bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rian baskara
Langkah Miranda gemetar saat ia melewati tiang-tiang marmer yang menjulang. Lantai marmer berkilap seperti cermin, taman di sisi luar tampak indah namun sesekali terdengar auman harimau. Sepertinya pemilik rumah menyukai hewan buas.
Kemewahan itu tidak membuat Miranda tenang. Justru membuat perutnya semakin mual karena gugup.
Miranda memasuki mansion itu. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit. Interiornya serba mewah, bahkan berkali-kali lipat lebih megah daripada rumah ayahnya.
“Silakan, Nyonya.” Reza menunjuk sebuah pintu megah dan membukanya. Ia menunduk sopan, mempersilakan Miranda masuk.
“Sudah datang dia,” terdengar suara bariton dari seseorang yang duduk membelakangi Miranda.
“Sudah, Tuan,” jawab Reza.
Kursi itu kemudian berputar perlahan.
Miranda terperanjat. Lelaki yang kini menghadapnya memiliki rahang tegas, kulit putih bersih, hidung mancung, dan mata tajam yang terlihat dingin namun memikat. Rambutnya hitam rapi, wajahnya begitu tampan hingga Miranda refleks menahan napas.
Ia tidak menduga pembelinya... setampan itu.
“Kenapa dia tampan sekali,” batin Miranda, sulit berkedip.
“Apa Anda Lee Min Ho?” tanya Miranda ragu, spontan memakai bahasa Korea.
Lelaki itu tidak menjawab. Entah tidak mengerti bahasa Miranda atau memang sengaja mengabaikan.
“Kamu sudah kubeli. Hidupmu sekarang dalam kendaliku. Apa pun yang kukatakan, kamu harus mengikuti.” Suaranya datar, dingin, tidak punya kelembutan sedikit pun. Kekaguman Miranda runtuh seketika.
“Ya, Tuan,” balas Miranda lirih.
“Kamu akan menikah denganku. Tentu saja pernikahan palsu,” lanjut lelaki itu dengan nada yang tetap dingin. “Kamu bukan seleraku.”
Ucapan itu menusuk. Miranda menunduk. Aku memang jelek, tapi tidak harus sejelas itu, pikirnya getir.
“Ya, Tuan,” ucap Miranda lagi.
Lelaki itu melempar setumpuk berkas ke meja di depan Miranda. “Baca baik-baik. Kalau ada yang ingin kamu ubah atau tambah, katakan.”
Dengan tangan gemetar, Miranda meraih berkas itu. Ia menarik napas, mencoba fokus.
“Oh... namanya Rian Baskara,” gumam Miranda. Nama itu terasa tidak asing.
Ia melanjutkan membaca isi kontrak.
1. Durasi pernikahan enam bulan.
2. Pernikahan selesai setelah Ibu Kirana menjalani operasi jantung dan kondisinya stabil.
3. Pihak pertama wajib memberi nafkah yang layak.
4. Pihak kedua dilarang memiliki hubungan dengan pria lain selama masa kontrak.
5. Tidak ada sentuhan fisik maupun hubungan suami istri selama pernikahan.
6. Pihak pertama akan memberikan kompensasi sebesar seratus miliar rupiah setelah kontrak berakhir.
“Bagaimana kalau tidak ada masalah, langsung tanda tangan saja,” ucap Rian datar.
“Poin lima dan enam saya tidak setuju,” jawab Miranda pelan namun jelas.
Rian mengernyit. “Kenapa?”
Apa dia ingin kusentuh? Sepertinya dia tidak sepolos seperti informasi yang kubaca, pikir Rian dalam hati.
“Poin lima akan membuat dosa saya semakin banyak, Tuan,” ucap Miranda lirih.
“Kenapa?” Rian menatapnya lebih tajam.
“Menurut guru ngaji saya, kalau istri menolak disentuh suaminya, itu dosa besar. Dosa saya sudah banyak, saya tidak mau menambah dosa lagi,” ucap Miranda jujur meski suaranya bergetar.
Rian menoleh pada Reza. “Benar yang dia bilang?”
Reza langsung keluar untuk menelpon seseorang. Keheningan menyelimuti ruangan. Miranda sesekali mencuri pandang wajah tampan lelaki itu.
Kalau Lena tahu pria setampan ini yang menginginkan istri kontrak, dia pasti menyesal. Bisa-bisa nangis tantrum, pikir Miranda.
“Tu… Tuan,” panggil Reza sambil masuk kembali. “Kata Ustaz Somad betul. Suami istri yang bersentuhan itu pahalanya besar. Istri yang menolak tanpa alasan juga bisa dapat dosa besar.”
Rian menghela napas, lalu menatap Miranda. “Tenang saja. Aku tidak akan menyentuhmu. Kamu tidak perlu repot-repot menolak saya.”
“Hari esok tidak ada yang tahu. Hari ini Anda bilang tidak akan menyentuh, besok belum tentu,” ucap Miranda. Entah dari mana keberanian itu muncul. Mungkin dari hati yang terluka dan jiwa yang sudah terlalu lelah.
“Baiklah. Aku coret.” Rian mengambil pena dan mencoret poin lima dari kontrak.
“Sekarang untuk poin enam. Kenapa kamu menolaknya? Apa seratus miliar kurang?” tanya Rian sambil memandang Miranda tajam.
“Banyak sekali, Tuan. Terlalu banyak untuk saya. Tidak baik anak remaja punya uang sebanyak itu,” ucap Miranda polos.
“Lalu apa yang kamu inginkan?” Rian menaikkan alis.
“Bisakah diganti dengan biaya kuliah saya di Universitas Tunas Bangsa, jurusan Ekonomi Bisnis, sampai lulus, Tuan?” Miranda mencoba mencari peluang memajukan cita-citanya. Baginya enam bulan bukan apa-apa dibanding masa depan yang bisa ia rebut kembali.
“Universitas Tunas Bangsa itu di mana?” Rian melirik Reza.
Reza sigap mengambil tablet. “Universitas kelas menengah ke bawah, Tuan. Akreditasinya B. Total biaya sampai lulus kurang dari seratus juta.”
Rian menatap Miranda lama. Anak ini benar-benar bodoh ..sesuai Nilai ijazahnya rendah dan dia bahkan tidak bisa membedakan antara seratus miliar dan seratus juta. Semakin bodoh semakin mudah kukendalikan, pikir Rian.
“Bagaimana, Tuan? Ada kok biaya yang lebih murah dari itu,” ucap Miranda memecah lamunan Rian, suaranya lirih tetapi penuh harap.
“Baiklah kalau begitu. Coret dan tulis ulang poin enam sesuai keinginanmu,” ucap Rian tenang.
Miranda segera berjongkok di depan meja. Tangannya bergetar saat mencoret poin enam lalu menulis ulang sesuai permintaan: biaya kuliah sampai lulus.
Hanya enam bulan, Miranda. Setelah itu kamu bisa kuliah sambil bekerja. Ini kesempatan baru, batinnya berusaha menguatkan diri. Syukurlah aku jelek. Katanya dia tidak akan menyentuhku. Ya Tuhan, terima kasih...
Setelah selesai menulis, Miranda menyerahkan berkas itu dengan hati-hati.
Rian mengambilnya dan langsung menandatangani tanpa banyak bicara. Setelah itu Miranda menandatangani bagiannya, diikuti Reza yang bertindak sebagai saksi.
“Reza, dalam dua hari ubah penampilan wanita ini. Jangan terlalu memalukan seperti ini,” ucap Rian dengan nada sinis.
Miranda menunduk. Untung saja delapan tahun terakhir penuh hinaan dari keluarganya membuat mentalnya tebal. Kalimat Rian tetap menusuk, tetapi ia berhasil menahannya agar tidak tampak tersinggung.
Mila dan Mili menghampiri Miranda setelah tanda tangan kontrak selesai. “Ayo, Nyonya. Kami antar ke kamar,” ucap Mili lembut.
Miranda mengikuti keduanya melewati lorong luas yang dipenuhi lukisan mahal. Jantungnya berdebar tidak karuan. Setiap langkah terasa seperti memasuki dunia lain yang asing dan menakutkan.
“Ini kamarnya,” kata Mila sambil membuka sebuah pintu besar berukir.
Miranda terpaku. Ruangan itu luar biasa mewah. Tempat tidurnya besar dengan kelambu tipis, lampu kristal menggantung di langit-langit, karpet tebal membentang memenuhi lantai. Di sudut ruangan ada lemari raksasa, meja rias, dan sofa empuk yang tampak lebih mahal daripada seluruh isi rumah ayahnya.
Namun hal yang paling membuatnya terkejut adalah empat maid yang berdiri berjajar sambil membungkuk hormat.
“Selamat datang, Nyonya,” ucap salah satu dari mereka dengan sopan.
“Para maid ini akan melayani Nyonya kapan pun diperlukan,” jelas Mili sambil menutup pintu perlahan.
Miranda menelan ludah. “Untuk saya semua?” tanyanya lirih.
“Iya, Nyonya. Tuan Rian memerintahkan mereka untuk siaga setiap waktu,” jawab Mila sambil tersenyum kecil.
Miranda menatap sekeliling dengan bingung. Astaga... kamar sebesar ini saja sudah seperti rumah baru. Dan ada maid khusus? Aku harus bagaimana?
Salah satu maid mendekat. “Apakah Nyonya ingin mandi, minum, atau beristirahat dulu? Perintah saja, kami akan menyiapkan.”
Miranda masih berdiri kaku. “Boleh... saya duduk dulu,” ucapnya pelan.
“Silakan, Nyonya,” jawab mereka serempak.
Miranda melangkah ke sofa dan duduk perlahan. Perasaannya campur aduk. Kagum, takut, bingung, dan merasa kecil di tengah kemewahan yang tidak pernah ia bayangkan.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya