Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#14
Ruangan itu langsung senyap. Semua orang tampak terkejut, terutama Naysila.
"Apa maksudmu?" tanya Pak Ali dengan nada tak percaya. "Selama ini... kalian hanya berpura-pura?"
Alden mengangguk, pelan. "Aku membayar Serena untuk berpura-pura menjadi istriku. Tujuanku cuma satu... membuat Naysila sakit hati, membuat dia menyerah dan minta cerai duluan."
Nafas Naysila tercekat. Ia menatap Alden dengan mata membelalak, seolah tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. "Kamu... kamu sengaja melakukan itu hanya untuk membuatku menyerah?"
Alden menunduk, merasa hina oleh kesalahan yang telah ia buat. "Ya, aku selalu ingin kamu minta cerai padaku dan kita berpisah tanpa aku yang memulai. Aku ingin kamu lelah bersamaku, sehingga meminta perpisahan."
"Aku tahu itu kejam, Nay. Tapi saat itu, aku juga sudah sangat lelah. Aku ingin bebas, tapi aku pengecut. Aku tak sanggup bilang terus terang bahwa aku... ingin kita berpisah saja."
Suasana seketika berubah dingin.
"Aku pikir... dua tahun bersama akan mengubah segalanya. Tapi tidak. Karena aku sendiri tak pernah mencoba mencintaimu," lanjut Alden, suaranya nyaris berbisik. "Aku terlalu sibuk menolak perasaan itu, terlalu egois untuk melihat bahwa kamu terluka setiap harinya karena ku."
Pak Ali menatap menantunya itu dengan sorot tajam. "Apa maksudmu, selama ini kamu tidak pernah mencintai Naysila?"
Alden mengangguk. "Ya, itulah alasan terbesarku melakukan tindakan bodoh itu."
"Astaghfirullah..." ucap Pak Haldy dan Bu Tamara bersamaan. Anak yang selalu mereka banggakan dan digadang-gadang sebagai suami terbaik itu ternyata memiliki pemikiran yang dangkal.
"Jadi, kamu dan wanita itu hanya berpura-pura berstatus sebagai suami istri di depan Naysila, supaya dia percaya kamu sudah mengkhianati dirinya?" tanya Bu Tamara.
Alden mengangguk pelan. "Bahkan kemesraan kami hanya sandiwara di depan Naysila. Tapi di belakang... aku bahkan jarang bicara dengan Serena dan merasa tak nyaman."
"Tapi kalian tidur di kamar yang sama. Itu artinya, kamu dan dia sudah berzina, Mas," timpal Naysila cepat.
"Berzina? Apa kamu pernah melihat aku dan dia melakukan hal yang tidak senonoh?" tanya Alden.
Naysila terdiam. Jangankan melihat hal semacam itu, melihat Alden tidur bersama Serena pun ia tak pernah.
"Kami memang tidur di kamar yang sama, tapi aku tidur di ruang kerja. Serena tidur di tempat tidur utama. Tidak pernah terjadi apa pun di antara kami. Dia hanya... memainkan perannya, sebagai istri palsu," jelas Alden.
"Tapi..."
"Tapi apa, Nay? Apa kurang jelas, apa yang kamu lihat saat aku sakit? Apa kamu tidak bisa membedakan hubungan suami istri normal seperti apa? Saat kamu masuk ke kamarku, kamu bahkan melihat kami tidur terpisah, bukan?"
Naysila teringat saat ia masuk ke kamar Alden karena pria itu sakit. Ia melihat Serena tidur di tempat tidur utama dan Alden tidur ruang kerjanya. Memang, saat itu Naysila sempat bertanya-tanya dalam hatinya mengapa bisa begitu. Namun, saat itu Naysila tidak pernah berpikir bahwa hubungan Alden dan Serena hanya pura-pura.
Mengingat itu, Naysila tidak bisa berkata-kata. Hatinya terasa dicabik-cabik. Air matanya jatuh, tapi ia tetap berusaha menahan isak. Alden sudah berbuat terlalu jauh untuk menyakiti perasaannya. Sungguh, sulit dipercaya.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang?" suara Pak Ali terdengar berat. "Kalau kamu tidak mencintai Naysila sejak awal, kenapa kamu menikahinya?"
Alden memejamkan mata, lalu berkata, "Karena perjodohan kalian. Karena aku takut mengecewakan kalian, utamanya orang tuaku. Karena aku bodoh. Tapi aku sadar sekarang, semua alasan itu tidak pernah cukup untuk menyakiti orang yang tidak bersalah sepertinya. Aku akui bahwa aku sangat jahat, tapi aku benar-benar... menyesal."
Naysila mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Kamu berusaha sangat keras untuk menyingkirkan aku, Mas. Kamu melupakan norma-norma agama yang kita pegang, hanya untuk bisa menyakiti aku. Dan selamat, kamu berhasil menghancurkan aku, Mas..."
Alden hanya diam.
"Aku nggak tahu apa yang lebih menyakitkan dari ini," ucap Naysila lirih. "Aku tahu, selama ini kamu memang nggak pernah mencintai aku. Tapi membuatku cemburu, berpikir bahwa kamu sudah menduakan aku dan kamu menyakiti perasaanku lebih jauh. Itu lebih menyakitkan dari apapun. Ternyata, kamu memang jahat. Lebih jahat dari seorang pria yang melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya."
Alden masih diam di tempatnya. Wajahnya menunduk, menanggung beban berat dari kata-kata Naysila yang seperti pisau menghujam dadanya. Ia tahu, semua ini memang salahnya. Dan kali ini, dia tidak akan membela diri lagi.
"Ini memalukan, Alden. Kamu bukan hanya menghancurkan hati Naysila, tapi kamu juga menghina pernikahan yang suci itu sendiri," kata Pak Haldy, terlihat miris.
Ia yang sempat ingin Alden mempertahankan rumah tangganya, kini mulai berpikir bahwa mungkin memang lebih baik Alden dan Naysila berpisah saja. Ia sangat malu akan kelakuan anaknya sendiri.
Bu Tamara ikut bicara dengan diiringi isakan pelan. "Benar, kami sangat malu, Al. Anak yang kami banggakan, ternyata sejahat itu. Sungguh memalukan."
Alden semakin terpukul mendengar perkataan kedua orang tuanya, ia benar-benar telah mengecewakan dan membuat malu keduanya.
Hening menyelimuti ruangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Alden angkat bicara.
"Nay…" suaranya berat dan pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku tahu, permintaan maafku nggak akan cukup. Aku tahu aku nggak pantas minta kesempatan, apalagi setelah semua yang kulakukan. Tapi sejak kamu pergi… rumah itu kosong. Aku merasa kehilangan. Bukan cuma karena suasananya, tapi karena kamu nggak ada. Aku sadar… aku salah. Aku kejam. Tapi aku gak pernah benar-benar mengkhianati kamu."
Naysila menatap Alden dengan matanya yang sembab. Ia mendengar setiap kata yang keluar dari mulut pria itu, namun tak satu pun bisa langsung meresap ke hatinya yang sudah terlanjur luka.
"Aku nggak minta kamu percaya sekarang," lanjut Alden. "Tapi tolong… beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Bukan demi orang tua kita. Bukan demi pernikahan yang dijodohkan. Tapi karena aku ingin. Aku ingin mengenalmu lebih dalam. Aku ingin kita mulai dari awal, tanpa semua kepura-puraan."
Naysila menggeleng pelan. "Aku nggak bisa, Mas…"
Alden terlihat terpukul, tapi ia tetap mendengarkan.
"Setidaknya… belum sekarang," lanjut Naysila. "Hatiku masih sakit. Luka ini belum kering. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan semuanya. Mungkin nanti… kalau aku sudah cukup kuat untuk berdiri lagi, untuk menatapmu tanpa air mata… kita bisa bicara lagi. Tapi untuk sekarang, aku mohon… jangan paksa aku untuk kembali tinggal bersamamu."
Pak Haldy dan Bu Tamara menatap menantunya itu dengan iba. Sementara Pak Ali dan Bu Diah hanya menghela napas panjang, menunduk dalam diam.
"Aku akan tinggal di rumah orang tuaku untuk sementara waktu," ucap Naysila lirih. "Bukan karena aku ingin pergi selamanya. Tapi karena aku butuh ruang… untuk memaafkan, bukan hanya kamu, tapi juga diriku sendiri. Aku butuh waktu untuk menata hatiku yang hancur."
Alden menggenggam lututnya, menunduk lebih dalam. "Aku mengerti… Aku akan tunggu, Nay. Berapa pun lama waktunya. Aku akan buktikan kalau aku serius."
Naysila bangkit perlahan. Ia membungkuk pelan kepada kedua mertuanya. "Maafkan aku… aku ingin sendiri sekarang."
Sebelum Naysila melangkah pergi ia berkata, "Kalau kamu merasa lelah menungguku, pilihlah kebahagiaanmu sendiri, dan jangan pernah berharap lagi padaku. Setidaknya, kamu bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini kamu inginkan. Di mana tak ada aku, ataupun status kita."
Alden tercekat mendengar kalimat terakhir yang Naysila ucapkan. Kata-kata itu seperti menegaskan bahwa Alden tidak usah terlalu berharap padanya.
Setelah mengatakan itu, Naysila pergi untuk kembali ke kamarnya, membiarkan semua orang diam dalam keheningan dan ketegangan yang masih menggantung di udara.
Sementara Alden, hanya bisa menatap punggung Naysila yang semakin menjauh. Alden merasa menyesal bukan hanya karena kesalahan, tapi karena kehilangan sesuatu yang begitu berharga, cinta yang tulus dari seorang istri yang selama ini diabaikannya.
Dan kali ini, ia bersumpah, jika kesempatan itu datang kembali, ia akan memperjuangkannya. Dengan jujur, dengan tulus, dan dengan segenap hati.
*****