Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hantu Alice Kembali Mengawasi Saudaranya
Zian sedang sibuk di dapur menikmati camilan buatan Lilis. Lilis/Alice berdiri di ambang pintu dapur, mengawasinya.
"Aku harus pergi sebentar, Zian. Ada urusan pribadi."
Zian menoleh,
"Ke mana, Kak?"
"Ke tempat yang seharusnya menjadi rumahku. Aku akan kembali sebelum Reno pulang."
Zian cemas.
"Kakak janji tidak akan pergi lama, kan? Aku... aku masih takut sendirian di sini."
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Selama aku menjadi istrinya Reno, aku tidak akan pergi jauh."
Lilis berjalan cepat menembus dinding, meninggalkan jejak dingin dan aroma melati yang sebentar. Zian menggigil sesaat, kemudian melanjutkan membuat camilan, kini dengan perasaan yang sedikit lebih tenang.
Di luar, Bu Ninda baru saja turun dari pohon, pakaiannya kotor dan ia terengah-engah. Ia melihat Zian di dapur, lalu melihat ke tempat Lilis menghilang. Ia tahu ia harus segera keluar dari mansion itu.
Di Bogor, rumah Aline dan Alice
Lilis/Alice muncul di sudut kamar yang sangat akrab dengannya. Ini adalah kamar kembar yang dulu ia bagi dengan adiknya, Aline ada tetapi raut wajahnya tampak sedih dan lelah.
Kamar itu berantakan, tetapi bukan karena kekacauan, melainkan karena kesedihan. Di meja rias, foto Alice sebelum meninggal dan Aline, tersenyum cerah, tergeletak miring.
Aline duduk di tepi tempat tidurnya. Ia mengenakan sweater oversized dan celana pendek, rambutnya diikat longgar. Matanya tampak bengkak.
Di tangannya, ia memeluk sebuah boneka panda lucu. Boneka kesayangan milik Alice, yang dijahit sendiri oleh ibu mereka. Boneka itu adalah salah satu barang peninggalan Alice yang masih ia pegang.
Aline berbisik ke boneka itu, air mata menetes,
"Aku merindukanmu, Lis. Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu harus pergi dengan cara yang tidak jelas?"
Hantu Lilis/Alice berdiri diam, mengamati Aline. Wajah hantunya tampak pilu. Ia merasakan tarikan yang luar biasa kuat untuk memeluk kembarannya.
Lilis membatin, suara hantu terdengar bergetar.
"Aline... Aku di sini. Aku di sini."
Lilis mengangkat tangannya. Jari-jarinya yang pucat mengambang, hampir menyentuh rambut Aline. Ia membayangkan rasa hangat, tetapi ia tahu sentuhannya kini hanya akan membawa rasa dingin yang mematikan.
Ia melihat Aline yang memeluk boneka itu erat-erat. Boneka itu berbau samar-samar, kombinasi wangi deterjen dan aroma khas Lilis yang dulu.
Aline membungkuk, memeluk boneka itu lebih erat.
"Kamu bersedih dan aku minta maaf karena aku tidak ada di sini untuk menemanimu."
Hantu Lilis menurunkan tangannya. Perasaan sakit yang dulu ia rasakan saat meninggal kini bercampur dengan rasa sakit melihat kesedihan Aline.
"Jangan menyalahkan dirimu, Aline. Aku yang harusnya melindungimu. Aku yang harusnya ada untukmu."
Lilis bergeser sedikit. Ia melihat ke sekeliling kamar, kenangan masa lalu berputar cepat. Kenangan tawa, rahasia, dan janji-janji yang kini tak mungkin ditepati.
Lilis/Alice menatap Aline sekali lagi. Ia mengambil keputusan. Ia tidak bisa menyentuhnya, tetapi ia bisa memberikan sedikit ketenangan.
Lilis memfokuskan energinya, bukan untuk meneror, melainkan untuk sedikit kehangatan. Ia mengarahkan energi hantunya ke boneka di pelukan Aline.
Dalam beberapa detik, Aline merasakan sesuatu yang aneh. Boneka yang ia peluk tiba-tiba terasa sedikit hangat, seolah baru saja dipeluk seseorang. Dan aroma melati yang selalu ia kaitkan dengan Lilis, meskipun hanya samar, tercium sekilas.
Aline mendongak, matanya mencari-cari.
"Alice?"
Hantu Lilis/Alice tersenyum kecil, senyum sedih yang tidak bisa dilihat Aline. Lilis tahu ia sudah selesai. Ia tidak bisa berlama-lama, Reno membutuhkannya sebagai "Alice" yang hidup.
Lilis melayang menjauh, menghilang kembali melalui dinding, meninggalkan aroma melati samar-samar dan boneka yang masih terasa sedikit hangat.
Aline kembali memeluk boneka itu, kini dengan air mata yang bukan hanya kesedihan, tetapi juga sedikit kelegaan yang ia tidak mengerti.
Di sebuah rumah yang tampak sunyi di perumahan kelas menengah di Bogor, Dimas, mantan tunangan Alice, duduk sendiri di sofa. Ia terlihat kurus, matanya menunjukkan kurang tidur, dan ia memegang sebuah cangkir kopi yang sudah dingin.
Pencariannya yang terus-menerus terhadap Alice yang hilang tidak membuahkan hasil, dan ia merasa putus asa.
Bel pintu berbunyi. Dimas membuka pintu dan terkejut melihat Aline berdiri di sana.
"Aline? Ada apa? Masuklah."
Aline masuk. Rumah itu terasa dingin, tidak seperti Dimas yang biasanya hangat.
"Maaf mengganggu, Dim. Aku... aku hanya ingin bicara."
Dimas menunjuk sofa,
"Duduklah. Kamu tampak pucat."
Aline duduk. Ia tidak membawa boneka itu, tetapi ia memegang erat kalung liontin kecilnya.
"Aku tadi memeluk boneka kesayangan Alice. Dan, aneh, Dim. Aku ngerasa seperti... dia ada di sana. Ada sedikit kehangatan, ada bau melati."
Dimas menghela napas panjang.
"Aline, kita semua merasa begitu. Rasa kehilangan yang kuat sering membuat kita merasakan kehadiran orang yang kita cintai. Aku sering... sering mencium parfum Alice di kamar ini. Parfum yang bahkan sudah lama habis."
Aline air matanya menetes.
"Tapi ini berbeda, Dim. Ini seperti... sentuhan perpisahan."
Dimas suaranya serak membalas,
"Sejak dia pergi, aku merasa kosong. Aku mencoba melacaknya, menelusuri semua rekening banknya, semua kontak lamanya. Nol. Polisi bilang mungkin ia melarikan diri karena tekanan pernikahan. Tapi aku tahu Alice tidak seperti itu."
Dimas berdiri dan berjalan ke jendela. Di luar, suasana terasa sangat sunyi.
"Aku tahu dia mencintaiku. Tapi... aku juga tahu dia sedang berjuang dengan sesuatu. Aku hanya berharap ia selamat. Aku terus berharap ia akan muncul lagi, menghajarku karena aku sudah mengkhawatirkannya."
Tiba-tiba, kaca jendela tempat Dimas berdiri bergetar pelan. Hanya sedikit, seperti getaran gempa yang sangat kecil. Angin di luar tidak kencang.
Dimas mengira itu hanya perasaannya. Ia berbalik ke Aline.
Dimas berusaha tersenyum.
"Kita harus tetap kuat, ya? Demi..."
Sebelum Dimas bisa menyelesaikan kalimatnya, Lampu di ruangan itu berkedip cepat, kemudian mati total. Gelap.
Aline panik.
"Dim! Ada apa?"
"Tenang, mungkin listrik padam."
Dimas meraba-raba mencari ponselnya. Tiba-tiba, Aline merasakan dingin yang familiar. Dingin yang sama seperti saat ia memeluk boneka Alice, hanya saja kali ini lebih kuat. Aroma melati yang samar tadi kini menjadi sangat kuat, memenuhi ruangan.
Aline berbisik, menggigil.
"Dim... dingin banget."
Dimas menyalakan senter ponselnya. Senter itu mengarah ke dinding di belakang sofa.
Namun, yang ia lihat di dinding, tepat di belakang kepala Aline, membuat Dimas membeku.
Meskipun gelap, senter ponselnya cukup terang untuk melihat uap. Di permukaan cat dinding yang dingin, ada bentuk uap embun yang aneh.
Bentuk itu perlahan mengambil rupa. Itu adalah siluet wajah wanita dengan rambut panjang. Wajah itu terlihat samar, seperti dibuat dari embun yang membeku. Siluet itu menatap ke arah Aline, dengan ekspresi sedih.
Dimas terengah-engah.
"Apa..."
Aline menoleh ke arah yang ditunjuk senter Dimas, tetapi karena ia bergerak, siluet itu hilang sama sekali, seolah hanya ilusi yang menguap.
Lampu menyala kembali. Ruangan kembali normal. Aroma melati itu pun hilang.
Aline bingung.
"Apa, Dim? Apa yang kamu lihat?"
Dimas menatap dinding yang sekarang kering dan normal. Ia tidak bisa menjelaskan.
Dimas gemetar.
"Tidak ada. Mungkin... hanya ilusi. Aku kecapean kurang tidur."
Dimas tahu itu bukan ilusi. Itu adalah kehadiran yang nyata, sedih, dan sangat dingin.
"Dimas... aku rasa Alice belum benar-benar pergi. Aku rasa dia ada di sekitar kita. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi sebelum dia menghilang."
Dimas menatap Aline, matanya kosong. Ia sudah mencarinya selama berminggu-minggu tanpa hasil.
Dimas mencoba menenangkan diri.
"Baiklah, Aline. Kita akan mencari tahu. Kita akan mulai dari awal. Apa yang terakhir Alice lakukan sebelum... sebelum dia pergi?"
Mereka tidak tahu bahwa Lilis/Alice, setelah mengawasi mereka, kini sudah kembali ke mansion Reno, siap menjalankan perannya sebagai "Lilis"untuk suaminya dan pelindung bagi Zian.
Bersambung