"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Lari Pagi
...୨ৎ L A V I N I A જ⁀➴...
Mama masih tertidur lelap saat aku keluar dari kamar penginapan. Aku meninggalkan catatan kecil yang tertulis kalau aku bawa HP.
Dua bulan terakhir, aku masih rajin jogging, lumayan membantu membersihkan kepala dari stres dan kekosongan pikiran akibat amnesia ini.
Untungnya, Maisie lagi enggak berjaga di resepsionis. Tapi cowok yang lagi shift sekarang kayaknya tahu siapa aku. Dia memperhatikanku waktu aku menyapa dan keluar.
Dulu aku berteman sama dia atau malah musuhan, ya?
Aku pasang earphone, buka aplikasi lari, terus putar Spotify. Mama bilang dia enggak ingat aku dulu suka musik apa, tapi katanya, sih, musikku enggak semellow ini. Ingin banget rasanya tanya Ernest, dia pasti tahu. Tapi orang itu lagi malas banget jawab pertanyaanku.
Aku mulai berlari, berharap enggak tersasar di hutan terus jadi camilan harimau.
Entah sudah berapa lama aku berlari, saat aku mulai menanjak bukit dan mau menyeberangi jalan aspal untuk lanjut ke jalur hutan, aku melambat. Tengok kanan-kiri dulu.
Di seberang ada tanjakan kecil. Aku baru mau injak aspal, tiba-tiba ada Cadillac yang mengebut dari arah sana, nyaris saja aku terserempet. Yang terlihat dari kaca mobil hanya rambut putih dan warna biru cerah. Aku geleng-geleng kepala, buru-buru menyebrang, balik ke mode jogging.
Tiba-tiba mobil itu mengerem mendadak. Bannya sempat selip sedikit. Aku menengok ke belakang sambil cabut earphone, siapa tahu terjadi sesuatu atau aku mesti siap-siap kabur kalau pengemudinya ternyata pembunuh berantai.
"Yah, aku tumpahin kopi!" teriak suara cewek dari dalam mobil.
Pintu mobil terbuka. Refleks, aku pun langsung ambil HP dari saku legging, siap-siap pencet nomor polisi. Jempolku sudah siaga.
Tapi rasa takut langsung hilang begitu aku lihat siapa yang keluar dari Cadillac. Ternyata neneknya Ernest, si Hattie Sastrowardoyo. Rasanya lega banget karena aku masih ingat dia.
"Semua tumpah ke aku, jadinya!" teriak suara cewek lain dari dalam.
"Udah, santai. Nanti aku beliin lagi," kata Hattie sambil geleng-geleng kepala.
"Yang kamu peduliin mobilmu atau bajuku?"
"Diam, kamu! Nenek tua ini lagi bahagia. Cucuku udah balik ke Palomino!" Hattie buka tangannya lebar-lebar, menyeberangi jalan, seakan-akan semua mobil akan langsung berhenti buat dia.
"Laviniaaaa!" teriaknya. Dia langsung memelukku. "Oh, Laviniaku, Sayang. Dengar-dengar kamu balik ke sini lagi, ya?"
"Wah, iya, Nek," jawabku sambil peluk dia balik. Lega banget aku masih ingat dia.
"Aku yakin kamu enggak bakal lupa sama nenek."
Aku tertawa. "Senang ketemu lagi, nenek Hattie."
"Aku tuh susah dilupain." Dia kaitkan tanganku dan menarikku ke arah mobil. "Ayo ikut. Aku sama Joanna mau ke kota, mau ngeramein Perayaan Pariwisata. Ada pawai di sana."
Aku berhenti, perlahan melepas tangannya. "Lavinia belum siap ketemu banyak orang, Nek."
"Oh, paham kok."
Lalu pintu penumpang terbuka. Seorang cewek dengan rambut biru keluar. Kayaknya aku seharusnya kenal dia.
"Lavinia," katanya sambil tersenyum. "Senang ketemu kamu lagi."
"Makasih," jawabku, tersenyum balik.
"Aku Joanna. Tahu enggak, cucuku tuh dokter. Kamu mesti ketemu, dia pinter banget, lho."
"Dia dokter umum, Joanna! Bukan profesor kedokteran," celetuk Hattie.
"Ya ampun, Gabriella tuh gelarnya lebih banyak dari kamu," balas Joanna sambil peras celananya yang basah terkena kopi, matching sama kemeja motif bunga biru muda. Rambutnya jadi makin gonjreng birunya.
"Maaf ya, Joanna lagi kesambet," kata Hattie kepadaku.
"Orang aku biasa aja, kamu itu yang tumpahin kopi ke aku!" sahut Joanna.
"Eh, kita ketemu Lavinia lagi nih, hehehe," kata Hattie sambil senyum cerah ke arahku.
Mungkin mereka bisa jelaskan kenapa Mama dan Ernest jadi aneh banget akhir-akhir ini.
Sial.
Aku lihat layar HP. Sudah jam 08.30. Ternyata aku sudah berlari lebih dari sejam. Pas banget, seolah Mama tahu aku mulai panik, namanya pun muncul di layar, HPku langsung bergetar.
"Lavinia pergi dulu, ya! Senang banget ketemu kalian," kataku sambil memeluk Hattie lagi, lalu melempar senyum ke Joanna. Aku sudah memutuskan untuk berhenti berpura-pura kenal sama orang yang memang sudah enggak aku ingat. Rasanya aneh banget peluk-pelukan sama orang yang jelas-jelas asing di kepalaku.
“Kamu baik-baik aja, Lavinia?” tanya Hattie.
Aku mundur beberapa langkah. “Baik, kok. Lavinia cuma mau selesain jogging, terus balik ke penginapan.”
“Kita anterin aja, deh,” kata Joanna.
Aku angkat tangan, menolaknya halus. Baru saja aku mau balik masuk ke hutan, tiba-tiba ada truk muncul dari tanjakan, membunyikan klakson begitu melihatku masih di jalan. Aku pun terbengong di tempat, menjadi patung.
“Lavinia! Minggir!!!” teriak Hattie.
Aku langsung lari ke pinggir jalan. Tapi malah nyusruk ke got yang penuh lumpur. Truknya lewat dengan suara, "Whoosh!!" dan sialnya aku cuma bisa terbaring di lumpur menahan malu.
Dua nenek itu memperhatikanku dari seberang jalan.
“Kamu juga lupa, ya, kalau truk bisa bikin kamu gepeng kayak pancake?” celetuk Joanna.
Aku duduk, memperhatikan bajuku yang sudah penuh lumpur. HPku bergetar lagi.
“Iya, Lavinia ingat, kok. Cuma tadi kaget aja.”
Dalam hati, aku berpikir, kalau aku menabrakkan kepala lagi, kira-kira ingatanku bakal kembali enggak, ya?
Konyol, sih, tapi tiap malam saat aku memikirkan soal ini, kepalaku langsung cenat-cenut. Takut banget kalau aku enggak pernah bisa kembali jadi diriku yang dulu.
“Kayaknya aku mesti telepon Ernest, deh!” kata Hattie.
“Jangan!” teriakku sambil buru-buru bangkit dari got.
“Ya udah, setidaknya kamu ikut kita aja,” kata Hattie.
Ya sudahlah, iya.
Sekarang aku enggak bisa menolak.
Nenek-nenek ini ternyata sudah siap sedia bawa handuk di bagasi mobil. Aku, sih malas bertanya kenapa. Mereka gelarkan handuk itu biar aku bisa duduk di jok belakang. Aku masuk ke mobil. Lega juga rasanya karena ada yang antar aku ke penginapan.
Tapi ya begitu, saat Hattie menginjak gas, kepalaku langsung mental ke sandaran jok.
Joanna menengok dari kursi depan. “Sekarang udah ingat aku belum?”
Aku geleng-geleng.
“Udah aku duga sih,” katanya santai. Aku pun langsung mengetik pesan ke Mama.
Aku lihat Hattie dan Joanna lagi mengobrol ... tapi cuma pakai alis doang.
Aneh banget.
“Ya udah, terserah kamu deh,” kata Hattie. “Kamu mau ke mana, emang?”
“Tempat orang biasa ngopi aja kali, ya, Nek?” jawabku.
“Yah, itu, sih enggak jelas banget. Tempat ngopi ada banyak,” sahut Joanna sambil melirikku. “Kamu masih ingat 'ngopi' itu apa, kan?”
Aku menatap dia datar.
“Masih lah. Lavinia tuh cuma mau nyari tahu tentang Mama, Ernest, sama Papa Hugo.”
“Oh,” kata Hattie, terus dia sama Joanna saling mengangkat alis ke segala arah. “Kenapa?”
“Soalnya ini hidup Lavinia, Nek. Terus kalau aku lupa semuanya, gimana bisa aku jalanin ini? Aku yakin, kok, nanti juga bakalan ingat sendiri. Suatu hari aku pasti ngerti kenapa Mama sama Ernest enggak akur, kenapa aku ninggalin Ernest terus balik ke rumah orang tuaku, dan siapa sebenarnya Lavinia Rosina itu ... siapa aku ini?”
“Eh, maksud kamu Lavinia Sastrowardoyo?” kata Joanna.
Benar juga. Aku baru terpikirkan. Aku itu masih Lavinia Sastrowardoyo ... Ya, setidaknya sampai Ernest menyerahkan surat cerainya kepadaku.
...જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴...
Kami tiba di pusat kota. Aku membenahi kunciran rambut, setidaknya agar terlihat sedikit lebih rapi.
Begitu aku turun dari Cadillac yang diparkir di belakang alun-alun, tiba-tiba sebuah minivan berhenti di sampingku. Seorang perempuan keluar tergesa-gesa dan langsung mendekat seperti hendak menabrakku.
"Lavinia! Lavinia!"
Aku sampai menempel ke mobil. Tanpa banyak bicara, dia langsung memelukku erat sampai aku kesulitan bernapas. Setelah itu, dia mundur sedikit, menggenggam lenganku dan menatapku tajam. Lalu tiba-tiba ekspresinya berubah galak. Jari telunjuknya melayang tepat di depan wajahku. "Kalau kamu hilang sekali lagi, sumpah, aku timpuk kamu, ya!"
Refleks, aku merapatkan kakiku. Tapi di satu sisi, aku senang, karena aku masih mengingat dia.
"Talia?" gumamku.
Dia terlihat sedikit lebih tua dari yang kuingat, tapi rambut pirang kemerahannya dan wajah berbintik-bintik itu masih sama.
"Dia ingat Talia, tapi aku enggak?" celetuk Joanna di sampingku.
"Halo, Nenek Hattie ... Eyang Joanna," sapa Talia sambil mengangguk santai. Dari arah minivan, terdengar suara bayi menangis. Talia buru-buru bilang "Bentar, ya," lalu mengangkat bayinya ke pinggul.
"Kamu punya bayi?" tanyaku, agak tertegun.
Dia tersenyum tipis. Aku enggak suka melihat ekspresi seperti itu, seakan dia telah mengecewakan seseorang.
"Iya, Lavinia. Aku nikah sama Krisna, ingat enggak? Aku udah hamil waktu kamu pergi."
Dadaku terasa sesak. Aku sama sekali enggak mengingat itu, padahal dia sahabatku sendiri. Tapi aku tahu, dulu kami enggak pernah menyimpan rahasia. Mungkin dia bisa membantuku mengingat lagi.
"Boleh ngobrol sebentar? Kamu lagi sibuk?" tanyaku pelan.
"Ini mau ke sesi dongeng di toko buku. Joshua paling suka itu. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa main ke rumah, habis ini. Pas, biasanya dia tidur siang?"
"Mending kamu ikut sesi dongeng juga," ujar Hattie.
"Lain kali aja. Sekarang Lavinia mau cari kopi dulu."
"Ya udah. Kalau gitu aku carikan Hugo sama Ernest aja buat kamu," kata Hattie sambil mengeluarkan HP.
Talia sudah membereskan stroller dan menaruh anaknya di situ. "Ayo jalan bareng. Kamu keburu kabur semalam, sebelum aku sempat nyamperin. Katanya kita telat setengah jam dari puncaknya kehebohan."
Kami berjalan mengelilingi alun-alun kota. Suasananya masih mirip seperti semalam, hanya saja tidak seramai itu. Talia berhenti di depan toko buku di dekat bar. Aku mengintip ke dalam.
"Itu Rosemary, ya?" tanyaku, mengingat perempuan yang kulihat semalam.
"Kamu kenal dia?" Talia tampak terkejut.
"Baru semalam. Wajahnya mirip banget sama Xena."
"Oh iya. Nanti aku ceritain pas kita nongkrong."
"Terus ... soal Silas?"
Dia mengangguk. "Dia baru datang dari kota dan langsung sold out sama Rosemary. Satu lagi, Ernest juga udah diambil orang." Senyumnya kembali getir.
"Udah, lah, aku baik-baik aja. Enggak perlu kasihanin aku."
"Eh, kamu tuh malah cewek pertama yang berhasil nyulik anak cowok dari keluarga Sastrowardoyo, tahu!" kata Talia sambil menyenggol pundakku dengan sikunya.
"Dan aku juga yang pertama kali balikin cowok Sastrowardoyo ke keluarganya," ketusku menimpali.
Dia melingkarkan tangan di bahuku. "Santai aja. Nanti juga kamu dapetin dia lagi. Naomi itu enggak ada apa-apanya."
Tiba-tiba ada ibu-ibu masuk ke toko buku dan kami mendengar Rosemary mengumumkan kalau sesi dongengnya sudah dimulai.
"Duh, aku harus masuk, nih," kata Talia sambil menyerahkan HPnya. "Teleponin nomormu, biar aku bisa hubungi nanti. Aku kasih alamat rumah juga."
Aku melakukan seperti yang dia minta, lalu dia memelukku sekali lagi sebelum buru-buru masuk ke dalam. Aku terdiam, memikirkan ucapannya tadi.
Mendapatkan dia lagi?
Aku sendiri belum yakin kalau itu yang aku inginkan. Aku bahkan belum tahu kenapa dulu meninggalkan Ernest. Sekarang, rasanya hatiku seperti digali. Tapi pasti ada alasannya kenapa aku meninggalkan dia dulu, kan?
Tiba-tiba, aku melihat Mama di seberang jalan. Aku hendak menghampiri, tapi dia malah masuk ke mobil dan melaju pergi. Aku mengenali mobil itu, mobil Ernest.
"Kayaknya kamu enggak diundang, deh," komentar Joanna.
Dasar nenek lampir. Dia lupa kalau ini urusanku. Tapi dua orang yang paling kusayang (Mama & Ernest) justru memilih menjauh dari hidupku.
lanjut kak