#Yang mau promosi di lapak saya silahkan#
Seri kedua dari novel.
"Istri simpanan Presdir"
Anggia Seorang Dokter cantik terpaksa menikah dengan anak majikan Ibunya karena balas budi.
"Beri aku satu kesempatan Mas. Aku ingin menikah hanya satu kali dalam hidup ku. Dan aku tidak ingin mempermainkan pernikahan"
Anggia Tiffani~
"Tapi kau bukan selera ku. Aku tidak sudi beristri anak pembantu. Dan pernikahan ini hanya karena kau balas budi pada Ayah ku. Itu saja dan kau tidak perlu mencampuri urusan ku"
Brian Wiratwan~
Tidak ada cinta di atara keduanya. Anggia yang terpaksa menikah dengan Brian hanya karena balas budi dan sekaligus syarat untuk Pasha mau membiayai pengobatan Ayahnya.
Dan hal yang paling membuat Anggia menderita adalah. Dirinya setiap hari menyaksikan suaminya bercumbu mesra dengan wanita yang ia bawa ke tempat tinggal mereka.
Sakit bukan?.
Anggia seorang istri tapi masih suci!.
Namun karena suatu insiden yang membuat nya tidak bisa menolak hasrat yang di tawarkan kenikmatan dunia sesaat. Sehingga membuatnya melupakan tabiatnya sebagai seorang wanita bersuami. Dan hubungan terlarang itu terjadi hingga ia mengandung anak dari pria lain. Di saat ia masih berstatus istri Brian Wiratwan.
Lalu apakah yang akan terjadi setelah Suaminya tau dengan kehamilan Anggia?
Sementara ia tidak pernah menyentuh istrinya selama hampir dua tahun menikah.
---
21+
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IPAK MUNTHE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25
"Ngi, kamu punya pembalut nggak," tanya Veli yang sedikit khawatir dengan tamu bulanannya, tanpa ada pembalut.
"Ngak Vel," jawab Anggia.
"Aku minta tolong beliin dong Ngi, aku nggak bisa keluar takutnya kelitan," ujar Veli menunjukan bokongnya.
"Oke, aku juga mau beli beberapa barang di minimarket," jawab Anggia.
"Okey, jangan lama ya Ngi aku deres banget ni."
"Ya."
Anggia melangkahkan kaki menuju kamar terlebih dahulu mengambil tas tangan kecil kesayangannya, tidak lupa ponsel juga, setelah ia rasa semua sudah beres ia mulai melangkah keluar, Anggia mulai memegang gagang pintu.
CLEEKK!
Dengan hati-hati Anggia membuka pintu, namun saat pintu masih setengah terbuka. Anggia melihat ada seorang pria berdiri di depan pintu apartemen yang ia tinggali. Seorang pria bertubuh tinggi, alis tebal, rahang tegas, walaupun pria itu memakai kemeja dan jas tetap saja lengan kekar dan berototnya masih jelas terlihat.
Anggia diam memandang pria itu, dengan seribu tanya di otak tentunya. Sejenak mata Anggia dan mata tajam pria itu bertemu, pria itu adalah seseorang yang beruntung telah mendapatkan hal yang paling berharga dalam diri Anggia. Dengan cepat Anggia kembali menutup pintu, namun Anggia kalah cepat Bilmar menahan dengan kaki, hingga Bilmar masuk dan menutup pintu.
Pandangan Bilmar tidak pernah putus memandang Anggia, Anggia mencoba berlari namun dengan cepat Bilmar menarik tangan Anggia, hingga Anggia dengan terpaksa harus menghentikan langkahnya.
"Ada apa tuan kemari," Anggia mulai bertanya agar Bilmar cepat mengatakan keinginannya, Anggia merasa malu bila harus bertatap muka dengan Bilmar, bayangan malam itu muncul dan ia merasa manusia yang paling tidak memiliki harga diri.
"Tidak bisakah kita bicara sebentar?" Bilmar mulai bertanya dengan suara berat dan tertahan.
"Iya ayo duduk," Anggia menunjuk sofa untuk Bilmar duduk.
"Tidak di sini," Bilmar menarik tangan Anggia, ia tidak mau bertanya terlebih dahulu pada Anggia. Karena ia tau jawaban Anggia pasti tidak. Anggia diam saja saat Bilmar membawanya entah kemana yang jelas ia ingin ini pertemuan terakhir antara dirinya dan Bilmar. Hingga lima belas menit kemudian keduanya sampai di pantai.
Hari terlihat semakin gelap senja sebentar lagi tiba. Pantai terlihat mulai sepi, keduanya duduk di salah satu kursi yang terletak di bibir pantai. Anggia duduk saling bersebelahan dengan Bilmar mamandang ombak di laut biru. Lama keduanya terdiam hingga senja pun tiba menghampiri, terlihat mentari mulai menghilang dari pandangan. Dan langit mulai kekuningan hanya ada angin dan desiran ombak yang menjadi saksi bisu di antara keduanya.
"Maaf!" hanya kata itu yang mampu di ucapkan Bilmar, walau pun maaf tidak akan bisa kembali membuat keadaan membaik. Namun ia tak tau apa yang bisa ia lakukan selain dari berucap maaf.
Anggia mengerti dengan apa yang di maksud Bilmar. "Tuan tidak salah, saya juga salah," jawab Anggia dengan melihat kelain arah untuk menahan air mata yang mulai memenuhi mata indah wanita itu. Setelah perkataan itu lama keduanya dalam keheningan tanpa ada yang bersuara.
"Kenapa kamu menghilang," Bilmar memecahkan keheningan di antara keduanya, Bilmar hanya melirik sekilas Anggia yang memandang mentari yang sebentar lagi akan benar-benar menghilang.
Anggia melirik sekilas Bilmar, dan menarik napas begitu dalam seolah ia ingin melepas sebagian beban yang masih bersarang di hatinya.
"Saya malu tuan," ucap Anggia sambil menundukan pandangan terlihat kedua tangannya saling meremas satu sama lain, menahan rasa malu saat ia bertatapan dengan Bilmar.
"Malu?" tanya Bilmar mulai menatap Anggia dengan intens.
"Iya," jawab Anggia menganguk.
Bilmar diam sesaat, begitu pun dengan Anggia. Entah apa yang keduanya pikirkan, yang terlihat hanya kecanggungan di antara keduanya.
"Bisa kah kau untuk tidak menghindari ku?" Bilmar mulai bertanya hal yang selalu membebani pikirannya, sungguh ia tak mampu bila tak melihat Anggia walau hanya sehari saja.
Anggia juga menatap Bilmar dan lama pandangan mereka bertemu, hingga Anggia memutuskan pandangan itu terlebih dahulu.
"Rasanya tidak ada hal yang mengharuskan kita bertemu kembali lagi tuan," Anggia sudah bertekat untuk tidak lagi bertemu dengan Bilmar, ia ingin menghilangkan rasa malu yang ia rasakan bila terus bertemu Bilmar.
Bayangkan saja ia melakukan hal terlarang itu bersama orang lain, bahakan ia belum terlalu dalam mengenal orang itu. Dan yang paling anehnya mereka baru kenal dalam hitungan hari.
"Bisakah kita berteman saja?" Bilmar masih mencoba bernegosiasi dengan Anggia, dengan harapan Anggia merubah keputusannya. Paling tidak Bilmar masih bisa melihat Anggia walau pun hanya bisa menahan gejolak cinta yang ia rasakan.
"Tidak, dan Anggap saja kita tidak pernah saling kenal," keputusan Anggia sudah mantap dan ia tidak ingin lagi mengenal Bilmar.
DEEGGG!
Hati Bilmar bagai di hantam dengan benda keras, sakit memang sakit sekali yang Bilmar rasakan saat Anggia tak mau lagi mengenalnya.
"Tapi aku ingin menikahi mu, mempertanggung jawabkan apa yang sudah aku ambil dari mu," ujar Bilmar menatap manik mata Anggia yang terlihat begitu rapuh.
"Saya bukan janda tau pun masih melajang tuan, saya masih berstatus istri, walau pun rumah tangga saya di terpa kehancuran. Namun tetap saja status saya masih seorang istri. Dan saya mengucapkan banyak terimakasih karena tuan mau mengakui kesalahan ini, kesalahan yang bukan murni kesalahan tuan. Saya juga bersalah di sini, dan saya mohon anggap saja itu hanya kecelakaan tak pertu pertanggung jawaban," ujar Anggia sembari menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya, Anggia menghargai Bilmar namun hatinya masih belum siap walau pun setelah perceraiannya dengan Brian, ia masih belum berpikir untuk kembali membina mahligai rumah tangga, sebelum ia benar-benar yakin.
Bilmar bingung harus apa, ia tidak mengerti harus bagaimana wanita yang ia cintai sepertinya tidak mencintainya. Atau pun mungkin wanita itu tidak sedikit pun tertarik padanya, begitulah pikiran yang berkecamuk di hati Bilmar.
"Anggia aku mohon, kita bisa belajar saling menerima," Bilmar terus meyakinkan Anggia.
"Tidak tuan, untuk saat ini hati ku belum mampu untuk itu, bukan aku wanita naif yang tak membutuhkan cinta namun untuk saat ini aku ingin sendiri tanpa siapa-siapa di dekat ku. Aku butuh ketenangan."
"Aku mohon Anggia, aku ingin menjadi bagian dari hidup mu, tidak bisakah aku menghapus semua kepedihan mu?" Bilmar menggenggam kedua tangan Anggia dengan erat, berharap Anggia tidak menolaknya.
"Untuk saat ini aku tidak bisa tuan, hati ku belum siap," Anggia masih belum mampu membuka hatinya di tengah kemelut duka yang masih menyelimuti hari-harinya.
"Selamat tinggal tuan," Anggia bangun dari duduknya Bilmar juga ikut bangun, keduanya berdiri saling berhadapan.
"Aku antar."
"Terimakasih, tapi aku sendiri saja," Anggia berjalan membelakangi Bilmar yang masih memandanginya.
"Anggia biarkan aku tetap di dekat mu, untuk membuktikan aku pantas untuk memiliki mu," ucap Bilmar sebelum Anggia berjalan menjauh darinya. Anggia menghentikan langkah kakinya, ia berbalik dan tersenyum pada Bilmar keduanya berjarak beberapa meter.
"Kalau jodoh pasti bertemu," ujar Anggia hingga ia berbalik dan kembali melangkah meninggalkan Bilmar berdiri memandanginya dari kejauhan.