"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Minggu pertama Maya bekerja di rumah Arya terasa seperti mimpi yang aneh. Rutinitas barunya jauh berbeda dari kehidupan di rumahnya sendiri. Di sini, ia dikelilingi kemewahan, keheningan, dan sesekali, kehadiran Arya yang menggetarkan. Ia mulai terbiasa dengan jadwal harian Bi Sumi yang datang di pagi hari, mengurus sarapan dan berbelanja, lalu meninggalkan Maya sendirian di rumah besar itu setelah makan siang. Maya menghabiskan sore harinya membersihkan setiap sudut, mencuci pakaian, dan merapikan kamar-kamar.
Arya tidak selalu ada. Seringnya, ia akan berangkat kerja pagi-pagi sekali dan baru pulang menjelang sore atau malam. Tapi setiap kali ia ada, suasana rumah langsung berubah. Udara terasa lebih hidup, dan jantung Maya berdetak lebih cepat.
Seperti pagi ini. Maya sedang membersihkan ruang kerja Arya. Ia mengelap meja, merapikan tumpukan buku, dan menyedot debu karpet. Aroma kopi Arya yang pekat masih tercium samar, menempel di setiap benda di ruangan itu. Ia memungut sebuah pulpen yang terjatuh di bawah meja, dan saat ia menegakkan tubuh, ia melihat Arya berdiri di ambang pintu, menatapnya.
"Pagi, Mbak Maya," sapanya, suaranya pelan dan dalam.
Maya sedikit terlonjak. Ia tidak menyadari Arya sudah ada di sana. "Pagi, Tuan," jawabnya, sedikit tergagap.
Arya melangkah masuk, memegang sebuah map di tangannya. Ia mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya dan celana bahan gelap. Rambutnya masih sedikit basah, sepertinya baru selesai mandi. Aroma sabun dan parfum maskulinnya memenuhi ruangan, membuat Maya menahan napas.
"Sudah membersihkan ruang kerja saya?" tanyanya, matanya menelusuri Maya dari atas sampai bawah, berhenti sejenak di lekuk tubuh Maya yang samar terlihat di balik seragam pembantunya, daster berwarna biru muda yang biasa ia kenakan.
Maya merasakan pipinya memanas. Ia tahu Arya sedang mengamatinya. "Iya, Tuan. Hampir selesai. Tinggal merapikan beberapa buku ini." Ia menunjuk tumpukan buku di meja.
Arya mengangguk. Ia melangkah mendekat, berdiri di samping meja kerja. "Saya suka cara Anda merapikan buku-buku saya. Kelihatannya jadi lebih teratur."
"Terima kasih, Tuan," kata Maya, merasa canggung dengan kedekatan mereka.
"Kamu selalu rapi, ya?" tanya Arya, matanya kini menatap lurus ke matanya. Ada senyum tipis di bibirnya. Senyum yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi.
"Saya cuma berusaha menjaga kebersihan, Tuan,"
Jawab Maya.
Arya terkekeh pelan. "Tidak banyak orang yang bisa serapi ini. Bahkan Bi Sumi pun tidak serapi Anda."
Pujian itu membuat Maya tersipu. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan senyum yang hampir muncul di bibirnya. Perhatian kecil dari Arya ini, pujian-pujiannya, mulai merasuk ke dalam dirinya.
"Ngomong-ngomong, saya ada rapat pagi ini. Apa Anda sudah siapkan berkas-berkas saya di meja?" tanya Arya, matanya beralih ke tumpukan map di meja.
"Sudah, Tuan. Semalam sudah saya tata sesuai petunjuk Bi Sumi," jawab Maya.
"Bagus," Arya mengangguk. Ia membuka map itu, matanya sibuk membaca.
Maya kembali membersihkan, berusaha tidak mengintip. Namun, sesekali ia merasakan tatapan Arya padanya. Tatapan yang ia tahu bukan hanya sekadar mengawasi pekerjaan, tapi tatapan yang lebih dalam, lebih pribadi.
Saat Maya sedang merapikan beberapa tumpukan majalah di rak bawah, ia harus sedikit membungkuk. Posisi itu membuat lekuk tubuhnya terlihat lebih jelas. Ia merasakan tatapan Arya padanya. Itu bukan hanya perasaan. Ia tahu Arya sedang melihatnya. Rasa panas menjalar di wajahnya. Cepat-cepat ia menegakkan tubuh.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Maya bertanya,
berusaha mengalihkan perhatian Arya dan dirinya sendiri.
Arya mengangkat kepalanya dari map. Mata mereka bertemu. Ada kilatan nakal di mata Arya. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, melintas di bibirnya. "Tidak. Tidak perlu. Anda lanjutkan saja pekerjaan Anda."
Maya segera menunduk, melanjutkan pekerjaannya. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Arya melihatnya. Ia yakin itu. Dan ia merasa... entah kenapa, sedikit senang. Senang karena ia diperhatikan. Senang karena Arya memperhatikannya.
Siang itu, saat Bi Sumi sudah pulang dan Maya sendirian di rumah, ia memutuskan untuk membersihkan kamar tidur Arya. Sebuah tugas yang selalu membuat jantungnya sedikit berdegup kencang. Ia membersihkan ranjang king-size, merapikan seprai, dan menyapu lantai. Aroma maskulin Arya yang khas begitu kuat di kamar itu.
Saat ia sedang mengelap meja samping tempat tidur, ia melihat beberapa buku yang tadi pagi dilihat Arya. Di sampingnya, ada sebuah dompet kulit berwarna gelap. Maya tahu ia tidak boleh menyentuh barang pribadi Arya. Tapi entah mengapa, tangannya terulur. Ia menyentuh dompet itu sebentar. Terasa halus, dingin, dan berat. Sebuah simbol kekayaan Arya.
Ia segera menarik tangannya, merasa bersalah. Tidak seharusnya ia melakukan itu.
Ia melanjutkan pekerjaannya, membersihkan setiap
sudut kamar. Ia bahkan sempat melipat beberapa pakaian Arya yang tergeletak di kursi. Kemeja-kemeja mahal, kaos polos. Ia menyentuh bahan-bahan itu, merasakan kelembutannya di jari-jarinya. Semua benda di kamar ini memancarkan aura Arya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara pintu utama terbuka.
Arya. Pulang secepat ini? Ia melihat jam. Masih terlalu awal untuk Arya pulang. Jantungnya berdebar panik. Apakah Arya akan marah jika tahu ia berada di kamarnya?
Ia segera melangkah keluar dari kamar, menuju ruang tamu. Benar saja, Arya sudah ada di sana, sedang melepas sepatu kerjanya. Wajahnya terlihat sedikit lelah.
"Tuan Arya?" sapa Maya, suaranya sedikit tercekat.
Arya menoleh, sedikit terkejut melihat Maya. "Mbak Maya? Belum pulang?"
"Belum, Tuan. Saya... saya sedang membersihkan kamar Anda," jawab Maya, merasa sedikit kikuk.
Arya mengangguk. Ia melepas kemejanya, menyisakan kaus di tubuhnya yang atletis. Maya berusaha tidak melihat terlalu lama, tapi matanya tak bisa menolak untuk mencuri pandang. "Saya lupa mengambil berkas. Tadi buru-buru berangkat," kata Arya, melangkah menuju ruang kerjanya.
Maya merasa lega. Ia tidak marah. Ia bahkan tidak berkomentar tentang Maya yang masih berada di kamar pribadinya.
Arya masuk ke ruang kerjanya. Maya kembali melanjutkan membersihkan ruang tamu. Ia mencoba untuk bersikap biasa saja, seolah tidak ada apa-apa.
Tak lama kemudian, Arya keluar dari ruang kerjanya dengan membawa beberapa map. Ia berjalan melewati Maya yang sedang merapikan majalah di meja.
"Sudah lama di rumah saya?" tanya Arya, suaranya tenang.
"Iya, Tuan. Dari pagi," jawab Maya, tanpa mendongak.
Arya berhenti di dekatnya. Maya bisa merasakan kehadirannya yang begitu dekat. Aroma parfumnya yang maskulin begitu kuat.
"Kamu sudah makan siang?" tanya Arya.
"Sudah, Tuan," jawab Maya.
"Mau kopi? Saya mau buat kopi lagi. Mungkin Anda mau teh?" Arya menawarkan lagi, seperti semalam.
Maya menggeleng. "Tidak usah, Tuan. Terima kasih."
"Kenapa tidak mau minum? Kamu pasti lelah seharian bersih-bersih," kata Arya, nadanya terdengar sedikit menggoda. "Jangan sungkan, Mbak Maya. Kamu sudah bekerja keras."
Maya menatap Arya. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis, dan matanya memancarkan kehangatan yang aneh. Sebuah kehangatan yang selama ini ia rindukan.
"Saya baik-baik saja, Tuan," kata Maya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari Arya.
"Benar?" Arya mendekatkan wajahnya sedikit, menatap Maya dalam. "Saya melihat kamu sedikit pucat."
Maya terkesiap. Wajah Arya begitu dekat, ia bisa melihat detail mata Arya yang gelap dan ekspresinya yang serius namun perhatian. Jantungnya berdegup tak karuan. Jarak mereka terlalu tipis. Ia bisa merasakan napas Arya di pipinya.
"Tidak, Tuan. Saya baik-baik saja," kata Maya, suaranya tercekat. Ia ingin mundur, tapi kakinya terasa terpaku.
Arya tersenyum tipis. "Baiklah kalau begitu. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang pada saya. Atau Bi Sumi." Ia menjauh sedikit, memberi Maya ruang untuk bernapas.
Maya mengangguk. Arya kemudian melangkah menuju pintu utama, siap untuk pergi lagi.
"Saya pergi dulu," katanya, melirik Maya.
"Hati-hati di jalan, Tuan," balas Maya.
Arya tersenyum tipis, lalu melangkah keluar. Maya mendengar suara mobilnya menjauh. Ia menghela napas panjang, bersandar ke meja. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Setiap kali Arya mendekat, ia merasa seolah seluruh energinya tersedot.
Ia melanjutkan pekerjaannya, mencoba fokus. Namun, pikiran tentang Arya terus mengganggunya. Tatapannya,sentuhannya yang singkat tadi pagi, dan perhatiannya yang seolah melebihi batas antara majikan dan pekerja. Ini semua terasa begitu... menggoda.
Sore harinya, saat Maya sudah selesai dan siap pulang, ia melihat sebuah kertas kecil menempel di pintu kulkas di dapur. Tulisan tangan Arya.
"Mbak Maya, jika Anda butuh bantuan untuk mengangkat barang berat atau memperbaiki sesuatu di rumah, jangan sungkan minta bantuan saya. Hubungi nomor ini."
Di bawah tulisan itu, tertera sebuah nomor telepon. Nomor pribadi Arya. Bukan nomor yang tertera di pengumuman Pak Jaja.
Jantung Maya berdesir. Arya memberinya nomor pribadinya? Dan menawarkan bantuan? Sebuah tawaran yang tidak wajar dari seorang majikan kepada pembantu rumah tangganya.
Maya meraih kertas itu, meremasnya perlahan di tangannya. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.
Sebuah pintu kecil baru saja terbuka. Pintu yang mungkin akan membawanya lebih jauh masuk ke dalam dunia Arya, dan ke dalam permainan berbahaya ini. Ia tahu ini tidak benar. Tapi ia tidak bisa mengabaikan debaran di hatinya.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya