NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permainan Bayangan di Tepi Sungai

Hawa dingin air sungai merayap ke tulang-tulangnya, menusuk tajam menembus lapisan pakaian yang basah kuyup. Tapi di dalam diri Hwa-young, api yang membakar jauh lebih panas daripada kobaran api yang melahap Gudang Sungai di belakang mereka. Gudang itu bukan sekadar bangunan,  itu adalah simpul komunikasi, jantung dari jaringan nelayan yang telah ia bangun dengan susah payah. Dan Matriarch Kang baru saja merobeknya keluar.

"Nyonya, kita harus kembali," desis Kapten Yoon di sampingnya, air menetes dari rambutnya yang acak-acakan. Matanya liar, menyapu kegelapan di sekeliling mereka seolah setiap bayangan adalah musuh. "Wanita tua itu pasti sudah melepaskan anjing-anjing pelacaknya ke seluruh penjuru hutan ini."

"Kembali ke mana, Kapten?" balas Hwa-young,  serak dan rendah, hampir tertelan oleh suara gemericik air. Kepalanya berdenyut, campuran antara kelelahan dan amarah. "Istana bukan lagi tempat aman. Gudang kita hanya tumpukan abu. Saat ini, jalanan adalah markas kita."

Rasa dingin yang menggigit tak lagi ia hiraukan. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup serpihan es, tapi itu justru menjernihkan pikirannya. Ini bukan kekalahan. Ini adalah deklarasi. Matriarch Kang mengira ia telah memotong lidah Hwa-young, padahal ia baru saja memberinya panggung terbesar untuk memulai perang sesungguhnya.

"Sora sudah bergerak," lanjut Hwa-young, tekad mengeras dalam . "Pengiriman Sutra Chungmae harus tetap berjalan malam ini. Kekacauan ini ... ini adalah selimut kita."

"Tapi kita tidak punya apa-apa, Nyonya! Kita basah kuyup dan diburu!"

"Justru karena itu kita tidak akan terlihat," potong Hwa-young. Ia mencengkeram lengan Kapten Yoon, tatapannya tajam. "Mae-ri menunggu di gubuk nelayan. Kita temui dia, ganti pakaian, dan langsung menuju titik peluncuran. Cepat."

Mereka bergerak seperti hantu, bayangan yang melesat di antara pepohonan lebat di tepi sungai. Udara malam yang lembap terasa menyesakkan, dipenuhi aroma tanah basah dan asap sisa kebakaran. Ini adalah aroma perang ekonomi yang baru saja dimulai.

Gubuk nelayan tua itu hampir tak terlihat, tersembunyi di balik rumpun bambu yang lebat. Begitu mereka tiba, Mae-ri menyambut dengan wajah pucat pasi, tangannya gemetar saat menyodorkan jubah tebal dan kering.

"Ya Tuhan, Yang Mulia! Apa yang terjadi?" serunya panik, matanya berkaca-kaca melihat keadaan Hwa-young yang mengenaskan.

"Matriarch Kang lebih pintar dari dugaanku," jawab Hwa-young singkat, menanggalkan pakaian basahnya tanpa ragu. Setiap gerakannya cepat dan efisien. Tidak ada waktu untuk mengasihani diri. Ia mengenakan jubah pedagang yang kusam dan tebal, kain kasarnya terasa aneh di kulitnya, tapi memberikan kehangatan yang ia butuhkan. "Dia tahu soal terowongan rahasia. Tapi Sora berhasil lolos. Itu yang terpenting. Di mana Kapten Yoon?"

"Di luar, mengawasi," lapor Mae-ri, sambil buru-buru menyisir rambut Hwa-young yang kusut dan mengikatnya dengan tali sederhana. "Dia bilang ada pergerakan di jalur hutan. Sepertinya patroli."

"Bukan patroli biasa," gumam Hwa-young, mengencangkan kerudung di kepalanya hingga hanya matanya yang terlihat. Ia bukan lagi seorang Putri,  ia adalah seorang pejuang tanpa nama. "Wanita tua itu tidak akan menyia-nyiakan satu detik pun. Dia berusaha menutup setiap lubang tikus yang mungkin kita gunakan."

"Sora mengirim ini," kata Mae-ri, menyerahkan sebuah gulungan kecil yang terbungkus rapi. "Kapal Sutra impor sudah tiba. Kualitasnya, katanya, bahkan lebih baik dari Sutra Kekaisaran. Tapi ... dia khawatir rute penyeberangan sungai ini sudah tidak aman."

Hwa-young membuka gulungan itu. Jarinya menelusuri detail pesanan,  Sutra dari Timur Jauh, dengan kilau yang tak tertandingi. Dan harganya, tanpa pajak, sepuluh persen lebih murah dari produk monopoli Kang. Ini bukan sekadar barang dagangan. Ini adalah belati yang akan ia tancapkan tepat di jantung kekuasaan Matriarch Kang. Senjata yang akan meruntuhkan status sosial yang dibangun wanita itu selama puluhan tahun.

"Kita harus ke sana sekarang," desisnya, nadanya tak terbantahkan. "Aku harus mengawasi pengiriman ini dengan mata kepalaku sendiri. Ini pertaruhan terbesar kita. Tidak boleh ada satu kesalahan pun."

"Anda akan menyamar lagi?" tanya Mae-ri, nada khawatir jelas terdengar.

"Tentu saja," jawab Hwa-young, matanya berkilat di balik kerudungnya. "Malam ini, aku adalah penjual rempah-rempah yang mencari peruntungan di tengah kekacauan. Dan kau, Ri, kau adalah bayanganku. Tetap waspada."

*

Dermaga kecil yang tersembunyi itu diselimuti kegelapan yang pekat. Hanya ada satu lentera redup yang berkedip-kedip di ujung dermaga kayu, cahayanya seolah enggan menembus kabut tipis yang melayang di atas permukaan air. Suasananya begitu mencekam, setiap suara, desiran angin, riak air, terdengar seratus kali lebih keras.

Sora dan lima anggota baru Chungmae menunggu dalam diam, postur mereka tegang seperti tali busur yang ditarik. Di seberang mereka, sebuah perahu kecil merapat tanpa suara, sarat dengan gulungan-gulungan sutra yang tak ternilai harganya.

Hwa-young dan Mae-ri tiba tak lama kemudian, langkah mereka begitu lamban di jalan setapak yang berlumpur.

"Sora," bisik Hwa-young.

Gadis itu berbalik, dan kelegaan yang luar biasa terpancar di wajahnya yang tegang. "Nyonya Hwa! Syukurlah Anda selamat. Aku khawatir sekali."

"Dia gagal menjebakku," jawab Hwa-young, matanya langsung menyapu area itu, memindai setiap sudut gelap. "Bagaimana situasinya?"

"Muatan sudah aman di gudang kecil itu," Sora menunjuk ke sebuah pondok kayu yang tersembunyi di antara pepohonan. "Masalahnya, rute darat kita. Kapten Yoon baru saja memberi sinyal. Ada pergerakan pasukan berkuda di jalur hutan Utara."

"Pasukan berkuda?" Hwa-young mengerutkan kening. Itu bukan patroli biasa yang hanya terdiri dari beberapa prajurit. Ini lebih serius. "Itu pasti agen pribadi Kang. Mereka sedang menyisir sisa-sisa kebakaran."

"Kita tidak bisa menunggu fajar," desak Sora. "Sutra ini harus segera didistribusikan, atau semua usaha kita akan sia-sia."

"Tunggu," kata Hwa-young, firasat buruk mulai merayapinya. "Di mana tepatnya Kapten Yoon?"

"Di atas bukit sana. Dia mengirim sinyal Burung Hantu kedua. Katanya, ada sekelompok orang lain yang bergerak mendekat. Bukan pasukan berkuda. Mereka seperti ... pemburu. Jubah gelap, senjata lengkap. Tapi mereka bukan pemburu biasa."

Pemburu. Di tengah malam buta, di area yang baru saja menjadi pusat perhatian Matriarch Kang. Ini bukan kebetulan.

"Itu bukan pemburu, Sora," kata Hwa-young. "Itu agen intelijen Yi Seon."

Sora terkesiap. "Yi Seon? Putra Mahkota? Kenapa dia..."

"Dia tidak pernah percaya pada siapapun," jelas Hwa-young getir. Ingatan akan pertemuan mereka di paviliun melintas di benaknya. Pria itu selalu selangkah di depan, selalu bermain catur dengan bidak-bidak yang bahkan tidak menyadari mereka sedang dimainkan. "Setelah aku memberinya informasi soal Garam, dia pasti ingin tahu apa langkahku selanjutnya. Dia lebih suka aku bergerak di bawah pengawasannya daripada di bawah pengawasan Matriarch Kang."

"Lalu ... apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa mengirim muatan ini jika mereka mengawasi!"

Pikiran Hwa-young berpacu. Ia harus memecah perhatian mereka. Ia harus memberi mereka sesuatu untuk dikejar, umpan yang akan membuat mereka berpaling dari hadiah utamanya.

"Kita akan memotong jalan mereka," putusnya. "Kita beri mereka apa yang mereka cari."

"Apa maksudmu?"

"Garam," jawab Hwa-young. Matanya berkilat licik. "Kita punya satu karung sisa Garam dari Utara, kan? Tinggalkan karung itu di tengah jalur hutan. Biarkan para 'pemburu' itu menemukannya. Biarkan mereka berpikir kita hanyalah penyelundup Garam rendahan."

Wajah Sora langsung cerah. "Brilian, Nyonya! Itu akan memberi kita waktu yang kita butuhkan!"

"Kalian berdua," Hwa-young menunjuk dua anggota Chungmae. "Bawa satu karung Garam ke jalur Utara. Tinggalkan di sana dan segera kembali. Jangan sampai terlihat."

Keduanya mengangguk dan langsung bergerak dalam senyap.

Hwa-young kemudian menoleh ke Sora. "Sekarang. Kirim Sutra ini melalui jalur air dangkal yang kau sebutkan. Jangan gunakan rute utama. Bergerak sekarang!"

*

Lima belas menit kemudian, Hwa-young dan Mae-ri bersembunyi di balik semak belukar di tepi sungai, mengawasi perahu kecil yang membawa harapan mereka menjauh dalam kegelapan. Operasi itu berjalan mulus. Terlalu mulus.

Tiba-tiba, suara desingan tajam membelah keheningan malam, diikuti oleh bunyi thud dari anak panah yang menancap di sebatang pohon tak jauh dari jalur hutan. Bukan panah api, tapi panah peringatan.

"Sial," desis Hwa-young, menarik Mae-ri lebih dalam ke balik bayang-bayang. "Mereka sudah menemukan Garam itu."

"Mereka tahu kita ada di sini, Nyonya!" bisik Mae-ri, tubuhnya gemetar hebat.

"Biarkan saja. Mereka hanya menemukan Garam, bukan Sutra," balas Hwa-young, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Kita harus segera pergi."

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, terdengar suara langkah kaki yang berat dan mantap mendekat. Bukan langkah prajurit patroli yang tergesa-gesa. Ini adalah langkah kaki seseorang yang terbiasa menguasai setiap jengkal tanah yang diinjaknya. Langkah kaki yang sangat ia kenal.

Napas Hwa-young tertahan di tenggorokannya. Dua bayangan tinggi muncul dari kegelapan.

Satu sosok mengenakan jubah berburu gelap, memegang busur besar dengan postur yang dingin dan angkuh. Bahkan dalam bentuk siluet, Hwa-young bisa mengenali aura kekuasaan yang menguar darinya. Yi Seon.

Di sampingnya, sosok kedua, lebih tegap dan kekar, mengenakan pakaian kulit yang biasa dipakai Jenderal Kim saat berburu.

Mereka tidak sedang berburu binatang. Mereka sedang berburu dirinya.

"Siapa di sana?" Suara Yi Seon terdengar dingin dan tajam, membelah kegelapan seperti pisau es.

Hwa-young dan Mae-ri membeku. Terjebak. Tidak ada jalan lari.

"Yang Mulia," bisik Hwa-young pada dirinya sendiri, otaknya berputar cepat. Berakting. Jadilah orang lain. Lupakan siapa dirimu.

Ia melangkah keluar dari persembunyian, memaksa tubuhnya untuk membungkuk, tangannya memegang sebuah keranjang kosong. Mae-ri mengikutinya dengan wajah sepucat mayat.

"Mohon maafkan kami, Tuan!" kata Hwa-young,  dibuat serak dan bergetar, suara wanita desa yang ketakutan. Ia menunduk dalam-dalam. "Kami tidak bermaksud mengganggu. Kami hanya pedagang kecil yang tersesat."

Yi Seon menatapnya, matanya yang tajam seolah mampu menembus penyamarannya. Hwa-young bisa merasakan tatapan itu membedahnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Pedagang?" ulang Yi Seon, nadanya penuh skeptisisme. "Pedagang apa yang berkeliaran di hutan pada malam hari, di dekat dermaga yang dijaga ketat?"

"Kami ... kami mencoba mencari jalan pintas ke pasar di Distrik Selatan, Tuan," Hwa-young merendahkan , membiarkan sedikit keputusasaan palsu merayap masuk. "Kami dengar lewat sini bisa menghindari pajak."

Jenderal Kim tetap diam, tapi matanya waspada. Penyamaran Hwa-young cukup bagus, tapi melawan Yi Seon adalah pertarungan yang berbeda.

"Jalan pintas?" Yi Seon mendengus. "Kau pikir aku sebodoh itu? Kami baru saja menemukan sekarung Garam selundupan di jalur hutan."

"Ga-Garam?" Hwa-young membelalakkan matanya, memainkan perannya dengan sempurna. "Kami tidak tahu apa-apa tentang itu, Tuan. Kami hanya menjual sedikit rempah-rempah."

Yi Seon melangkah mendekat, aura dinginnya membuat udara di sekitar mereka terasa membeku. Ia melirik keranjang kosong di tangan Hwa-young. "Mana rempah-rempahmu?"

"Su-sudah habis terjual di pasar sore tadi, Tuan," Hwa-young berbohong cepat. "Kami hanya ingin segera pulang, tapi kami takut dengan patroli Kang."

Yi Seon berhenti tepat di depannya. Begitu dekat hingga Hwa-young bisa mencium aroma hutan dan kulit dari pakaiannya. Pria itu meneliti wajahnya yang sengaja ia kotori dengan tanah dan rambutnya yang kusut. Tapi kemudian, matanya terpaku pada mata Hwa-young.

"Matamu," kata Yi Seon,  rendah dan berbahaya.

"Ke-kenapa dengan mata saya, Tuan?"

"Terlalu tenang untuk seorang pedagang yang ketakutan," balas Yi Seon. "Kau tidak gemetar. Kau ... dingin. Terlalu terkendali untuk seseorang yang baru saja disergap di tengah hutan."

Serangan balik. Hwa-young harus membalikkan ini.

Ia mengangkat kepalanya sedikit, membiarkan sebersit keberanian yang putus asa terpancar dari matanya. "Saya harus tenang, Tuan. Jika saya panik, bagaimana saya bisa bertahan hidup di pasar yang kejam? Kami pedagang kecil tanpa perlindungan. Ketenangan adalah satu-satunya senjata kami."

Yi Seon menatapnya lama, seolah mencoba membaca setiap pikiran di kepalanya. Ada kilatan tak terduga di matanya, bukan pengakuan, tapi mungkin ... kekaguman?

"Kau berani," katanya pelan. "Siapa yang mengirimmu?"

Tiba-tiba, Jenderal Kim, yang sejak tadi mengamati sekeliling, bergerak. Ia menatap ke arah sungai, ke tempat perahu Chungmae baru saja menghilang ditelan kegelapan.

"Tuan," bisik Jenderal Kim. "Ada pergerakan di sungai. Perahu kecil."

Perhatian Yi Seon teralihkan. Hwa-young menahan napas, bersyukur atas interupsi itu.

"Perahu nelayan? Pasti mereka juga mencoba menyelundupkan Garam," kata Hwa-young cepat, sengaja menarik perhatian Yi Seon kembali ke umpan yang telah ia siapkan. "Matriarch Kang sudah gila, Tuan. Dia membuat semua orang kelaparan Garam. Kami bahkan tidak bisa memasak dengan layak."

Yi Seon menoleh padanya lagi, matanya menyipit. "Kau terdengar tahu banyak soal politik Istana."

"Kami hanya mendengar gosip di pasar, Tuan. Kabar buruk selalu menyebar paling cepat," balas Hwa-young.

Yi Seon terdiam sejenak. Lalu, ia berbalik. "Jenderal Kim, kita sisir hutan ini. Mungkin masih ada yang lain."

"Siap, Tuan."

Saat Yi Seon melangkah pergi, Hwa-young mengira ia sudah aman. Tapi pria itu berhenti. Ia berbalik, dan dalam satu gerakan cepat, ia sudah berada di depan Hwa-young lagi. Tangannya yang dingin dan kuat mencengkeram dagu Hwa-young, mengangkat wajahnya secara paksa hingga mata mereka bertemu.

"Seharusnya kau pulang, Nyonya," desis Yi Seon,  rendah dan penuh ancaman. "Hutan ini berbahaya di malam hari."

Sentuhan itu mengirimkan sengatan listrik ke seluruh tubuh Hwa-young. Ia menahan napas, menatap langsung ke mata elang pria itu, menolak untuk menunjukkan rasa takut.

"Saya akan pulang, Tuan," balasnya. 

Yi Seon melepaskannya dengan kasar, lalu berbalik dan menghilang ke dalam hutan bersama Jenderal Kim.

Kaki Hwa-young terasa lemas. Ia hampir jatuh jika Mae-ri tidak menopangnya. Ia berhasil. Yi Seon tidak mengenalinya.

"Yang Mulia ... itu Putra Mahkota!" bisik Mae-ri, masih gemetar.

"Aku tahu," jawab Hwa-young, napasnya terengah-engah.

Saat itulah ia melihatnya. Sesuatu yang kecil dan terbungkus rapi tergeletak di tanah yang lembap, tepat di tempat Yi Seon berdiri tadi. Sebuah gulungan kecil, terbungkus lilin dengan segel Chungmae. Pasti terjatuh dari saku jubahnya saat ia mencengkeram dagu Hwa-young.

Dengan tangan gemetar, Hwa-young memungutnya dan membukanya. Itu adalah tulisan tangan Yi Seon, ditujukan bukan untuknya, tapi untuk orang kepercayaannya.

‘Garam ditemukan. Umpan berhasil. Matriarch Kang akan mengalihkan fokus dari Sutra. Perintahkan Sora untuk bersembunyi. Jangan biarkan Sutra membanjiri pasar. Tunggu komandoku.’

Dunia Hwa-young seakan runtuh. Umpan. Umpan berhasil. Yi Seon tidak hanya mengawasinya. Dia tahu segalanya. Dia tahu tentang Garam, dia tahu tentang Sutra. Dia membiarkan Hwa-young mengambil semua risiko, hanya untuk menjadikan Sutra itu sebagai senjata pribadinya dalam negosiasi dengan Matriarch Kang. Dia tidak pernah menjadi sekutu. Dia hanya pemain lain yang lebih lihai.

"Dia ... dia mempermainkan kita, Ri," desis Hwa-young, kemarahan dingin menjalari dirinya. "Dia ingin mengendalikan Sutra kita."

Tepat pada saat itu, keheningan hutan pecah oleh serangkaian desingan panah yang mematikan, datang dari arah yang berlawanan. Kali ini, bukan panah peringatan.

Diikuti oleh teriakan marah Yi Seon yang bergema di antara pepohonan.

"Sialan! Sergapan! Jenderal Kim, bertahan!"

Hwa-young dan Mae-ri saling pandang, mata mereka terbelalak ngeri.

"Matriarch Kang!" seru Hwa-young. "Dia tidak hanya mengirim patroli! Dia mengirim pembunuh! Dia tahu Yi Seon ada di sini dan menjebaknya!"

Suara denting pedang dan teriakan kesakitan mulai terdengar, semakin dekat. Hwa-young mencengkeram pesan Yi Seon di tangannya. Di tengah hutan yang gelap ini, dua musuh bebuyutannya sedang saling membantai. Sebuah kesempatan emas yang tak terduga terhampar di hadapannya.

Dia bisa lari, membiarkan Yi Seon mati atau tertangkap, lalu membanjiri pasar dengan Sutra Chungmae sesuai rencana awalnya, mengambil alih kendali penuh.

Atau...

Pikiran lain yang lebih gelap dan lebih berbahaya mulai terbentuk di benaknya.

"Ri, kita tidak akan lari," kata Hwa-young,  tenang mengerikan. Matanya menatap ke arah pertempuran, sebuah senyum tipis yang dingin tersungging di bibirnya. "Kita akan menonton."

Di tangannya, pesan Yi Seon terasa seperti kunci. Kunci untuk menghancurkan tidak hanya satu, tapi dua musuhnya sekaligus. Pertanyaannya bukan lagi apakah ia harus membantu Yi Seon. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara terbaik untuk memastikan Pangeran Mahkota dan Matriarch Kang saling menghancurkan hingga tak bersisa malam ini?

1
Noveni Lawasti Munte
ahhhh dialognya kek sinetron ikan terbang🙄🙄🙄😄😄😄😄
Putri Haruya: muasek?
total 1 replies
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!