“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter: 33
“Nyak, apa hasil pemeriksaan kesehatan bang Ikram sudah keluar? Semua baik-baik saja 'kan …?” tanya Meutia, dia berdiri di dekat ibunya.
Nyak Zainab menepuk bangku disebelahnya, meminta Meutia duduk di sana.
Meutia pun duduk disamping sang ibu, hatinya menunggu dengan perasaan tak menentu, takut hasilnya tidak sesuai harapan.
“Alhamdulillah, hasilnya bagus. Namun, dokter menyarankan Ikram dirawat malam ini, supaya besok pagi, pada jam pertama – bisa kembali melakukan pemeriksaan lanjutan dengan dokter ahli saraf.”
“Alhamdulillah.” Meutia merangkul pundak ibunya, menyembunyikan wajah pada bahu mulai layu dimakan usia. Air matanya pun merebak, dalam hati melangitkan kalimat-kalimat puji syukur.
Bersamaan dengan itu, para pria menghampiri mereka.
“Ikram sudah di kamar rawatnya, apa kau tak ingin menemuinya, Meutia?” Agam menanyai sang adik.
Debar jantung Meutia langsung tidak beraturan, perasaannya campur aduk. Dia mendongak memandang wajah tampan abangnya. “Apa tak mengapa bila Tia menampakkan diri padanya, Bang?”
Agam tidak langsung menjawab, rautnya seperti menimbang baik dan buruknya. “Cobalah, kalau kau tak mencoba ... mana bisa tahu reaksi dia. Pun, hasil medisnya bagus, kondisi fisik stabil.”
“Apa yang dikatakan abangmu, ada betulnya Tia. Temui lah dia, tak mengapa kalau dirinya belum bisa mengenalimu. Paling tidak, Ikram tahu kalau telah beristri _ supaya dia pun bisa lebih tegas lagi terhadap wanita yang jelas-jelas menginginkan status dan pengakuan itu,” Nyak Zainab memberikan saran.
Semua sependapat dengan Nyak Zainab, mereka adalah orang peka, melihat bagaimana Arinta menatap Ikram, membawa-bawa nama anaknya, terlebih didukung Ambu – cuma ada satu kesimpulan. Keluarga penolong itu menginginkan imbalan, bukan berupa materi, tapi status jelas baik secara agama maupun negara.
Meutia mengangguk. “Nyak, Abang, lainnya … pulanglah dulu. Kalian pasti lelah, lagipula kasihan anak-anak kalau ditinggal lama-lama, takutnya nanti mereka menyimpan banyak tanya mengapa kita tak ada di sana, padahal ini adalah liburan keluarga.”
“Lantas dirimu bagaimana, Tia?” Dzikri Ramadhan yang bertanya.
“Biar saya saja yang menemani kak Meutia.” Danang menawarkan diri.
“Ya sudah, nanti Ayek dan Rizal biar menyusul kesini membawakan barang keperluan kalian.” Nyak Zainab beranjak. Dia memeluk sayang putrinya. “Bila Ikram belum terbiasa dan terlihat enggan berdekatan denganmu, menginap lah di hotel seberang jalan, Nak.”
Meutia mengangguk, itu juga yang ada dalam pikirannya. Dia tak ingin memaksa bila suaminya merasa risih atas kehadirannya.
Dhien memeluk sahabatnya, dia baru saja tiba setelah menunaikan sholat ashar di mushola rumah sakit. "Yang sabar ya, aku yakin kau dapat melalui semua ini. Alhamdulillah, dia telah ditemukan. Tinggal bagaimana kita membantunya mengingat tentang jati diri dan masa lalunya."
"Terima kasih, Kak." Meutia melerai pelukan mereka. "Kak aku titip anak-anak, ya. Tolong beri pengertian kepada mereka, terlebih Intan. Jiwanya pasti terguncang."
Meutia menyimpan kecemasan terhadap putri sulungnya. Namun, diapun memiliki kewajiban sebagai seorang istri – membersamai suaminya.
"Kau tenang saja. Tak perlu risau! Fokus lah pada Ikram. Biar Intan, Sabiya, Gauzan ... Kami yang urus," Dhien menenangkan gejolak hati Meutia.
"Meutia jangan memikirkan hal lainnya, selain Ikram. Anak-anak pasti aman bersama kami, banyak orang yang menyayangi mereka." Nirma memberikan pelukan hangat. "Semoga Ikram lekas sembuh, dapat mengingat kembali, agar tidak ketinggalan jauh tentang perkembangan Gauzan."
"Aamiin," kata mereka serempak.
Sesudahnya, Meutia melepaskan kepergian anggota keluarganya. Ada harap dalam hati, semoga putra dan putrinya tidak bersedih.
Terlebih Gauzan Rasyid, batita itu sangat dekat dengan ibunya. Kendatipun sudah tidak lagi minum ASI.
Gauzan sudah tidak menyusu semenjak umur tujuh bulan, dikarenakan sesekali Meutia minum obat penenang, dan juga harus rutin mengonsumsi obat resep dari dokter psikiater semasa dirinya menjalani terapi demi kesembuhan mentalnya.
***
Tinggallah Danang dan Meutia, mereka saling pandang lalu sama-sama terkikik lucu.
“Dulu, kau selalu merepotkan aku, kak Dhien. Sekarang sudah bisa diandalkan, dan mulai dewasa. Danang … terima kasih ya,” ucapnya tulus, memandang haru pemuda berwajah lokal yang sewaktu kecilnya mengekori kemanapun dia bepergian.
Danang memandang sekilas wanita dewasa di hadapannya, lalu kembali menundukkan pandangan. “Aku pun ingin mengucapkan banyak terima kasih, Kak. Berkat kebaikan Kakak, dan lainnya – kami bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Orang tua kami memiliki pekerjaan tetap.”
Dia mengatasnamakan kedua sahabatnya. Kehidupan mereka sekarang jauh lebih baik. Meutia, dan juga para dermawan kampung Jamur Luobok … membiayai penuh pendidikannya.
Meutia mengangguk, tersenyum tulus. “Itu karena memang kalian pantas mendapatkannya. Tak pernah putus asa, selalu berlomba-lomba memberikan nilai sempurna. Siapa coba yang tak mau menolong orang memiliki mimpi setinggi langit, sangat gigih dan pantang menyerah seperti kalian ini.”
“Kami ingin membuat Kakak dan lainnya bangga. Cuma itu caranya berterima kasih selama masih menjadi mahasiswa, dan kelak akan sangat berguna demi masa depan kami,” ucap Danang merendah.
***
“Abang yakin tak ingin ditemani?” untuk sekian kalinya, Arinta menanyai Ikram Rasyid.
Pria duduk di tepi ranjang itu menggeleng, tetap teguh pada pendiriannya. “Saya tidak sakit, dan masih bisa melakukan apapun sendirian, Arinta. Terima kasih atas tawaranmu, tapi lebih baik seperti ini. Kasihan juga Denis kalau sampai menginap di rumah sakit.”
Arinta masih belum puas, ada ketakutan dalam hatinya kalau semisal wanita yang tadi siang menghujatnya habis-habisan, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Ambu memberikan jalan tengah. “Malam ini kita menginap saja di hotel seberang jalan. Jadi, kalau Denis menangis mencari Yunus … bisa langsung dibawa kesini.”
Padahal baik Meutia, dan para orang dewasa bahkan juragan Byakta, sudah memperingati untuk memanggil Ikram, tapi sepertinya Ambu tak mau mendengarkan. Tetap menyebut Yunus.
Abah pun setuju. “Nak, kalau ada apa-apa, kau hubungi saja kami.”
Ikram mengiyakan, dia memang memiliki ponsel bekas dipakai oleh Arinta.
“Denis, peluk Papa dulu Nak! Biar nanti kau tak menangis sewaktu bangun tidur, Papa tak ada disisimu.” Arinta membangunkan putranya yang belum benar-benar terlelap dalam gendongan Abah.
Terkantuk-kantuk, dan sambil menahan mata sayu itu tetap terbuka – Denis merentangkan kedua tangan meminta dipeluk.
Ikram datang, mencium sayang kening batita hampir dua puluh empat jam bersamanya selama tiga belas bulan lamanya.
“Jangan nangis ya, anak sholeh. Tidur yang nyenyak.” Diusap-usapnya lembut pucuk kepala Denis.
Keluarga Ambu pun keluar dari kamar rawat inap. Mereka tidak pulang ke kampung halaman, memilih menginap di hotel seberang jalan rumah sakit.
Meminta pengasuh Denis, membawa keperluan mereka dan dirinya ikut menginap, dengan diantar sopir keluarga.
.
.
Tepat pukul sembilan malam, seseorang masuk ke dalam ruangan yang cukup luas. Melangkah sangat pelan agar tidak menimbulkan derap kaki bising.
Kedua tangannya saling menggenggam erat, semua rasa ada dalam hati kala menatap pria tertidur di ranjang pesakitan.
Semakin tipis jarak mereka, bertambah deras cucuran air mata. ‘Abang ….’
.
.
Bersambung.
suskes trs y kak, dtunggu novel kak cublik yg lain'y 😎🥰
setiap katanya penuh semangat khas "Medan kali" , harapannya kedepan lebih banyak bahasa sehari-hari warga Medan atau Langkat khususnya digunakan mbak jadi kesannya memang benar kisah nyata.
Pemirsa pembaca yang Budiman masih menunggu kelanjutan kisah dari desa jamur luobok yang lain. Mungkin kisah si three Musketeers from desa jamur luobok " ayek dkk" .
🙏🙏🙏
terimakasih kaka.. ditengah gundah gulana kaka akan kabar keluarga di tanah air yg terkena musibah, tapi kaka tetap menulis sampai akhir kisah meutia ini. semoga semua karya kaka bisa jadi ladang pahala untuk kakaa.. salam sayang online dari jauh 🤗🤗🥰🩷