Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Kelak Jangan Menyesal, Eliza
“Eliza.” Suara Mama Riri menurun, lembut tapi penuh ketegasan seorang ibu. “Mama tahu kamu takut. Tapi sampai kapan kamu mau menolak? Kalian sudah menikah hampir lima tahun. Mama bahkan orang tua Arjuna, semuanya menanti cucu. Itu hal yang wajar.”
Eliza menggigit bibir bawahnya, menahan emosi. “Mama tahu nggak, hamil itu bikin badan rusak. Kulit stretch mark, perut gendut, pinggul melebar, dan kadang rambut rontok. Aku belum siap kelihatan tua dan jelek, Ma. Aku kerja keras jaga penampilan, masa cuma buat hancur dalam sembilan bulan?”
Mama Riri menarik napas panjang, menatap putrinya dengan campuran iba dan kecewa. “Jadi cuma itu alasanmu?”
Eliza tidak menjawab. Ia menunduk, memutar garpu di piringnya seperti anak kecil yang tertangkap berbohong tapi tetap keras kepala.
“Eliza,” lanjut Mama Riri, suaranya lembut tapi tajam, “perempuan boleh cantik, tapi nggak boleh lupa bahwa dalam pernikahan, cinta itu bukan sekadar penampilan. Kamu pikir Arjuna mencintaimu cuma karena tubuhmu?”
Eliza mendengus pelan, mencoba menutupi gugup. “Tapi Mama nggak tahu tekanan aku seperti apa. Semua teman-teman aku—mereka masih bebas, masih bisa traveling, masih bisa tampil sempurna. Aku nggak mau kehilangan itu.”
Mama Riri berdiri perlahan, menatap putrinya dalam-dalam.
“Nak,” katanya dengan suara berat, “tidak selamanya hamil dan melahirkan membuat perempuan kehilangan kecantikan. Kadang justru itu yang membuat perempuan terlihat lebih berharga. Lebih ... utuh.”
Eliza diam. Pandangannya bergetar, tapi bukan karena tersentuh — melainkan karena menolak memahami.
Mama Riri menatapnya sekali lagi, kali ini dengan nada peringatan lembut.
“Jangan sampai kamu menyesal, Eliza. Jangan salahkan siapa-siapa kalau nanti suamimu berpaling darimu. Seorang istri bisa menolak banyak hal, tapi jangan menolak kodratnya terlalu lama. Kecuali kamu sudah divonis mandul, kami semua akan memakluminya, begitu juga dengan suami. Tapi, kali ini Mama sangat kecewa padamu. Jika suatu saat kedepannya kamu ada masalah dengan suamimu, jangan mengadu pada Mama. Introspeksilah. Semua ada sebab dan akibatnya.”
Kalimat itu menggantung di udara seperti kabut dingin. Mama Riri kemudian berbalik, meninggalkan meja makan dengan langkah perlahan tapi mantap.
Eliza terdiam, menatap piringnya yang belum habis disentuh. Suara langkah ibunya yang menjauh justru membuat ruangan terasa semakin sunyi.
Di dadanya, entah kenapa, ada sesuatu yang terasa seperti retakan kecil.
***
Langit mulai cerah, tapi sisa embun masih menempel di kaca jendela mobil. Arjuna memegang kemudi dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya bersandar di gagang transmisi. Di kursi sebelah, Lidya duduk tenang, memandangi layar ponselnya tanpa ekspresi.
Dari kaca spion, Arjuna sempat melirik wajahnya — pucat, tapi tetap indah dalam kesederhanaan itu. Ada kantung tipis di bawah matanya, tanda bahwa semalam ia tak tidur nyenyak. Tapi yang paling mengganggu Arjuna adalah tatapan kosong di mata itu — seolah semua cahaya yang dulu ia kenal di dalamnya telah padam.
“Pria yang jemput kamu kemarin.” Suara Arjuna tiba-tiba terdengar di antara deru mesin. “Pacarmu?”
Lidya tidak langsung menjawab. Ia menatap layar ponsel beberapa detik, lalu berkata tanpa menoleh, “Iya.”
Arjuna terkekeh kecil, getir. “Cepat sekali kamu dapat pacar.”
“Aku nggak perlu waktu lama buat merasa nyaman, Kak,” jawab Lidya datar.
Arjuna mencibir pelan. “Nyaman? Apa dia mau nerima kamu yang udah nggak perawan? Yang nggak cantik dan tidak memiliki tubuh langsing?”
Kata-kata itu meluncur tajam, menusuk seperti pisau dingin di dada Lidya. Ia menoleh perlahan, menatap Arjuna dengan mata yang kini menyala marah. “Kenapa, Kak? Karena menurutmu cuma perempuan ‘sempurna’ yang pantas dicintai?”
Arjuna tidak menjawab. Rahangnya mengeras, tatapannya tetap ke jalan.
Lidya menegakkan tubuh, suaranya tegas meski bergetar.
“Ya, akhirnya ada pria yang mau menerima aku apa adanya, tanpa melihat fisikku, tanpa peduli aku bekas siapa! Karena dia nggak menilai aku dari dosa masa lalu!”
Keheningan langsung turun di dalam mobil. Hanya suara mesin yang bergetar halus di antara mereka. Arjuna mengetatkan genggamannya di setir, buku-buku jarinya memutih.
Sesuatu di dalam dirinya mendidih — bukan sekadar marah, tapi campuran rasa bersalah, kehilangan, dan ... cemburu.
Ia memalingkan wajah ke kaca depan, mencoba menahan napas yang berat.
“Lidya,” katanya akhirnya, suaranya serak. “Aku cuma ... nggak ingin kamu nyakitin dirimu.”
Lidya tersenyum miring. “Nyakitin diriku? Atau maksudmu, nyakitin harga dirimu karena Kak Arjuna pernah menyentuh aku?”
Arjuna menoleh cepat, menatapnya tajam. Tapi tatapan itu langsung luluh ketika matanya bertemu mata Lidya — penuh luka, penuh amarah yang tak pernah benar-benar padam.
“Aku bukan orang suci, Kak,” lanjut Lidya pelan. “Tapi aku berusaha memperbaiki hidupku. Kalau ada orang yang mau nerima aku apa adanya, kenapa kamu harus jadi orang pertama yang meragukannya? Dan, kenapa Kakak sekarang mengungkit-ungkit, bukankah kesepakatan kita untuk melupakannya?”
Arjuna membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar. Ia kembali menatap jalan. Urat di lehernya menegang. Mobil melaju lebih cepat dari sebelumnya.
Keheningan kembali mengisi ruang sempit itu. Di luar, deretan gedung tinggi berkilau tertimpa sinar matahari pagi. Di dalam, dua manusia terjebak dalam badai yang tak mereka tunjukkan pada siapa pun.
Lidya tiba-tiba berkata lirih, hampir seperti bisikan, “Oh ya, soal uang dua miliar itu ... terima kasih. Sudah aku terima.”
Kata-kata itu membuat Arjuna menoleh cepat. Pandangannya tajam, nyaris tak percaya. Lidya tetap menatap ke depan, wajahnya dingin, tanpa emosi.
“Anggap saja ganti rugi atas semua yang udah terjadi,” lanjutnya datar. “Aku janji nggak akan ganggu hidup Kak Arjuna. Uang itu cukup untuk aku mulai hidup baru. Dan, bukan urusan Kak Arjun ... aku dekat dengan siapa.”
Arjuna terpaku. Ia tidak bisa menanggapi.
Matanya menatap jalan lurus di depan, tapi semuanya terasa kabur. Jemarinya menekan setir begitu kuat hingga terdengar bunyi berderit kecil dari kulit kemudi.
Lidya menatap ke luar jendela, matanya mulai berair tapi ia tidak membiarkan setetes pun jatuh. Bagi Arjuna, kalimat itu seperti tamparan — dingin, tajam, dan menyakitkan.
Bagi Lidya, itu adalah benteng terakhir untuk melindungi hatinya yang hancur.
Mobil terus melaju di antara hiruk-pikuk kota yang mulai hidup. Tapi di dalamnya, dua jiwa itu tetap diam — terperangkap di antara masa lalu yang tak bisa dihapus, dan perasaan yang tak seharusnya ada.
Dan tanpa mereka sadari, di rumah itu, Mama Riri berdiri di depan jendela lantai dua, menatap langit yang mulai cerah sambil berbisik lirih pada dirinya sendiri,
“Ya Allah ... lindungi anak-anakku dari cinta yang salah.”
Bersambung ... 💔