Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Dimulai
Udara di kafe itu mendadak terasa dingin, menusuk hingga ke tulang Raya, meskipun pendingin ruangan sudah disetel rendah. Senyum kemenangan yang terukir di bibir Damar bukan hanya sebuah ekspresi, melainkan sebuah proklamasi. Sebuah deklarasi perang yang sudah lama Raya takutkan akan datang.
“Terkejut, Raya?” Suara Damar renyah, seperti keripik yang baru dipotong, namun setiap katanya terasa tajam, mengiris lapisan pertahanan Raya. “Kau pikir aku tidak tahu? Kau pikir rahasiamu akan selamanya aman?”
Raya mencoba menarik napas, tapi paru-parunya menolak. “Apa yang kau bicarakan? Aku tidak tahu apa-apa.” Suaranya terdengar serak, tidak meyakinkan bahkan di telinganya sendiri.
Damar tertawa kecil, melirik sekeliling kafe yang ramai, seolah menikmati drama yang akan dimainkannya. “Oh, kau tahu, Raya. Kau tahu betul. Tentang Langit. Tentang hasil tes DNA itu.”
Dunia Raya runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti sebuah bangunan pencakar langit yang tegak berdiri, tiba-tiba ambruk, puing-puingnya menimpa dirinya. Bagaimana? Bagaimana Damar bisa tahu? Hanya Arlan dan dirinya yang tahu tentang hasil tes itu. Dan Dokter Mira, yang sudah bersumpah akan kerahasiaan.
“Omong kosong!” Raya berusaha keras menjaga nada suaranya tetap tenang, tapi ia bisa merasakan jemarinya gemetar hebat di bawah meja. “Kau tidak punya hak untuk datang dan mengarang cerita seperti ini.”
“Hak?” Damar menyeringai. “Aku punya semua hak, Raya. Lebih dari sekadar hak. Aku punya bukti.” Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, menggeser-geser layarnya sejenak, lalu memutarnya ke arah Raya. Di layar itu, terpampang jelas hasil tes DNA yang sama persis dengan yang dilihat Raya, lengkap dengan nama laboratorium dan tanda tangan dokter. Sebuah foto yang diambil dari sudut yang jelas, menunjukkan dokumen asli.
Napas Raya tercekat. Ini bukan rekayasa. Ini nyata. Bagaimana Damar mendapatkannya? Apakah ada mata-mata? Atau apakah Dokter Mira... tidak mungkin. Mira adalah temannya.
“Bagaimana… bagaimana kau bisa mendapatkan ini?” Raya akhirnya bisa berucap, suaranya kini bergetar tanpa bisa ia kendalikan.
“Itu tidak penting.” Damar menyandarkan punggungnya, menikmati kepanikan yang terpancar dari mata Raya. “Yang penting adalah faktanya, Raya. Langit… adalah anakku.”
Kata-kata itu menghantam Raya seperti palu godam. Anakku. Damar mengklaim Langit sebagai anaknya. Darah Raya mendidih. Dia tahu ada kemungkinan itu, tapi mendengar langsung dari mulut Damar, dengan nada kepemilikan yang dingin itu, adalah cambukan yang tak tertahankan.
“Dia bukan anakmu!” Raya berseru, sedikit lebih keras dari yang seharusnya, menarik perhatian beberapa pasang mata di sekitar mereka. Ia segera meredakan suaranya. “Dia anakku. Dia anak Arlan. Dia anak kami!”
“Secara hukum mungkin. Secara biologis? Kita berdua tahu itu tidak benar.” Damar tersenyum lagi, senyum yang sama persis dengan yang ia berikan saat pernikahan mereka hancur, saat ia menghancurkan hidup Raya tanpa belas kasihan. “Aku tahu tentang klinik itu, Raya. Aku tahu tentang skema fertilisasi in vitro yang kau jalani. Dan aku tahu… ada kesalahan. Atau mungkin, kesengajaan.”
Raya merasakan pusing yang luar biasa. Dia ingat saat dia dan Arlan berjuang untuk mendapatkan Langit melalui IVF. Perjuangan panjang, penuh harapan, dan akhirnya kebahagiaan. Apakah di tengah proses yang sakral itu, Damar entah bagaimana menyusupkan dirinya? Apakah ini perbuatan licik yang telah ia rencanakan bertahun-tahun?
“Kau… kau melakukan ini?” Raya menuduh, matanya menyala. “Kau menukar spermaku? Kau merencanakan ini?”
Damar hanya mengangkat bahu, ekspresinya ambigu, antara menyangkal dan mengonfirmasi. “Details, details. Yang penting adalah hasilnya. Langit, putra tercintamu, adalah darah dagingku. Genetikku mengalir dalam dirinya, Raya. Bukan genetik Arlan.”
Ketakutan menggerogoti Raya dari dalam. Langit. Putranya. Bagaimana bisa ia menjelaskan ini pada Arlan? Bagaimana bisa ia menatap mata Langit dan mengetahui kebenaran yang mengerikan ini? Rasa bersalah menghimpitnya, berat seperti batu nisan.
“Apa yang kau inginkan?” Raya bertanya, suaranya nyaris berbisik. Ia tahu Damar tidak akan datang hanya untuk memberitahu. Pria itu selalu punya agenda tersembunyi, selalu ada harga yang harus dibayar.
“Aku ingin anakku, Raya.” Suara Damar berubah serius, dingin, tanpa jejak senyum lagi. “Aku ingin mengambil bagian dalam hidupnya. Sebagai ayahnya. Dan jika perlu, aku akan mengambilnya.”
Raya menggeleng, air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya. “Tidak! Kau tidak bisa! Aku tidak akan pernah membiarkanmu mendekatinya! Dia anakku! Aku yang membesarkannya, aku yang mencintainya!”
“Cinta? Itu tidak cukup di mata hukum, Raya.” Damar menegakkan duduknya, menatap lurus ke mata Raya, tatapan predator yang menemukan mangsanya. “Kau bisa melawanku, tentu saja. Tapi kau tahu apa konsekuensinya, bukan? Seluruh dunia akan tahu. Arlan akan tahu. Orang tua kalian, teman-teman, media. Sebuah skandal besar. Ibu yang membesarkan anak bukan darah dagingnya sendiri, yang ternyata adalah anak dari mantan suaminya yang licik. Bayangkan itu.”
Ancaman itu nyata. Raya tahu Damar tidak akan ragu melakukan itu. Pria itu haus kekuasaan, dan Langit adalah alat sempurna untuk menyakiti Raya, untuk membalas dendam atas apa pun yang ia rasakan Raya lakukan di masa lalu.
“Kau tidak bisa melakukan itu pada Langit!” Raya memohon, suaranya pecah. “Dia tidak tahu apa-apa! Dia sakit! Dia butuh ketenangan!”
“Maka permudah. Biarkan aku masuk ke kehidupannya. Perlahan-lahan. Aku tidak ingin dia terkejut. Biarkan dia mengenal ayahnya.” Damar mengucapkan kata ‘ayahnya’ dengan penekanan yang menjijikkan di telinga Raya. “Jika kau mempersulit, aku akan membuka segalanya. Dan percayalah, Arlan akan lebih terluka mendengar ini dari orang lain, daripada dari istrinya sendiri.”
Kata-kata itu menusuk tepat ke jantung. Arlan. Suami yang selama ini mencintainya, memercayainya sepenuhnya. Raya tidak bisa membayangkan bagaimana Arlan akan menghadapi kebenaran ini. Rasa bersalah itu kini terasa seperti pisau yang berputar di ulu hatinya.
Raya bangkit berdiri secara refleks. Ia tidak bisa lagi duduk di sana, di hadapan iblis berwajah malaikat ini. Kakinya gemetar, tapi ia harus pergi. Ia harus memikirkan ini, menyusun strategi. Perang sudah dimulai, dan ia sendirian menghadapi Damar yang licik.
“Aku tidak akan membiarkanmu mengambilnya!” desis Raya, lalu berbalik dan berjalan cepat keluar dari kafe, meninggalkan Damar yang masih duduk dengan senyum puas. Air mata Raya tumpah ruah begitu ia mencapai jalanan yang ramai. Namun, baru beberapa langkah, ponselnya bergetar di dalam tas. Nomor tidak dikenal. Ia mengabaikannya. Ponselnya bergetar lagi, kali ini pesan masuk. Dari Damar.
Tertera sebuah alamat, dan sebuah kalimat singkat:
*”Jika kau tidak muncul di sini besok jam 10 pagi, aku akan pastikan Arlan tahu segalanya sebelum tengah hari.”*
Napas Raya tercekat. Alamat itu adalah kantor pengacara perceraian terkenal di kota. Damar sudah selangkah di depannya. Tidak, beribu langkah di depannya. Raya harus membuat pilihan. Menghadapi Damar di pengadilan? Atau menyerah pada ancamannya? Semuanya dipertaruhkan. Langit, pernikahannya, masa depannya. Raya ambruk di pinggir jalan, menangis histeris. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.