Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Di pondok pesantren Darul Huda, hari itu akhirnya Umar dan Citra resmi dipersunting. Umar duduk termenung di pojok ruangan, dadanya terasa sesak. Campuran rasa terkejut dan lega berbaur dalam benaknya. Awalnya dia mengira datang hanya untuk kunjungan biasa, tapi ternyata segalanya sudah disiapkan, pernikahan ini. Dia menatap Citra yang tersenyum manis, seolah tak ada beban sama sekali.
“Kenapa gue baru tahu sekarang?” gumam Umar pelan, jari-jarinya memainkan ujung sarungnya. Mungkinkah dia terlalu naif? Ataukah ini konsekuensi jadi anak yang selalu menurut?
Suasana pesta megah memenuhi aula pesantren. Lampu kristal berkelap-kelip, alunan gambus mengalun lembut, sementara para tamu berlomba mengucapkan selamat dengan wajah ceria. Santri dan santriwati berlarian mengatur hidangan dan dekorasi, menjadikan hari itu seperti mimpi yang tak ingin segera berakhir.
Namun di balik gemerlap itu, hati Umar bergemuruh. Apakah dia benar-benar siap mengemban tanggung jawab ini? Nama Umar kini tak lagi sendiri, ia adalah suami Citra, gadis yang selama ini jadi pembicaraan hangat di pesantren. Gelombang rasa takut dan harap bertalu dalam dadanya, namun dia tahu, langkah ini sudah tak bisa ditarik kembali.
Umar menatap gedung megah yang menjadi saksi pesta malam itu. Dinding ungu yang megah seakan berbisik tentang harapan besar yang ditumpukan orang tua mereka, putra-putri pemilik pondok pesantren terbesar di Jawa. Tapi di dalam dadanya, ada rasa kecil yang susah dijelaskan, seperti perahu yang melaju tanpa kendali, diarahkan oleh tangan yang bukan miliknya.
"Apakah ini memang jalanku?" gumam Umar pelan, matanya menatap ke lantai, berusaha menenangkannya sendiri. Dia hanya bisa berharap, pernikahan ini bukan beban, melainkan berkah untuk mereka, keluarga, dan pondok pesantren yang membentuk hidupnya sejak dulu.
Di sisi lain, Citra menghela napas panjang, jantungnya berdebar tak menentu. Senyum tipis terukir di bibirnya, memancarkan lega dan bahagia yang sulit disembunyikan. Umar, sang dosen yang lama ia cintai, akhirnya resmi menjadi suaminya. Meski bayang-bayang Nay, wanita lain yang juga menjadi bagian dari hidup Umar, kadang menusuk hati, setidaknya keinginannya untuk melewati hidup bersama pria itu sudah terwujud.
Citra menutup matanya sejenak, napasnya bergetar pelan. "Inilah yang selama ini aku impikan," gumamnya, bibirnya tersungging tipis penuh haru.
Kenangan pahit tentang penolakan Umar menyergap, wajahnya tiba-tiba mengeras saat teringat betapa pedihnya saat itu, ketika ia berani melangkah, menuntut untuk dipinang, namun hanya berbalas dingin. Namun, ia segera menepis bayangan itu, dada kecilnya mengembang dengan keyakinan baru.
"Sekarang, aku sudah jadi istri Umar. Tak ada lagi yang harus kutakuti."
Senyum lembut muncul di sudut bibirnya, menggantikan keraguan lama. Dalam hatinya, ada keteguhan yang tak tergoyahkan; ia tahu perjalanan ini takkan mudah, apalagi berbagi suami. Tapi baginya, kelegaan dan kebahagiaan yang kini diraih jauh lebih berharga dibanding luka masa lalu yang pernah menyesakkan. Citra membuka mata, menatap ke depan dengan tatapan penuh harap, siap menapaki hari baru dengan hati yang teguh.
Setelah pesta pernikahan usai, Umar menggandeng tangan Citra perlahan saat mereka melangkah ke kamar pengantin yang telah disiapkan khusus untuk mereka. Bunga-bunga segar berjejer rapi, wangi mewah memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang berbeda dari pernikahan Umar dulu bersama Nay.
Ingatan Umar terhenti sejenak, membayangkan kamar pengantin sederhana di kampung Palembang, dengan dekorasi seadanya yang jauh dari kemewahan ini. Dia menghela napas pelan, mata tertuju pada dinding-dinding yang kini tampak begitu megah, menyimpan kisah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Umar merasa sangat gugup saat berada di kamar yang sama dengan Citra. Gadis itu sudah berganti pakaian dengan pakaian tidur yang tipis dan sedikit terbuka. Citra pun melepaskan hijabnya tanpa ragu-ragu saat berada di satu kamar dengan Umar. Jantung Umar berdebar-debar dan ada keinginan untuk lari dari kamar itu. Dia merasa bersalah pada Nay yang ditinggal sendiri di Jakarta.
Mencari-cari ponselnya, Umar akhirnya mencoba menghubungi Nay. Meskipun Umar tahu bahwa ini bukan saat yang tepat, namun dia merasa perlu untuk mendengar suaranya. Citra menyadari niat Umar dan mendengarkan percakapan Umar dengan Nay tanpa dia sadari.
Citra menunduk, bibirnya bergetar tapi tak keluar suara. Matanya menatap kosong ke lantai, menahan kekecewaan yang mencekam dadanya. Di sudut ruangan mewah itu, Umar menarik napas panjang, dadanya naik turun dengan berat.
“Maafkan aku, Nay,” bisiknya dalam hati, suara itu nyaris hilang tertelan gemerlap kamar pengantin.
Ia merasakan sepi merayapi setiap sudut hatinya, bayangan istrinya yang jauh di sana mengusik pikirannya. Rindu yang tak terucap, harap yang terus menunggu kabar darinya seolah menjerat langkahnya.
“Mas Umar,” suara lembut Citra mendekat, tangannya meraih lengan suami yang gemetar, seolah ingin menularkan keberanian di tengah kebisuan yang menyiksa. Umar menatapnya sebentar, air mata yang tertahan mulai menggenang di sudut mata, tapi dia menghapusnya cepat, keputusan sudah terambil, dan dia harus berjalan di jalan itu meski perih menusuk.
Citra duduk di tepi tempat tidur, matanya menatap tajam ke wajah Umar yang tampak tegang. Ia mengulurkan tangan, membelai lembut puncak kepala Umar, berharap sentuhan itu mampu mencairkan suasana. Namun, udara malam itu terasa berat saat tangan Citra dihalau dengan lembut tapi pasti.
“Aku bisa sendiri, Citra,” suara Umar keluar dingin, hampir tanpa getar. Tatapannya kosong, menghindar dari mata Citra yang berharap lebih. Citra menahan kecewa yang mulai merayap, mencoba tersenyum tipis.
“Oh, iya. Mungkin kamu memang perlu istirahat malam ini. Besok kan kita harus balik ke Jakarta,” katanya, suaranya berusaha terdengar santai, tapi hati kecilnya tahu itu hanya alasan untuk menghindar dari perasaan yang sebenarnya.
Hati Citra berdegup tak karuan, sebuah rasa perih kecil merayap di dada. Ia menatap pasangan di depannya, seolah ada tembok tebal yang memisahkan mereka. Matanya samar menangkap keraguan yang tak terucap. Apakah pria itu benar-benar merasakan hal yang sama? Atau pernikahan ini hanyalah sebuah acara formal tanpa secercah cinta? Kilasan itu menyelinap cepat dalam benaknya,
"Mungkin aku yang terlalu berharap. Mungkin aku salah membaca setiap gerak dan kata selama ini." Setelah keheningan yang menyesakkan, suara itu akhirnya keluar,
"Citra..." Tubuhnya membeku, napas menahan harap sekaligus takut.
"Satu hal lagi... aku minta, tolong jangan bilang ke Nay kalau kita sudah menikah, untuk sementara," katanya pelan.
Kata ‘Nay’ itu menusuk hati Citra seperti pisau. Ia menelan ludah, merasakan getir yang menjalar di ujung lidahnya.
“Oh, tentu saja…” pikir Citra dengan pahit, menutup rapat luka yang baru saja terbuka.
Citra terdiam, bibirnya kaku tanpa kata. Seharusnya dia yang jadi yang utama di hatinya, bukan? Namun, tiap kali mereka bicara, nama Nay seperti bayang hitam yang selalu mengintai di sela-sela kata. Setiap batas yang dibuat, selalu ada Nay di sana.
“Selain itu, aku yang akan datang ke rumah barumu. Kamu dan Nay tidak mungkin tinggal satu atap, kan? Aku nggak akan pernah mengizinkan itu,” suaranya tegas, hampir tanpa ruang bagi bantahan.
Citra mengangguk pelan, dada terasa sesak. Ada kecewa yang menggumpal, bingung yang mengaduk-aduk, dan luka yang tersembunyi di balik tatapannya. Apakah selama ini dia cuma pelarian? Hanya pengisi kosong yang harus dipenuhi, bukan yang dicintai.
“Baiklah, aku terima aturan itu dengan berat hati. Tapi aku punya syarat. Minimal empat hari dalam seminggu, kamu harus datang menjengukku,” ucap Citra, suara bergetar tapi penuh tekad.
Umar mengernyitkan dahi, jarinya sibuk mengetuk-ngetuk meja seolah tengah menimbang sesuatu yang sangat berat. Setelah sesaat terdiam, dia mengangguk pelan.
"Baik, aku setuju dengan syarat itu," ucapnya dengan suara yang lebih dalam dari biasanya. Umar tahu, menjaga jarak antara Citra dan Nay adalah satu-satunya cara agar rahasia pernikahan mereka tak sampai bocor.
Sementara itu, di sudut lain ruangan, Citra menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca menahan beban di dalam hati. Dalam hati dia berbisik,
“Untuk sekarang, Nay tidak boleh tahu apa-apa tentang rahasia ini. Aku harus bisa menjaga jarak, menjaga perasaan Nay, walau itu berarti menyembunyikan kebenaran yang menyakitkan.” Wajahnya melembut, tapi ada kegetiran yang tersisa dalam senyum tipisnya.
Hati Umar terasa terpecah, antara kecemasan yang mengikat rapat rahasia di dadanya dan tanggung jawab untuk melindungi perasaan Nay yang rapuh. Malam pertama itu pun menjadi sunyi dan kaku.
Di sisi ranjang, Citra menahan isak tangisnya yang tercekat, dadanya sesak menahan pilu karena suaminya sendiri enggan menyentuhnya. Matanya yang sembab memandang ke langit-langit kamar, berharap sekali mendapat belaian yang tak kunjung datang.
"Apakah aku memang tak layak bahagia? Apakah hatimu tak punya sedikit pun cinta untukku?" gumamnya pelan, diselingi tetesan air mata yang mengalir deras di pipi. Dia lalu membalik badan, memunggungi Umar yang di sisi lain masih memejamkan mata dengan gelisah, pikirannya melayang jauh pada Nay, wanita yang sebenarnya dia dambakan, bukan Citra.