tanpa nama. “Kau tidak perlu tahu siapa. Kau hanya akan diberi koordinat dan bayaran. Kerja diam-diam seperti biasanya.”
Eiden mengerling, enggan terlibat pada awalnya. “Aku tidak mau tahu politisnya. Kalau bayarannya pantas, aku lakukan.”
Dani menepuk bahu Eiden, senyum licik terbit. “Bayaran besar. Sangat besar. Kau tak akan menyesal.”
Eiden menghela napas, lalu mengangguk singkat. “Kirim koordinatnya nanti. Aku akan atur semuanya.”
Mereka berpisah di kafe itu Eiden kembali ke rutinitasnya, Dani ke ambisinya. Di kepala Dani, peta dan tanggal bergabung dua minggu. Di ruangan nya Mark, rencana itu kini berputar di luar, bayang-bayang mulai mengerumuni keluarga Verhaag.
* * * *
Olivia tengah duduk di sofa empuk, menatap iPad-nya dengan serius. Sebenarnya dia hanya berbelanja beberapa barang kecil secara online, tapi ekspresi fokusnya seolah tengah memimpin rapat penting.
Getaran ponsel di meja membuatnya tersentak. Dengan cepat ia mengangkatnya.
“Hallo, Capt,” sapanya ringan.
“Maaf mengganggu, Olivia. Apa kamu sibuk? Erica tengah menjalankan misi sendirian, dan sepertinya dia kesulitan. Bisa kamu bantu?” suara Captain Joseph terdengar sedikit panik di seberang.
“Baiklah. Kirim alamatnya, Capt. Aku segera ke sana,” jawab Olivia tegas.
Ia langsung berdiri, mengambil jaket kulit, kacamata hitam, dan topinya. Namun langkahnya terhenti.
“Ah, sial... mobilku masih di rumah,” gumamnya frustrasi.
Ia mencoba memesan taksi online, tapi area tempat tinggalnya terlalu privat—tidak ada satu pun yang menerima pesanan.
“Apa aku harus... meminjam mobil pria itu? Ck! Tapi ini penting,” desisnya sambil mengacak rambut sendiri.
Akhirnya, ia keluar kamar dan melihat seorang maid yang tengah membersihkan kaca.
“Maaf, Bi... boleh tahu Tuan Muda ada di mana?” tanyanya hati-hati.
“Oh, Tuan Muda ada di halaman belakang, Nona,” jawab sang maid ramah.
“Bisakah Bibi antar saya? Mansion ini terlalu luas.”
“Tentu, Nona. Mari.”
Mereka berjalan melewati lorong panjang hingga tiba di halaman belakang yang sangat luas lebih menyerupai lapangan helikopter pribadi daripada taman.
Dari kejauhan, Olivia melihat Vincent sedang berbicara dengan seorang pria asing. Aura dinginnya membuat Olivia ragu untuk mendekat.
Namun ia menguatkan diri.
“Ma... maaf, bisa kita bicara sebentar?” ucapnya pelan.
Vincent dan pria itu menoleh. Tanpa ekspresi, Vincent berjalan menghampiri istrinya dan berhenti beberapa langkah di depannya.
“Ada apa?” tanyanya datar.
“Itu... aku mau keluar sebentar. Boleh aku pinjam mobilmu? Mobilku masih di rumah,” katanya dengan nada hati-hati.
Vincent hanya mendengus kecil. “Ck. Kupikir hal penting apa. Pakai saja.”
“Terima kasih,” balas Olivia cepat, lalu langsung pergi.
Vincent hanya mengangkat alis melihat istrinya yang terburu-buru.
Sesampainya di carport, penjaga tua menghampirinya.
“Nona ingin memakai mobil?”
“Benar, Pak.”
Penjaga itu menyerahkan kunci mobil sport hitam berkilau.
“Banyak sekali mobilnya... apa dia mengoleksi semuanya?” gumam Olivia pelan, terkagum.
Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan melajukan kendaraan keluar dari area mansion dengan kecepatan stabil.
* * * *
Dua puluh menit kemudian.
Olivia tiba di hotel berbintang dan langsung menuju lift menuju lantai dua puluh lima. Suasana lantai itu sepi. Dengan langkah anggun dalam dress pendek serba hitam, ia mengetuk pintu kamar.
“Hi, bagaimana?” tanyanya begitu melihat Erica yang sedang mengintai lewat teropong.
“Terima kasih sudah datang, Olivia. Aku benar-benar gugup,” ucap Erica sambil tetap fokus pada jendela.
Olivia membuka tasnya isi di dalamnya bukan make-up, melainkan senjata sniper favoritnya. Dengan cekatan ia merakit bagian demi bagian.
“Santai saja,” katanya ringan sambil menyesuaikan scope.
“Kamu kan baru menikah, kenapa mau bantu aku?” tanya Erica sedikit heran.
“Ck, karena kamu masih terlalu gugup. Lagipula aku butuh pemanasan,” jawab Olivia santai.
Erica terkekeh kecil. “Lalu, suamimu tidak marah kamu keluar begini?”
“Tentu tidak. Dia tipe yang... santai,” jawab Olivia datar, memasang earpiece-nya.
“Mana koordinat targetnya?”
Erica segera menunjukkan laptopnya. Olivia memposisikan senapannya, lalu menempelkan mata ke scope.
“Target ready,” ucap Erica tegang.
“Target lock,” sahut Olivia pelan.
Dua tembakan. Dua kepala roboh.
“Clear,” ucap Olivia dingin.
Erica segera memastikan lewat teropong, dan matanya membulat kagum.
“Wow, kamu memang luar biasa, Rose Black.”
Olivia tersenyum tipis. “Bisa aja kamu.” Ia merapikan peralatannya dengan gerakan cepat dan rapi.
“Aku duluan, ya. Nanti kalau kelamahan, aku bisa dicurigai.”
“Hati-hati di jalan, Nona Olivia.”
***