Mira tiba-tiba terjebak di dalam kamar hotel bersama dengan Angga—bosnya yang dingin, arogan, dan cuek. Tak disangka, setelah kejadian malam itu, hidup Mira benar-benar terbawa oleh arus drama rumah tangga yang berkepanjangan dan melelahkan.
Mira bahkan mengandung benih dari bosnya itu. Tapi, cinta tak pernah hadir di antara mereka. Namun, Mira tetap berusaha menjadi istri yang baik meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan. Hingga suatu waktu, Mira memilih untuk mundur dan menyudahi perjuangannya untuk mendapatkan hati Angga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BEKAS CUPANG DI LEHER MIRA
Sesampai di kantor, Mira langsung duduk di ruangannya dan fokus ke depan laptop. Dia mencoba menyibukkan diri agar bisa melupakan semua yang terjadi di rumah. Tapi nyatanya, ia masih sangat kesal.
"Kamu itu memuakkan! Sangat! Bahkan rasa muak itu terus bertambah setiap waktu!" Kata-kata Angga terus memenuhi kepala dan otaknya.
"Gua bersumpah, tidak akan menganggap pria sinting itu ada, gua sumpahin dia ngemis-ngemis cinta dan menyesal telah mengatakan hal itu!" Mira mendengkus.
"Sabar Mira, sabar ..., ini hanya tiga bulan, kok," bisiknya.
Wanita itu pun kembali menatap layar laptop dan mendata rekapitulasi keuangan perusahaan dalam sebulan terakhir.
"Loe gila, ya? Gua wa dari kemarin, kagak ada balesan! Eh, hp nya tiba-tiba metong sehari semalem! Loe baik-baik saja, kan, Mir?" Nana, sahabat Mira tiba-tiba sudah muncul di hadapan Mira dengan wajah kesal.
"Loe kagak diculik, kan?" sungutnya.
"Gua lagi banyak kerjaan, Na. Nanti kita curcol di cafe kantin sajal lah." Mira menarik nafas panjang.
"Loe sakit? Kok agak pucet?" Nana menyentuh kening Mira.
"Gak demam, sih," tandasnya.
"Gua gak sakit, kok. Hanya kelelahan." Mira pun memijit lehernya dan tiba-tiba secara tak sengaja ia menyibak rambutnya.
"Huwaaahhh ..! Ada cupang di leher loe, Mir!" pekik Nana.
"Ya biarin, lah. Mau ditutupin juga gak bisa, ini banyak banget. Anggaplah gua lagi alergi udara atau alergi makanan." Istri Angga itu pun terlihat malas membahas bekas cupang di lehernya.
"Loe kagak habis ngeuwe dengan si boss, kan?" Nana membelalak.
"Kalau iya memangnya kenapa? Gua udah lelah mengikuti drama gila ini." Mira berdiri dari duduknya dan segera menutup pintu ruangan accounting tempatnya menghabiskan waktu di depan layar laptop itu.
"Haaaahh? Jadi loe udah dibobol? Eh maksud gua ... loe dan Pak Angga udah hoho hihek terus kalian beranu-anu sampai dia nyumbang benih ke dalam rahim loe?" Mulut Nana meracau dengan wajah terheran.
"Heemmbbb." Mira mengangguk dengan hembusan nafas kesal.
"Loe diperkosa atau melakukan atas dasar suka sama suka?" Nana mendekatkan wajahnya ke hadapan sahabatnya.
"Diperkosa sih ... tapi gak kasar. Entahlah itu apa namanya. Dah lah gua malas membahas itu. Nanti kita ngopi lah, kasih tahu si Rika, yak. Dia juga khawatir amat kayaknya, dia kirim pesan puluhan chating, udah mirip depkolektor pinjaman online saja. Huuuh!" Mira kembali mendudukkan bokongnya di depan laptop, dan mendengkus.
"Oke, oke, gua paham. Loe jangan lesu gitu, dong. Ayo semangat! Nanti di jam istirahat, kita makan nasi padang di luar kantor saja, gua yang traktir. Okeeh?" Nana tertawa kuda, lalu meninggalkan ruangan kerja sahabatnya.
"Heemmmbbbb." Mira pun mengangguk lesu.
****
Jam istirahat.
Mira berjalan gontai keluar dari ruangannya. Dia akan menaiki lift untuk turun ke bawah. Rasanya dia masih tak begitu sehat, bahkan selangkangannya masih agak linu jika berjalan cepat.
"Hai, Mir!" sapa para rekan kantor di bagian marketing.
"Hai, Nyonya Angga, Nyonya CEO yang gak dianggap suaminya. Kasihan sekali, wekekeke." Tiba-tiba si Rosa, si tukang julid itu memekik, memanggil Mira dengan nada mencibir.
Mira berhenti, lalu menoleh dan tersenyum masam.
"Hai wanita kagak laku ... iri yah loe sama gua?" cibirnya.
"Gua? Kagak laku? Hah? Loe kurang update berita? Hahahah." Rosa pun tergelak lalu mengibaskan rambutnya di depan Mira.
"Dari pada loe, Mir ...! Istri serep, bak serep kali, yak?" bisiknya di depan Mira.
"Oh, ya? Ban serep?" Mira mencebik sambil mengambil ikat rambut dan mengikat rambutnya yang tergerai lurus nan indah itu.
Sontak Rosa terbelalak saat melihat di leher Mira ada bekas cupang yang masih memerah.
"Sumpah, loe? Loe diewe sama siapa? Wah, kagak bener nih anak. Kalau Pak Angga tau, lho bisa diracun pakai sianida dan dibuang ke Laut Jawa sana!" rutuknya dengan terheran.
"Ah, masak sih? Tapi ... dia sudah tahu, kok." Mira mencebik, lalu melepas ikat rambutnya dan berjalan menjauh dari si tukang julid yang sedang mematung di depan ruangannya.
"Jangan-jangan ... jangan-jangan mereka sudah saling cinta? Wah gak beres nih! Gua akan lapor ke Carla segera!" Si Ratu Julid pun mendengkus sebal, dia terus menatap Mira dengan sinis, bahkan sampai Mira menghilang dari pandangannya, dia masih memicing.
Mira pun lanjut berjalan ke ujung ruangan, kini dia sudah berdiri di depan lift. Tak lama kemudian, lift itu terbuka, dan ternyata ada Angga di dalam.
Mira melihat sekilas, lalu membuang muka dan memutar haluan, dia akan berjalan lewat tangga saja ke lantai bawah. Dia muak melihat wajah pria dingin itu.
"Kenapa gak jadi masuk!?" kata Angga dengan wajah kaku.
"Gak apa-apa. Saya lewat tangga saja, Pak," sahut Mira sambil membuang muka.
"Kau jangan gila, Mir! Ini di kantor! Dilihat banyak orang. Paham?!" Angga menatap Mira dengan tatapan nyalang.
Tapi Mira masih keukeuh menghindar dari Angga, dia menjauh dari lift itu namun Angga segea menarik tangannya.
"Saya bilang masuk! Ini perintah CEO di perusahaan ini!" tegasnya.
Mira pun mendengkus, dilepasnya tangan Angga dengan kasar, lalu ia pun melangkah masuk ke dalam lift.
"Kamu harus bisa membedakan mana tugas kerjaan dan mana yang bukan." Pria itu mendengkus.
Mira tak menyahuti. Dia membuang muka dan membelakangi suaminya tanpa berucap kata. Angga melihat wajah istrinya sedikit pucat dan terlihat lelah. Dia pun memindai Mira dari ujung atas hingga ujung bawah dengan tatapan datar, hingga ia mengamati warna merah di leher Mira. Terhalangi oleh rambut, tali cukup terlihat jelas jika diamati dari dekat.
"Kenapa kamu tidak menutupi lehermu!?" tanya Angga lagi.
"Apa masalahnya?" Mira tersenyum masam, masih dengan posisi membelakangi.
"Masalahnya ... ini di kantor!" Angga pun mendengkus
"Itu masalah Anda, Pak, bukan masalah saya!" Mira kambeli mengangkat sebelah bibirnya.
"Apa tanggapan orang-orang nanti? Tutuplah lehermu itu dengan syal atau pakailah baju yang menutupi area itu Kau jangan mengundang perhatian orang-orang ...! Kalau kau tak menutupnya ... bisa-bisa ...." Ucapan Angga terhenti, tapi ada rasa khawatir yang mendalam di wajahnya.
"Bisa-bisa apa, Pak? Bisa-bisa Carla tahu. Begitu kan, Pak?" Mira melirik suaminya sesaat, lalu tertawa kuda.
"Maksud kamu apa, Mir? Kamu jangan bawa-bawa Carla! Jaga batasanmu!" Pria berdasi itu pun mulai meradang.
"Berhentilah berbicara dengan saya, Pak. Bukankah Anda bilang saya ini memuakkan? Wow! Memuakkan tapi Anda menjamah tubuh saya? Hehehe. Tenanglah, Pak. Carla akan tetap mencintai Anda meskipun dia tahu kita sudah beradu peluh malam itu." Dengan keberanian ekstra, Mira berbicara dengan santai di depan wajah suami sekaligus bossnya.
"Kamu jangan bermain-main dengan saya, ya Mir!" teriak Angga, namun tiba-tiba lift pun berhenti, Mereka sudah sampai di lantai 1.
Mira segera pergi dan Angga pun mengekor di belakang istrinya.
"Saya bilang ... tutup leher kamu atau kamu saya pecat!" ucap pria itu dengan tegas dan penuh penekanan.
Mira pun hanya tersenyum masam, dia terus berjalan menghampiri Rika dan Nana yang sudah menunggunya di dalam mobil, mereka ingin makan siang di luar kantor, di warung nasi padang.
Angga terlihat sangat geram sekali, dia mendengkus hingga sorot matanya begitu menyala,dan penuh akan kebencian.
"Awas kamu di rumah nanti, Mir!" dengusnya seraya mengepalkan tangan.