NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19: Malam Panjang di Vila

Bab 19: Malam Panjang di Vila

Jam dinding berdetak.

Tik.

Tok.

Setiap detik terasa seperti palu godam di ruangan yang hening itu.

Makan malam berakhir tanpa upacara.

Tanpa hidangan penutup yang manis.

Tanpa "selamat malam" yang hangat.

Oma meletakkan serbetnya di meja.

Gerakan itu adalah palu hakim.

Sidang ditutup.

Dia berdiri.

Kursi mahoninya berdecit pelan di lantai marmer yang dingin.

"Istirahat," kata Oma.

Satu kata.

Perintah mutlak.

Dia tidak menoleh lagi.

Punggungnya tegak lurus. Kaku.

Berjalan keluar ruangan didampingi dua pelayan berseragam abu-abu.

Langkah kakinya pelan.

Namun menggema berat di lorong yang luas.

Menghilang di balik pintu ganda yang berat.

Yuni menghembuskan napas.

Panjang.

Gemetar.

Oksigen kembali masuk ke paru-parunya yang serasa diperas oleh korset tak terlihat.

Tapi ruangan itu belum kosong.

Kevin masih di sana.

Duduk bersandar dengan malas.

Kaki disilangkan.

Memainkan tusuk gigi di bibirnya dengan angkuh.

Matanya menatap Juan.

Lalu beralih menatap Yuni.

Tatapan predator yang baru saja kehilangan buruannya.

Tapi belum menyerah.

Hanya menunda serangan.

"Akting yang bagus, Lovebirds," gumam Kevin.

Suaranya rendah.

Serak.

Hanya untuk didengar mereka bertiga.

"Gue nggak tahu lo selemah itu, Juan."

"Sampai makan harus diatur cewek."

"Menyedihkan."

Juan berdiri perlahan.

Dia merapikan jasnya yang sedikit kusut di bagian lengan.

Wajahnya kembali datar.

Tanpa emosi.

Topeng "Raja Teknik" terpasang sempurna.

"Bukan lemah, Kev," kata Juan tenang.

Suaranya stabil.

"Itu namanya care."

"Sesuatu yang mungkin nggak lo ngerti."

"Karena lo sibuk party di London sama cewek-cewek bule lo."

Rahang Kevin mengeras.

Otot di pipinya berkedut.

"Hati-hati, Bro," desisnya.

Dia berdiri tiba-tiba.

Mendorong kursinya kasar hingga berbunyi nyaring.

"Kebohongan itu kayak bola salju."

"Makin lama makin gede."

"Dan pas pecah..."

Kevin membuat gerakan ledakan dengan tangannya di udara.

"... Boom."

"Lo bakal hancur."

Dia berjalan pergi.

Tanpa menoleh.

Aroma parfum musk yang tajam dan menyengat tertinggal di udara.

"Abaikan dia," bisik Juan.

Dia meraih tangan Yuni lagi di bawah meja.

Yuni tersentak.

Tangan Juan masih dingin seperti es.

Gemetar sedikit.

"Ayo ke kamar."

Mereka keluar dari ruang makan.

Berjalan berdampingan.

Tapi terasa berjarak.

Di lorong utama yang luas.

Bu Linda sudah menunggu.

Berdiri di samping tangga melingkar yang megah.

Tangannya bertumpu di pegangan tangga yang terbuat dari besi tempa emas.

Senyumnya manis.

Terlalu manis.

Seperti gula biang yang bikin sakit gigi.

"Kamar sudah siap," kata Bu Linda.

Suaranya lembut. Keibuan.

Tapi matanya tidak tersenyum.

"Juan di kamar biasa, Sayang. Lantai atas. Sayap barat."

Dia menatap Yuni.

"Dan Yuni..."

Jeda yang disengaja.

"Tante siapkan Guest Suite di lantai bawah."

"Sayap timur."

Yuni terdiam.

Sayap barat.

Sayap timur.

Dipisahkan oleh aula utama seluas lapangan badminton.

Dan tangga raksasa.

Jauh.

Terisolasi.

Strategi pemisahan.

"Kenapa dipisah, Ma?" tanya Juan.

Alisnya berkerut. Ada nada protes.

"Biasanya tamu di lantai atas juga."

"Biar gampang kalau butuh apa-apa."

"Oma yang minta," jawab Bu Linda santai.

Mengangkat bahu sedikit.

"Kalian kan belum menikah."

"Harus jaga etika ketimuran."

"Apa kata tetangga nanti?"

Bu Linda mendekat ke Yuni.

Menepuk pipinya pelan.

Dua kali.

Tangannya halus tapi dingin.

"Biar Yuni bisa istirahat tenang."

"Nggak diganggu kamu yang tidurnya ngorok."

Bu Linda tertawa kecil.

Tawa sopan yang dibuat-buat.

"Selamat tidur, Cantik."

"Mimpi indah."

"Sarapan jam tujuh tepat."

"Oma benci orang yang telat."

Bu Linda berbalik.

Naik ke lantai atas.

Gaun sutranya berdesir pelan.

Suara langkahnya hilang ditelan karpet tebal.

Tinggal Juan dan Yuni.

Berdiri kaku.

Di tengah aula besar yang sunyi.

Lampu kristal di atas mereka sudah diredupkan.

Menyisakan cahaya kuning temaram.

Menciptakan bayangan panjang yang menyeramkan di dinding.

"Kita dipisah," bisik Yuni.

Suaranya bergetar.

"Strategi memecah belah," kata Juan.

Matanya menyapu sekeliling. Waspada.

"Supaya kita nggak bisa koordinasi cerita buat besok pagi."

"Mereka pintar."

Juan menarik Yuni mendekat.

Ke dalam ceruk gelap di bawah tangga.

Tersembunyi dari pandangan CCTV di langit-langit.

"Dengar," bisik Juan cepat.

Napasnya hangat di wajah Yuni.

Mendesak.

"Nanti malam. Jam dua belas."

"Jangan tidur dulu."

"Kenapa?" Yuni panik. "Ada tes lagi?"

"Bukan."

"Aku akan ke kamarmu."

Mata Yuni membelalak.

"Gila."

"Kalau ketahuan Oma..."

"Kita tamat," potong Juan.

"Tapi kita harus ketemu."

"Lewat teras luar," lanjut Juan.

"Kamar tamu itu punya pintu kaca ke taman samping."

"Aku akan lewat sana."

"Mengendap-endap."

"Kita harus samain persepsi soal 'insiden udang' tadi."

"Dan soal besok."

"Besok jadwalnya 'Jalan Pagi Bersama Keluarga'."

"Itu mimpi buruk logistik."

"Medan perang baru."

Yuni menelan ludah.

Tenggorokannya kering.

Jalan pagi.

Artinya interogasi sambil olahraga.

Sambil kehabisan napas.

Di tempat terbuka.

"Oke," bisik Yuni pasrah.

"Jam dua belas."

"Kunci pintu kamarmu."

Juan menatap mata Yuni.

Dalam keremangan itu.

Mata cokelatnya terlihat lelah.

Sangat lelah.

Ada kerapuhan di sana yang jarang terlihat.

"Dan... Yuni."

"Apa?"

"Terima kasih."

Suaranya tulus.

"Tadi... di meja makan."

"Kamu nyelamatin nyawaku."

"Secara harfiah."

"Aku lupa."

"Aku beneran lupa."

"Otakku blank."

Yuni melihat ketulusan itu lagi.

Di balik topeng arogannya.

Ada anak kecil yang ketakutan dimarahi neneknya.

Ada manusia biasa.

"Sama-sama," kata Yuni pelan.

Suaranya serak.

"Itu tugas karyawan, kan?"

Juan tersenyum tipis.

Senyum yang tidak sampai ke mata.

Tapi cukup.

Cukup untuk menenangkan detak jantung Yuni sedikit.

"Selamat tidur, Pacar."

Dia melepaskan tangan Yuni.

Perlahan.

Sensasi dingin kembali menyerang telapak tangan Yuni.

Menggigil.

Juan berbalik.

Naik ke tangga.

Bayangannya memanjang.

Yuni berdiri sendirian di aula.

Menatap punggung Juan yang menjauh.

Dia merasa kerdil.

Di rumah sebesar ini.

Di antara pilar-pilar marmer yang dingin.

Dia berbalik.

Menuju sayap timur.

Koridornya panjang.

Sepi.

Dihiasi vas bunga kering yang besar.

Dan patung porselen yang menatap kosong dengan mata buta.

Langkah kakinya bergema.

Dia sampai di depan pintu kamar tamu.

Pintu kayu jati ukiran Jepara.

Berat. Kokoh.

Dia memutar gagang pintu emas.

Membukanya.

Kamar itu... luas.

Terlalu luas.

Lebih luas dari seluruh rumah kosnya.

Lantainya parket kayu gelap yang mengkilap.

Ranjang King Size dengan kelambu putih transparan.

Seperti kamar putri raja di dongeng.

Atau kamar pengantin di film horor gotik.

Yuni masuk.

Menutup pintu.

Menguncinya.

Klik.

Sekali.

Dua kali.

Dia bersandar di pintu.

Kakinya lemas.

Lututnya goyah.

Dia merosot ke lantai.

Duduk memeluk lutut di atas parket yang dingin.

Dia melihat ke sekeliling.

Mewah.

Dingin.

Asing.

Lampu tidur di meja nakas menyala redup.

Menciptakan suasana yang seharusnya romantis, tapi malah terasa mencekam.

Dia melepaskan sepatu heels-nya.

Melemparnya sembarangan ke karpet.

Tumitnya lecet.

Merah. Perih.

Darah sedikit merembes di plester luka.

"Satu hari selesai," bisiknya pada ruangan kosong itu.

Suaranya pecah.

"Tinggal dua hari lagi."

"Tahan, Yuni."

Ponselnya bergetar di dalam tas kecil.

Bzzzt. Bzzzt.

Yuni membukanya dengan tangan gemetar.

Pesan masuk.

Bukan dari Juan.

Dari nomor tidak dikenal.

Tanpa nama.

Foto profil kosong.

Hanya siluet abu-abu.

Isinya hanya satu kalimat.

Singkat.

Hati-hati langkahmu, Cinderella. Sepatu kacamu retak.

Yuni membeku.

Darahnya berdesir.

Jantungnya berhenti berdetak satu detik.

Siapa ini?

Bella? Si Ratu Medsos?

Kevin? Si Sepupu Iri?

Atau... Tante Lisa? Si Pengamat Tajam?

Atau musuh lain yang belum dia tahu?

Dia menelan ludah.

Dia melihat ke arah pintu kaca yang menghadap taman.

Pintu yang akan dilewati Juan nanti.

Tirai beludru berat berwarna maroon menutupinya.

Rapat.

Tapi dia merasa.

Di balik tirai itu.

Di kegelapan taman yang berkabut.

Ada mata yang sedang mengawasi.

Menunggu dia lengah.

Menunggu dia salah langkah.

Vila ini bukan tempat istirahat.

Ini arena pertempuran.

Medan ranjau.

Dan dia sendirian di sayap timur.

Terpisah dari sekutunya.

Menunggu jam dua belas.

Menunggu satu-satunya orang yang bisa dia percaya di neraka indah ini.

Yuni memeluk lututnya lebih erat.

Berdoa agar pagi tidak cepat datang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!