Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Berani Yang Diambil Amira
BRAK!
Tongkat kayu menghantam keras meja kaca. Kacanya pecah berhamburan, serpihannya jatuh berserak ke lantai marmer hingga membudalkan tiga orang yang sedang bercengkrama: Ardi, ibu mertua, dan Shinta kakaknya Ardi.
Mereka bertiga terkaget-kaget, saling berpandangan beberapa detik sebelum suara meledak hampir bersamaan.
"Amira! apa-apa sih kamu?! " Suara Ardi menjadi yang pertama menggelegar, wajahnya merah padam. "Kamu sudah gila ya, pakai hancurin meja segala!"
Belum sempat Amira menjawab, sang ibu mertua ikut menyambar. "Dasar mantu miskin nggak tahu diri! Ini meja mahal, kamu nggak bakal mampu gantinya."
Sinta menambahkan, "Kamu kerasukan setan, ya Amira?! Astaghfirullah! Jangan-jangan beneran kesurupan nih!"
Tampang Amira yang serius dan tidak ada gentarnya sama sekali secara tidak langsung membuat ketiganya merinding. Wajahnya dingin, matanya menyala seperti api yang sudah lama terpendam. Amira tidak mengangkat suara, juga tidak menangis seperti biasanya. Hanya berdiri tegak dengan tangan masih menggenggam tongkat kayu, seakan-akan siap mengayunkannya lagi jika perlu. Menggetok kepala nereka satu per satu.
Untuk pertama kalinya, mereka melihat sosok Amira yang tidak bisa ditekan. Bukan Amira yang lembek, yang selalu mengalah, yang bisa mereka hina tanpa perlawanan. Amira yang sekarang terlihat menyeramkan.
"Kamu yang apa-apaan, Mas. Buat anak sendiri gak ada, tapi buat bangun rumah orang lain ada."
Suara itu datar, namun justru karena datar itulah, kata-katanya membekas lebih tajam dari teriakan. Sejenak ruang tamu itu kembali hening, sebelum Sinta memotong dengan nada tidak terima.
"Aku bukan orang lain, ya. Aku kakaknya!" sergah Sinta cepat, menepuk dadanya sendiri. "Kakak kandung!"
Namun Amira tetap diam. Telinganya hanya menerima suara satu orang, yaitu Ardi. Bagi Amira, Sinta bisa saja berteriak sekeras mungkin, tapi suaranya tak akan sampai ke ruang amarah yang sedang dibangun Amira di dalam dirinya sekarang.
Ardi mencelos.
"Kak Sinta itu cuma pinjam, nanti juga dibalikin."
"Pinjam? Kamu bahkan belum lunasin biaya kontrol kandungan terakhir. Aku harus pinjam dari Mbak Lestari, tetangga sebelah. Yang kemarin aku bawa Galen ke rumah sakit juga uang boleh pinjam. Udah dibayar belum? Pasti belum kan?! Tapi kamu bisa kasih puluhan juta buat bikin rumah orang lain."
Ia melangkah maju satu langkah. Tongkat kayu masih dalam genggamannya. Ardi mundur sedikit. Baru saja Ardi hendak menjawab, suara nyaring ibunya menyambar lebih dulu.
"Perempuan kayak kamu tuh harusnya tahu diri, Amira. Gak punya apa-apa, numpang hidup di rumah orang, masih juga berani ngajarin suami! Kamu bisa tidur di tempat yang layak, pakai pakaian bagus, dan makan enak harusnya bersyukur."
"Sudah cukup, Bu!" Ardi menginterupsi. Matanya beralih ke Amira. "Amira, ini cuma soal uang aku yang dipinjam, tolong jangan dibesar-besarkan."
Sakit? Iya. Memang Amira tidak punya apa-apa di dunia ini, bahkan kedua orang tua pun sudah tidak punya. Sudah terlalu sering dia mendengar kata-kata tidak adil baginya seperti yang terlontar barusan.
Kak Amira…Hidupmu terlalu berharga untuk kamu habiskan bersama orang yang salah. Kalau kamu terus bertahan, kamu sebenernya sedang menyiksa dirimu sendiri.
Dan masih banyak lagi yang terngiang dikepala, nasihat dari beberapa orang yang mengerti. Tapi kalimat dari salah satu temannya itulah yang menjadi pemicu untuk Amira mengambil keputusan besar.
Amira memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Saat ia membuka mata lagi, tak ada gentar dan keraguan. Ia sudah mantap.
"Aku memang gak punya apa-apa, tapi mulai malam ini, aku juga gak punya kalian."
Tangan kirinya mencabut cincin kawin dari jari manis, lalu dia lempar sekuat-kuatnya ke lantai.
"Kalian sudah terlalu lama memperlakukan aku bagaikan sampah. Tapi sekarang, cukup. Aku keluar dari neraka ini. Mas Ardi, aku mau cerai."
Sinta refleks berseru seolah mendengar kabar bahagia.
"Nah, itu baru pinter! Ceraiin aja, Di! Gak usah ditahan-tahan perempuan pembangkang kayak gini!"
Ibu mertua ikut bersorak, senyumnya penuh kemenangan. "Bagus! Udah dari dulu harusnya. Perempuan kayak gini cuma bikin sial!"
Namun Ardi… diam. Raut wajahnya berubah skeptis. Ia menatap Amira seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kamu yakin, Amira? Mau hidup di mana kamu? Makan dari mana? Kamu pikir dunia di luar sini bakal lebih baik buat kamu?"
Amira menatapnya balik tanpa berkedip.
"Aku gak tahu akan hidup di mana. Tapi aku lebih takut hidup di sini, bersama kamu."
Sinta memutar bola mata sambil mencibir.
"Udahlah, Di. Kasih aja tuh surat cerai. Biar dia ngerasain gimana rasanya hidup miskin lagi tanpa suami."
Ibunya menimpali dengan semangat yang sama. "Ceraikan aja! Tapi jangan kasih dia sepeser pun. Semua yang dia pake selama ini dari uang kamu. Gak ada yang dia bawa keluar!"
Ardi menghela napas, "Amira, kamu jangan main-main sama kata cerai. Memangnya kamu sanggup berpisah denganku? Apa kamu sudah tidak ada rasa cinta lagi?"
"Rasa cintaku padamu sudah mati, Mas. Barengan sama perginya anak kita. Tolong ceraikan aku."
Shinta dan ibunya semakin menjadi-jadi memanasi Ardi untuk segera menceraikan Amira. Toh Ardi sesungguhnya telah memiliki kedekatan dengan wanita lain, yang menurut mereka status sosialnya lebih tinggi. Kehilangan Amira tidak akan berpengaruh apapun di rumah itu. Ardi pun yang perasaan telah terbagi ke wanita lain mulai kepikiran melepaskan Amira, mumpung wanita itu sendiri yang meminta.
"Baik. Aku ceraikan kamu Amira. Kamu aku talak tiga. Tapi kamu keluar dari rumah ini tanpa bawa apa pun ya. Hanya baju dan sandal saja yang aku perbolehkan. Uang dan perhiasan tolong jangan dibawa."
"Gak apa-apa, Mas. Aku gak bawa harta, tapi aku bawa kewarasan. Namun rasanya Mas sudah keliru. Aku sama sekali tidak ada simpan perhiasan kecuali cincin nikah yang aku lempar tadi. Uang pun kamu tahu sendiri, aku malah banyak berhutang ke tetangga gara-gara kamu nggak kasih."
Ardi mengeryitkan dahi. Sementara sang ibu langsung gerak cepat mengalihkan hingga suasana kembali kondusif ke arah mantap perceraian tanpa ada banyak perdebatan lagi.
...****...
Lega. Itu yang Amira rasakan saat akhirnya terlepas dari rumah yang penuh dengan orang-orang tak waras. Baru kali ini ia menyadari betapa nikmatnya ketika beban di dada diangkat dan terhempas, hanya karena satu keputusan berani yang akhirnya ia ambil.
Dulu, ia terlalu takut. Hidup sendirian di luar rumah di dunia yang keras ini terasa seperti mimpi buruk. Itu sebab mengapa ia bertahan dalam pernikahan dengan Ardi, meski hatinya telah lama hancur.
Sekarang Amira lebih berani. Hidup ya dijalani. Mati, ya berarti waktunya sudah tiba. Rejeki pun dia meyakini sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Namun kondisinya sekarang bagai intro lagu Ayu Ting-Ting yang berjudul Alamat Palsu. Kemana.. kemana... kemana...?
Ia benar-benar tak tahu harus pergi ke mana. Tak ada tempat berteduh, tak ada bahu untuk bersandar. Sampai akhirnya, matanya menangkap sebuah Mushola. Tanpa pikir panjang Amira berlari ke sana dan bersimpuh dalam diam.
Dan disanalah, keesokan harinya...
.
.
Bersambung.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus
#apasih