Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Terpaksa Menikah
Beramai-ramai warga membawa Sari dan Jaka menuju balai desa untuk diadili. Rahmat sendiri sangat syok saat warga menyusulnya ke kebun untuk memberikan penjelasan mengenai kejadian yang menimpa cucunya. Ia tak begitu percaya cucunya berani melakukan hal sekeji itu. Sebelumnya Sari sendiri sempat menemuinya di kebun.
"Ini tidak mungkin! Cucuku tak akan berbuat serendah itu. Cucuku hanya difitnah! Kalian semua sengaja ingin menjebak cucuku kan?"
Setibanya di balai desa Rahmat mengomel dan menuduh warga sebagai biang masalah. Ia begitu yakin Sari tengah difitnah, hampir setiap hari cucunya selalu menjadi bahan gunjingan warga, dan mereka memang sengaja ingin membuat harga dirinya dipermalukan di muka umum.
"Pakdhe Rahmat, begitu sayangnya kamu sama cucu perempuanmu sampai-sampai menuduh kami tukang fitnah. Tidak ada fitnah di sini, apa yang terjadi reel ada di depan mata kami. Cucumu itu sangatlah menjijikan, kalau sudah gatal kenapa nggak dikawinkan saja! Dia sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan. Dia berpikir sungai lebih enak untuk bercinta karena suasananya sepi nggak bakalan ada orang yang melihat. Kasihan sekali dia, mau enak-enakan langsung ketangkap basah! Atau jangan-jangan mereka sudah selesai melakukannya? Pokoknya kami tidak mau tau! Sari harus dihukum!"
Sari menggeleng dengan menangis. Dia meyakinkan kakeknya bahwa tuduhan itu tidaklah benar. Meskipun warga tidak ada yang mempercayainya, tapi setidaknya sang kakek masih ada untuk melindunginya.
"Kakek, tolong percaya sama Sari! Sumpah demi apapun Sari nggak ada niatan untuk melakukan hal sekeji ini. Sari masih punya harga diri kek, Sari nggak ada niatan buat malu kakek."
"Cih!" Wanita bernama Lasmi langsung meludah tepat di depan Sari yang tengah duduk di kursi di kantor desa. "Nggak usah banyak alasan. Memangnya kami nggak tahu apa yang sudah kau lakukan? Kami dengan mata kami sendiri melihat kau sedang bermesraan dengan kondisi nyaris tak berpakaian. Apa itu yang kau sebut harga diri? Harga diri seseorang itu terletak pada tingkah lakunya, tingkah lakumu aja sudah seperti perempuan murahan, masih juga bilang tentang harga diri! Jangan munafik kau! Pokoknya kami ingin keadilan! Barang siapa yang sudah bersalah hingga mengundang aib diwajibkan untuk meninggalkan kampung ini. Berhubung kau sudah membuat aib di kampung ini kau harus pergi dari sini. Apa kalian setuju saudara-saudara?"
"Setuju!" Dengan serempak mereka langsung menyetujuinya. Di situ Sari nampak begitu syok. Dia hanya khawatir, bagaimana kalau sampai warga benar-benar berniat untuk mengusirnya? Siapa yang akan merawat dan menemani kakeknya? Ia tak tega jika kakeknya harus hidup sebatang kara dengan usianya yang sudah tua.
"Tolong jangan usir cucuku! Mungkin ini kesalahan terbesarnya, tapi kalian nggak boleh main hakim sendiri. Sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan baik-baik, jangan mentang-mentang kalian merasa diri kalian benar bisa semena-mena terhadap cucuku."
Rahmat mendekat pada pak kades dan meminta perlindungan padanya. Sebagai aparat tentunya pak kades kebingungan harus memberikan keputusan yang bijak untuk menyelesaikan masalah itu. Di sisi lain ia juga tidak tega dengan kondisi Rahmat yang harus menderita diusianya yang sudah sepuh.
"Pak kades, tolong bantu saya. Bertahun-tahun saya mengabdi di kampung ini. Saya rela meninggalkan kehidupan saya demi tinggal di kampung ini, untuk kali pertamanya saya minta tolong pada anda, tolong jangan mengambil keputusan untuk mengusir cucu perempuan saya. Saya rela melakukan apapun untuk kampung ini, tapi saya mohon, jangan pisahkan saya dengan cucu perempuan saya. Saya sudah tua pak, umur saya tinggal menghitung hari, beri saya sedikit ketenangan, saya ingin di sisa hidup saya ditemani oleh cucu saya. Saya rasa masih banyak cara lain untuk memberikan hukuman, tapi tidak dengan mengusirnya dari sini."
Rahmat menangis, dia rela bersimpuh di kaki kepala desa. Sebagai pimpinan di kampung itu dia merasa hina jika sampai ada orang tua yang rela menyembah demi keadilan cucunya. Sedangkan warga dengan sangat ramainya tidak menginginkan kades meringankan hukuman untuk Sari. Menurut mereka yang salah harus dihukum dan diusir dari kampungnya.
"Pak kades, anda harus bersikap bijaksana. Sari sudah melakukan tindakan yang mencoreng nama baik kampung ini, dia patut untuk dihukum. Beri dia hukuman yang setimpal atas perbuatannya, usir dia dari kampung ini. Kalau kakeknya tidak setuju, usir juga dia dari sini. Di sini kampung terhormat, jika ada salah satu warga membuat aib maka harus ditindak tegas!"
"Setuju!"
"Usir Sari!"
"Usir Sari!"
Pak kades langsung bangkit dari tempat duduknya dengan mengangkat kedua tangannya. "Tenang! Saudara-saudara, saya mohon harap tenang! Kalian jangan main hakim sendiri. Semua masalah bisa diselesaikan dengan baik-baik, jangan anarkis! Di sini Sari memang terbukti bersalah, tapi bukan berarti kita mengusirnya tanpa rasa iba. Saudara-saudara tentunya harus berpikir, jika sampai Sari diusir dari sini, bagaimana dengan nasib kakeknya? Pak Rahmat sudah tua, kalau cucu satu satunya kita usir maka beliau siapa yang bakalan merawatnya? Apa sekiranya kalian mau merawatnya?"
"Ya tak sudilah kami ngurus pria tua bangka ini! Memangnya dia siapa kami? Terkecuali kalau dia kaya, masih ada barang peninggalannya. Dia memang memiliki kebun, tapi di luar kota dia punya anak yang masih hidup, tentunya kebun itu sudah menjadi hak waris anak-anaknya! Kalau menang dia butuh orang untuk merawat ya sebaiknya diantar saja ke rumah anaknya yang ada di luar kota."
Rahmat maupun Sari sampai gemetaran tak berdaya. Ucapan mereka sangat menyakitkan, tapi posisinya juga serba salah. Meskipun Sari tidak bersalah, tapi bukti mengarahkan bahwa dia telah melakukan hal-hal yang terlarang.
"Kalian ini terlalu jahat. Nggak mau merawat tapi malah berniat mengusirnya. Kalian tentunya punya keluarga, punya saudara dan anak, jika hal ini terjadi pada keluarga kalian bagaimana? Apa sekiranya kalian juga rela saudara dan anak kalian terusir dari kampung ini. Sebagai pimpinan di kampung ini tentunya saya ingin bertindak tegas, tapi nggak harus mengusir mereka. Biarkan Sari tinggal di sini untuk mengurus kakeknya. Tapi~~
Pak kades menatap satu persatu mereka yang memenuhi kantor balai desa.
Sari, Rahmat maupun Jaka melebarkan matanya, begitupun juga dengan mereka yang sudah tidak sabar menunggu penjelasan dari pak kades.
"Tapi apa pak kades?"
"Tapi mereka berdua terpaksa harus dinikahkan."
"Hah! Menikah?"
Jantung Sari seakan berhenti berdetak. Dia semakin syok mendengar keputusan dari pak kades. Di situ dia tidak memiliki keberanian untuk menjawab, tapi keputusan pak kades bukanlah keinginannya.
"Mau tak mau Sari dan pemuda ini harus dinikahkan. Berhubung data-data Sari masih kurang lengkap dan pemuda ini juga tidak memiliki identitas lengkap, maka mereka harus kita nikahkan secara siri, karena dengan begitu masalah akan terselesaikan."