Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Lorong panjang menuju kamar pengantin Reina di kediaman Wiranegara tampak jauh lebih sunyi. Lampu-lampu dinding memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, memantulkan bayangan-bayangan tipis di sepanjang karpet merah keemasan. Seorang pelayan perempuan berjalan di depan Alisha dengan langkah ragu, seolah setiap langkahnya terasa lebih berat daripada langkah sebelumnya.
Alisha mengikuti dari belakang dengan tatapan yang sejak tadi dipenuhi kekesalan dan rasa tidak percaya. Gaun tidurnya yang elegan, berwarna putih pualam dengan renda tipis di bagian lengan, berayun pelan saat ia berjalan. Ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi malam pertama pernikahannya dan menunggu suaminya.
Tetapi suaminya itu tidak datang.
Dan Alisha tahu ada yang tidak beres sejak pelayan itu menyebut tempat Aditya berada saat ini:
kamar pengantin Reina.
Hatinya terasa panas, sakit dan tersayat. Namun ia berusaha menahannya meski dagunya hampir bergetar.
Pelayan itu akhirnya berhenti. Lorong yang semula dipenuhi beberapa kamar kini tinggal satu pintu di ujung—pintu besar berwarna putih dengan ukiran mawar emas. Kamar yang sejak awal disiapkan untuk Reina.
Pelayan itu menelan ludah, lalu membungkuk kecil.
“Maafkan saya, Nyonya… saya hanya bisa mengantar sampai sini.”
Alisha melotot.
“Apa maksudmu? Mengapa berhenti di sini?” tanyanya dengan nada suara yang menahan amarah.
Pelayan itu tampak semakin gugup. Jemarinya meremas celemek putihnya.
“S-saya tidak bisa mengantar Nyonya sampai di depan kamar pengantin Nyonya Reina. Tuan Aditya sepertinya sedang bersama Nyonya Reina di dalam.”
Alisha menegang dan membuat pelayan itu menunduk semakin dalam.
“Saya tidak berani mendekat atau mengganggu, Nyonya. kamar pengantin nyonya Reina ada di ujung itu.”
Ia menunjuk ke pintu putih besar itu lalu tanpa berani menatap Alisha lebih lama, ia mundur satu langkah, sebelum akhirnya membalikkan badan dan pergi dengan tergesa ke arah lorong lain.
“Hey! Aku belum selesai bicara—!”
Terlambat.
Pelayan itu menghilang di balik sudut lorong.
Alisha berdiri sendirian, rahangnya mengeras, dadanya naik turun oleh campuran amarah dan penghinaan. Bagaimana bisa pelayan itu meninggalkannya begitu saja? Bagaimana bisa seluruh orang di rumah besar ini tahu lebih dulu daripada dirinya di mana Aditya menghabiskan malam pertama pernikahannya?
Namun sebelum Alisha sempat mengumpat dalam hati, telinganya menangkap sesuatu.
Sebuah suara. Bukan suara langkah. Bukan suara benda jatuh. Bukan suara orang berbicara. Melainkan sebuah teriakan kecil yang terdengar samar tapi jelas. Dan ia sangat mengenali suara itu.
Suara Reina.
Alisha terpaku, Hawa dingin merayapi tulang punggungnya. Ia berdiri lebih dekat ke arah pintu yang ada di ujung lorong itu. Dan suara itu terdengar lagi. Lembut, Tertahan dan juga
Gemetar.
Suara yang tidak mungkin ia salah dengar.
“Aditya…”
Masih ada jarak lima meter antara Alisha dan pintu kamar itu. Tetapi suara Reina seolah menembus dinding, menembus jarak, menembus hatinya dengan rasa sakit yang menusuk. Alisha menelan ludahnya. Tangannya mengepal sementara napasnya bergetar.
“Apa yang mereka lakukan?” bisik Alisha lirih, meski hatinya sudah bisa menebak jawabannya.
Dengan langkah perlahan, ia mendekat. Setiap langkah seperti memukul batinnya. Sesak. Berat. Membakar. Ketika ia berdiri tepat di depan pintu, suara itu terdengar jauh lebih jelas.
Kali ini ia mendengar suara Aditya yang terdengar lebih rendah, lebih dalam. Suara yang biasanya hanya ia dengar ketika Aditya berbicara serius.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/