Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#19
[Di Rumah]
Dengan wajah yang masih dipenuhi senyum, Naysila melangkah cepat menuju rumahnya. Hatinya terasa ringan, seolah beban yang menekan sejak pagi hilang begitu saja. Sesampainya di halaman, ia langsung membuka mengucapkan salam. Ia membuka pintu dan berseru,
"Bu! Pak! Aku pulang!"
Bu Diah yang sedang duduk di ruang tamu menoleh cepat, sementara Pak Ali baru saja keluar dari kamar setelah beristirahat. Keduanya menatap heran melihat ekspresi gembira putrinya.
"Ada apa, Nak? Kok wajahmu cerah sekali?" tanya Pak Ali sambil tersenyum.
Naysila menghampiri mereka dengan langkah ringan. Ia duduk di samping ibunya, lalu menggenggam tangan Bu Diah erat. "Alhamdulillah, Bu, Pak... akhirnya aku dapat pekerjaan! Tadi aku ke toko sepatu di dekat pasar, dan mereka mau menerimaku bekerja mulai minggu depan!"
Bu Diah terkejut, matanya langsung berbinar bahagia. "MasyaAllah, beneran, Nak? Alhamdulillah... doa Ibu terkabul!" Ia memeluk putrinya erat dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Pak Ali ikut tersenyum lebar, wajahnya tampak bangga. "Selamat ya, Nay. Bapak tahu kamu pasti bisa. Kamu anak yang rajin dan sabar, rezekimu pasti ada. Semoga pekerjaan ini jadi awal yang baik untukmu."
"Aamiiin," jawab Naysila. "Walaupun pekerjaannya gak bergengsi, tapi setidaknya aku gak menganggur. Iya 'kan, Bu, Pak?"
Pak Ali mengangguk. "Benar. Gak apa-apa pekerjaannya cuma di toko sepatu, yang penting gajinya halal, Nak. Ini sudah jadi keputusan kamu untuk bekerja, jadi gunakanlah kesempatan yang diberikan dengan sebaik mungkin."
Naysila menunduk, rasa harunya tak bisa ia sembunyikan. "Terima kasih, Bu, Pak... doakan aku bisa bekerja dengan baik, ya. Aku ingin hasil keringatku bisa sedikit membantu Ibu dan Bapak juga."
Bu Diah mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Iya, Nak. Yang penting kamu kerja dengan ikhlas dan jujur. Ibu dan Bapak selalu doakan kamu."
Suasana ruang tamu sore itu dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan sederhana. Senyum Naysila, senyum Bu Diah, dan senyum Pak Ali berpadu menjadi cahaya hangat yang menenangkan hati mereka sekeluarga.
Tak ada kesedihan lagi di rumah itu, semua orang tampaknya telah perlahan melupakan masalah yang terjadi belakangan ini dan memulai semuanya dengan bahagia.
Di tengah kebahagiaan keluarga kecil Pak Ali, tiba-tiba, nada dering ponsel Bu Diah memecah suasana hangat di ruang tamu. Ia segera merogoh saku dasternya, melihat nama yang tertera di layar, lalu mengangkatnya.
"Bu Tamara..." ucapnya, membaca nama kontak yang memanggilnya.
Tanpa banyak bicarakan, Bu Diah segera menerima panggilan tersebut karena hubungannya dengan Bu Tamara masih baik-baik saja.
"Halo, assalamu'alaikum..." ucap Bu Diah pelan.
Wajahnya yang semula cerah perlahan berubah serius. "Astaghfirullah... iya, iya, baik... nanti saya sampaikan ke Naysila." Suaranya terdengar panik sekaligus khawatir.
Naysila dan Pak Ali saling berpandangan, ikut penasaran dengan kabar apa yang sedang didengar oleh Bu Diah.
Tak lama, Bu Diah menutup telepon itu dengan wajah murung. Ia menoleh pada putrinya, lalu meraih tangannya.
"Nak... barusan Ibu dapat kabar. Bu Tamara... ibunya Alden... jatuh dari tangga tadi siang. Sekarang beliau terbaring sakit di rumahnya."
Mata Naysila langsung membesar. "Apa? Ya Allah..." Ia menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya terasa gemetar. Meski hubungannya dengan Alden penuh luka dan amat menyakitkan, tapi Bu Tamara selalu memperlakukannya dengan penuh kasih sayang, sejak pertama ia masuk ke dalam kehidupan mereka. Bahkan sering membelanya ketika rumah tangganya goyah.
"Bagaimana keadaannya, Bu? Parah kah?" tanyanya cemas.
"Ibu kurang tahu pasti," jawab Bu Diah lembut. "Tapi katanya Bu Tamara belum bisa banyak bergerak. Sekarang beliau dirawat di rumah, ditemani keluarga."
"Yang kasih tahu tadi, siapa?" tanya Naysila.
"Suaminya. Katanya, suruh kasih tahu kamu."
Pak Ali ikut angkat bicara, "Kalau begitu, mungkin sebaiknya kamu tengok beliau, Nak. Bagaimanapun juga, Bu Tamara itu sudah menganggapmu seperti anak sendiri."
Naysila terdiam. Hatinya terasa campur aduk. Ada kerinduan pada sosok mertua yang sangat menyayanginya, tapi juga ada bayangan Alden, suami yang hubungannya masih menggantung, yang pasti akan ia temui di sana.
"Ibu..." ucapnya lirih, "aku... aku harus menjenguk beliau. Aku nggak tega kalau hanya diam di sini. Bu Tamara terlalu baik sama aku, aku nggak bisa berpura-pura nggak peduli."
"Itu memang harus, Nak. Walaupun hubungan kamu dan Alden bermasalah, tapi ibunya sangatlah baik. Kamu harus tetap menjaga hubungan baik dengannya," sahut Pak Ali.
Bu Diah mengangguk setuju, menepuk lembut punggung tangan putrinya. "Ibu setuju. Pergilah, Nak. Itu lebih baik. Jangan pikirkan hal lain dulu. Yang penting, doakan dan temani beliau sebisa kamu."
Naysila terlihat sedikit ragu. "Tapi... aku takut ketemu Mas Al, Bu, Pak."
"Kenapa harus takut? Dia masih suamimu, Nak. Kalau kalian bertemu dan kamu tidak ingin bicara dengannya, tidak usah dipaksakan. Tujuan kamu datang ke rumah itu untuk menjenguk mertuamu, bukan membicarakan tentang masalahmu dengan Alden. Jadi, fokuslah pada tujuan utama," ujar Bu Diah.
Pak Ali menimpali, "Tapi, jika kamu merasa perlu bicara dengannya, maka bicarakan sebaik mungkin dengan kepala dingin. Bapak yakin, jika dibicarakan kembali kalian akan menemukan jalan terbaik."
Naysila mengangguk patuh. Ia bangkit dan segera masuk ke kamarnya. Ia bersiap-siap seadanya, kemudian pamit pada kedua orang tuanya untuk pergi ke rumah orang tua Alden.
Meskipun pikirannya tak karuan, tapi ia tetap memutuskan untuk pergi demi bisa melihat kondisi ibu mertuanya. Dia berusaha untuk tak peduli lagi tentang Alden, sekalipun mereka harus bertemu kembali.
*
Sore itu, langit berwarna jingga, matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Dengan langkah berat namun hati yang penuh tekad, Naysila turun dari sebuah taksi di depan gerbang rumah yang tinggi dan kokoh. Ia memanggil Satpam penjaga rumah tersebut dan mengatakan ingin menjenguk Bu Tamara.
Satpam yang sudah sangat mengenal Naysila, tanpa banyak bertanya langsung mempersilahkannya masuk.
Naysila berjalan menuju rumah Bu Tamara. Sebuket bunga mawar putih dan buah tangan sederhana ia bawa, untuk sedikit bisa menghibur sang ibu mertua.
Sesampainya di depan pintu rumah besar nan mewah itu, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Bayangan pertemuannya dengan Alden membuat jantungnya berdebar kencang, tapi ia segera menepis rasa cemas itu. Tujuannya jelas: menjenguk Bu Tamara, bukan membahas masa lalu rumah tangganya.
Tok... tok... tok...
Naysila mengetuk pintu rumah itu dengan lembut, namun suara ketukan itu terdengar jelas.
"Assalamu'alaikum," ucapnya.
Tak lama, pintu terbuka.
Seorang wanita dengan penampilan sederhana, yang tak lain adalah pembantu di rumah itu langsung menyambutnya dengan hangat. Ia langsung mempersilahkan Naysila masuk.
Naysila mengekor dari belakang, sesekali melirik ke setiap sudut rumah tersebut dengan perasaan khawatir akan keberadaan Alden di rumah itu.
"Mbak Nay, saya panggilkan Tuan dulu ya. Silakan duduk dulu," ujarnya pada Naysila.
Naysila hanya mengangguk.
Tapi belum sempat ia duduk, seorang pria paruh baya muncul, wajahnya tampak lelah namun masih ramah. Pak Haldy tersenyum hangat begitu melihat menantu kesayangannya itu.
"Naysila...," ucapnya terlihat senang. "Kamu datang juga, Nak. Kemarilah, Ibu sudah menanyakanmu sejak tadi."
Naysila menghampiri ayah mertuanya lalu mencium punggung tangannya takzim. "Apa kabar, Yah?"
"Alhamdulillah, baik, Nak," jawab Pak Haldy. Ia menghela napas sebentar, lalu tersenyum tipis. "Rasanya kangen sekali sama kamu, Nay. Kamu agak kurusan sekarang."
Nasyila tersenyum kaku, tapi tidak membalas perkataan mertuanya.
"Bagaimana keadaan Ibu, Yah?" Naysila langsung menanyakan kabar ibu mertuanya.
"Alhamdulillah, keadaannya mulai membaik. Tapi masih belum bisa banyak bergerak karena kakinya bengkak. Mari, temui dia di kamar saja."
Naysila mengangguk. Ia melangkah mengikuti Pak Haldy menaiki tangga menuju kamar Bu Tamara di lantai dua.
Sesampainya di depan kamar yang pintunya terbuka, ia melihat Bu Tamara sedang berbaring di ranjang dengan bantal agak ditinggikan. Wajahnya terlihat pucat, tapi senyum lembut langsung mengembang begitu melihat Naysila datang.
"Nay..." panggil Bu Tamara dengan suara serak namun penuh kasih.
Naysila cepat menghampiri, duduk di di sisi ranjang, lalu menggenggam tangan wanita itu dengan penuh hormat. "Ibu. Maaf aku baru bisa datang. Maaf juga karena aku baru tahu musibah yang menimpa Ibu."
Air mata tipis menggenang di mata Bu Tamara. "Tidak apa-apa, Nak. Sekarang kamu di sini, rasanya senang sekali Ibu bisa lihat kamu. Ibu kangen..." ujarnya lirih, lalu menepuk tangan Naysila dengan lembut.
"Maaf karena aku jarang menanyakan kabar Ibu," ucap Naysila, menahan rasa haru. "Maafkan aku, Bu..."
Senyum Bu Tamara melebar. "Sudahlah, gak apa-apa. Kamu memang anak yang baik, Nay. Ibu sangat bersyukur kamu pernah jadi bagian keluarga ini."
"Ibu kangen sama kamu, Nak... Ibu selalu membayangkan ketika kamu masuk ke rumah ini lagi dan berkumpul bersama kami. Pasti Ibu akan bahagia," tambahnya.
Naysila menunduk, hatinya terasa hangat bercampur getir.
Naysila dan Bu Tamara berpelukan sejenak, melepas rindu yang selama ini tertahan di hati masing-masing.
Naysila memijati bahu ibu mertuanya dengan lembut. Mereka pun banyak mengobrol, namun obrolan itu sama sekali tidak pernah membahas tentang hubungan Naysila dengan Alden.
Bu Tamara tampaknya enggan membuat suasana tak nyaman. Ia ingin menikmati waktunya dengan Naysila saat ini.
Namun, suasana hangat itu seketika buyar saat sebuah suara berat terdengar dari ambang pintu.
"Nay...?"
Naysila terperanjat. Ia menoleh, dan di sanalah Alden berdiri. Wajahnya tampak kaget bercampur lega melihat sosok istrinya kembali hadir di rumah itu. Pandangan mereka bertemu sejenak, lalu Naysila buru-buru menunduk, menahan gelombang emosi yang tiba-tiba muncul.
____________