Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 33.
Aaaaaauuuuuuuuuuuuwww...
Suara lolongan anjiiing menembus malam, melengking tinggi dari arah luar rumah.
Udara tiba tiba terasa berat, seolah seluruh dinding ikut menyerap ketegangan itu.
Pungki menatap wajah Windy dengan sorot mata penuh tanya. Windy menggigil pelan, jemarinya semakin kuat mencengkeram tubuh kakak Pung Pung nya.
“Kak... abdi abdi Sang Ratu Jin sedang berada di sekitar sini. Selain menjaga Kakak Mbak Anisa... mereka juga mengawasi Kakak Pung Pung... karena mereka ingin menangkap aku...” Suara Windy lirih, nyaris tak terdengar, namun getar ketakutan nya terasa nyata.
Pungki mempererat pelukan nya, berusaha menenangkan. Satu tangan nya mengusap lembut kepala mungil Windy sambil berucap pelan, menahan gemetar di dada nya.
“Kita berdoa pada Allah, mohon perlindungan Nya, ya...”
“Iya, Kakak Pung Pung ku... bilang ke Mas Syahrul... aku belum mau dilihat dulu...” ucap Windy lirih.. dan detik berikutnya, tubuh mungilnya lenyap.
Tak ada bayangan, tak ada suara. Udara di hadapan Pungki seolah tersedot keheningan.
“Wind... Wind...!” seru Pungki dengan suara bergetar, mencoba menembus kekosongan itu.
Namun tak ada jawaban hanya suara sisa lolongan anjiiing yang kembali sayup di kejauhan. Pungki menoleh noleh, pandangan nya menyelusuri sudut kamar mandi. Jantungnya begitu berdebar debar karena takut jika Windy ditangkap oleh jin abdi abdi Sang Ratu..
Sementara itu, di depan pintu kamar mandi, Syahrul mengetuk ngetuk dengan suara yang lebih keras.
TOK.
TOK.
TOK.
“Pung, cepat dong buka pintu! Belet nih... ada apa, sih?” teriak Syahrul dari luar, tak banyak menyadari kegelisahan di dalam kamar mandi. Meskipun perasaan Syahrul juga tak nyaman saat mendengar suara lolongan anjiing tadi.
Pungki tersentak, segera membuka pintu. Wajah nya pucat dan cemas.
“Pung... a.. ” baru saja Syahrul hendak melanjutkan kalimatnya, tiba tiba suara dering telepon seluler memecah hening malam.
Nada dering itu terasa aneh, terlalu nyaring di tengah keheningan. Pungki melangkah cepat ke arah meja nakas, meraih telepon seluler nya dengan tangan sedikit gemetar.
Nama yang tertera di layar membuat jantung nya semakin berdegup lebih keras.
“Mbak Anisa, ada apa?”
Tanpa berpikir panjang, Pungki menekan tombol hijau. Namun... tak ada suara di seberang sana.
Hening. Hanya terdengar napasnya sendiri dan detak jam dinding yang terasa makin lambat.
🏡🏡🏡
Sementara itu, di homestay calon mempelai wanita, suasana tak kalah mencekam.
Anisa duduk di tepi tempat tidur bersprai sutra putih. Kain itu berkilau samar diterpa lampu temaram. Wajah Anisa tampak gelisah.
Ia memegang erat telepon seluler nya , menatap layar yang tiba tiba membeku.
“Ada apa, Nis?” tanya Bu Lastri, masuk sambil membawa segelas jamu hangat.
“Minum ini dulu, biar badan mu segar.”
“Bu... handphone saya kok tidak bisa dipakai, ya? Padahal sinyal di sini masih ada...” ucap Anisa, suaranya bergetar, matanya tak lepas dari layar yang seolah hidup tapi tak bersuara.
“Kamu mau menghubungi siapa? Coba pakai handphone Ibu saja,” kata Bu Lastri sambil mengulurkan telepon seluler nya .
Namun Anisa tak meraih ponsel itu. Matanya perlahan memerah, menahan air mata. Kedua matanya mulai berkaca kaca.. Senyumnya tipis, namun lebih seperti kepasrahan.
“Ada masalah apa, Nis? Katakan pada Ibu... Waktumu tinggal malam ini. Apakah kamu masih punya satu keinginan?” suara Bu Lastri melembut, namun di ujung kalimatnya terselip getar ketakutan yang sulit disembunyikan.
“Tidak, Bu... saya tidak ingin apa apa...” jawab Anisa lirih, dan akhirnya air matanya menetes perlahan di pipinya jatuh ke pangkuannya.
Bu Lastri menaruh gelas jamu di atas meja nakas, lalu memeluk Anisa erat erat. Tangisnya pecah, deras, dan menyakitkan. “Hu... hu... hu... Nis... Ibu tahu, pasti di lubuk hatimu ada rasa takut... Hu... hu... hu...” isak Bu Lastri menggema di kamar yang kini terasa semakin dingin.
“Bu...” suara Anisa lirih di antara isak tangis nya,
“Satu keinginan saya... tolong doakan saya selalu, ya, Bu... Agar kelak jiwa saya kembali kepada Allah... meskipun saya menjadi istri pangeran Jin... dan tinggal di alam gaib yang... saya sendiri tak tahu seperti apa...”
Bu Lastri menatap wajah Anisa yang kini diselimuti cahaya redup lampu kamar.
“Pasti, Nis... Ibu akan selalu mendoakan keselamatanmu...” ucap nya serak, sambil mengusap pipi Anisa dengan penuh kasih sayang.
Namun tiba tiba Bu Lastri tertegun. Wajah Anisa terasa panas, terlalu panas, seolah membara dari dalam.
“Nis... kamu demam? Kamu sakit?” ucap Bu Lastri panik, meraba seluruh wajah Anisa. Pipi, kening dan juga leher.
Anisa menunduk perlahan. Senyum samar terukir di bibirnya, tapi pandangan matanya kosong...
Bu Lastri meraba wajah Anisa lagi yang semakin panas.
“Astagfirullahaladzim.. Badanmu panas sekali...” ucapnya cemas sambil menatap mata Anisa yang tampak sayu.
Anisa menarik napas pelan, berusaha tersenyum di tengah kepalanya yang berat.. “Mungkin cuma kecapekan, Bu... atau... karena saya terlalu banyak berpikir...” suaranya pelan, nyaris bergetar.
Bu Lastri menatapnya penuh iba. “Kamu jangan pendam sendiri perasaan dan pikiran mu. ” Ia berdiri, mengambil gelas jamu , lalu menyodorkannya pada Anisa.
“Minum dulu. Setelah itu rebahan, biar Ibu kompres pakai air hangat, ya?”
Anisa menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia meneguk perlahan, namun matanya tetap kosong, menatap jauh ke arah jendela yang terbuka sedikit. Angin malam menerobos masuk, membuat tirai putih berayun pelan, seperti menari di bawah cahaya bulan yang pucat.
“Bu... .”suara itu meluncur lirih, namun cukup untuk membuat Bu Lastri menoleh cepat.
“Apa Nis? Katakan saja!” Nada suaranya meninggi, tapi matanya berkaca kaca. “Ibu tahu kamu takut, tapi pernikahan ini sudah dekat. Semua sudah menunggu. Jangan buat dirimu sendiri sakit karena pikiran.”
Anisa menunduk, air mata kembali menetes.
“Saya tidak takut pada pernikahannya, Bu... saya hanya... takut kehilangan diri saya sendiri. Takut saya terlempar dari lindungan Allah ....”
Bu Lastri terdiam. Tangannya refleks mengelus rambut Anisa yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
“Kamu tidak akan kehilangan siapa pun, Nak. Kamu hanya butuh waktu. Semua akan baik-baik saja... Semua makhluk di alam semesta ini ciptaan Allah Yang Esa..”
“Dia akan tetap menjaga dan melindungi kamu.. jangan lepas sembahyang kamu Nak...”
Namun nada suaranya terdengar bergetar, seolah ia sendiri sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Lebih dari sekadar menenangkan Anisa.
Hening sejenak.
Jam dinding berdetak pelan, menambah suasana mencekam di antara keduanya.
Anisa perlahan memejamkan mata, air matanya belum juga berhenti. Tubuhnya terasa lelah, pikirannya kalut, dan hatinya seakan terjepit...
Di luar kamar, angin malam berembus lebih kencang. Daun daun bergesekan, menimbulkan suara lirih seperti bisikan yang menenangkan atau mungkin menambah beban di dada yang sudah terlalu sesak.
Dan para jin abdi abdi Sang Ratu tahu, jika calon mempelai wanita malam ini terserang demam tinggi...
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣