Selama tiga tahun ini, Hilda Mahira selalu merasa tertekan oleh ibu mertuanya dengan desakan harus segera memiliki anak. Jika tidak segera hamil, maka ia harus menerima begitu saja suaminya untuk menikah lagi dan memiliki keturunan.
Dimas sebagai suami Hilda tentunya juga keberatan dengan saran sang ibu karena ia begitu mencintai istrinya.
Namun seiring berjalannya waktu, Ia dipertemukan lagi dengan seorang wanita yang pernah menjadi kekasihnya dulu. Dan kini wanita itu menjadi sekretaris pribadinya.
Cinta Lama Bersemi Kembali. Begitu lebih tepatnya. Karena diam diam, Dimas mulai menjalin hubungan lagi dengan Novia mantan kekasihnya. Bahkan hubungan mereka sudah melampaui batas.
Disaat semua permasalahan terjadi, rahim Hilda justru mulai tumbuh sebuah kehidupan. Bersamaan dengan itu juga, Novia juga tengah mengandung anak Dimas.
Senang bercampur sedih. Apa yang akan terjadi di kehidupan Hilda selanjutnya?
Yuk ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melahirkan
"Bi.. Bibik.. " Teriak Reyhan
"Iya Tuan !"
"Tolong bantu Hilda bersihkan diri."
"Bersihkan diri? Memangnya kenapa Tuan dengan non Hilda?"
"Nggak tahu kenapa, dia mengompol."
"Mengompol?" lirih bibik Yang langsung melihat ke arah Hilda.
"Astaghfirullahaladzim. Ketuban non Hilda pecah!"
"Apa itu?" Reyhan bertanya dengan heran.
"Non Hilda mau melahirkan"
"Yang bener bik?."
"Iya Tuan. Ayo bawa ke rumah sakit"
"Baiklah, ayo"
Reyhan segera membopong tubuh Hilda. Meskipun agak terasa berat, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk membawa Hilda sampai ke mobilnya.
Tak berapa lama kemudian sampai pada ruang IGD. sementara Hilda sedang di tangani, Reyhan segera mengurus pendaftaran dan mengisi formulir. Beruntunglah Hilda sudah mempersiapkan semuanya jadi Reyhan tak terlalu repot mengurusnya.
"Pak, apakah anda sudah selesai mengurus pendaftarannya?."
"Sudah."
"Baiklah, kalau begitu, sekarang anda silahkan menemani istri anda untuk proses melahirkan."
"Menemani?"
"Iya. Silahkan masuk."
"Tapi saya bukan suaminya."
"Bapak ini jangan bercanda, Apa karena bapak takut, sampai sampai istri sendiri gak diakui."
"Bukan begitu, tapi.."
"Sudah, ayo cepat masuk!" seorang suster paruh baya itu mendorong Reyhan untuk segera masuk ke dalam ruang bersalin. Namun belum sempat Ia sampai ke dalam ternyata sang bibik Sudah datang dengan membawa kantong kresek berisi teh hangat.
"Bik, tolong aku bik."
"Ada apa Tuan?"
"Dia gak mau nemenin istrinya lahiran. Heran deh sama anak jaman sekarang. Maunya pas enak doang"
"Bik, ini teh hangat buat hilda kan? Nah, Mending cepetan masuk dan bibik aja deh yang nemenin Hilda lahiran." Reyhan mendorong Bibik untuk segera masuk.
"Oh iya bik, bilang sama suster itu kalau aku bukannya tidak mau menemani lahiran, tapi aku memang tidak pantas dan tidak berhak untuk menemani proses itu."
"Baik Tuan."
Reyhan hanya bisa mondar mandir di depan ruang persalinan. Sesekali ia mengangkat panggilan telfon dari kakaknya yang ingin tahu informasi tentang Hilda.
Satu jam kemudian terdengarlah suara tangis bayi yang begitu nyaring. Seketika itu juga Reyhan bersyukur dan senang akhirnya Hilda mampu melewati masa persalinannya.
Namun senyum senang itu tak berlangsung lama. Karena di beberapa menit berikutnya pintu ruang bersalin terbuka yang memperlihatkan para dokter dan perawat dengan wajah panik dan bergegas keluar mendorong brankar berisi pasien.
Deg
Jantung Reyhan seakan berhenti berdetak saat melihat wajah pucat pasi diatas tempat tidur yang didorong dan baru saja melewatinya. Ia bahkan hanya bisa diam mematung di tempatnya berdiri menatap wajah tersebut yang perlahan semakin menjauh.
Reyhan baru tersadar saat sang bibik menepuk lengannya.
"Tuan"
"Bibik. Apa yang terjadi?"
"Non Hilda Tuan.. Non Hilda.. hiks.. hiks.."
"Hilda kenapa? Kenapa dia malah dibawa keluar? Dan kenapa dokter dokter itu membawa Hilda pergi dari sini?"
"Non Hilda Tuan.. Dia kritis"
"Apa? Kritis? Bagaimana bisa? Bukankah tadi dia baik baik saja?"
"Sebenarnya air ketuban non Hilda sudah hampir keruh. Dokter juga menyarankan untuk operasi saja. Tapi non Hilda menolak."
"Kenapa menolak?."
"Maafkan saya tuan, saya sudah memaksa non Hilda untuk menerima saja operasi itu, Tapi non Hilda memaksa untuk melahirkan normal saja karena dia tidak mau kalau Tuan mengeluarkan banyak biaya untuk persalinannya."
"Kenapa kamu tidak bilang sama saya dari tadi!" Reyhan mulai emosi dan membentak bibik.
"Maafkan saya Tuan. Maafkan saya. Saya sudah memaksa non Hilda. Tapi non Hilda balik memaksa saya untuk tidak melapor pada anda."
"Aaaahhhhhhh!" Reyhan meluapkan emosinya dengan memukul tembok hingga tangannya terluka dan mengeluarkan darah di beberapa bagian kepalan tangannya.
Hilda... kenapa kamu harus memilih jalanmu sendiri? Bagaimana kalau terjadi sesuatu hal yang buruk padamu?
Bagaimana dengan anakmu? Siapa yang akan merawatnya?
Kenapa kamu tidak memikirkan hal itu?
kamu bodoh Hilda! Kamu benar benar bodoh!
Reyhan memaki Hilda meski hanya dalam batin saja. Setidaknya ia bisa melampiaskan emosi jiwanya pada wanita yang ia cinta karena terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.
Kini Reyhan menatap bayi yang sedang di gendong oleh salah satu perawat. Ia bahkan menerima dengan senang hati bayi itu kedalam dekapannya. Diciumnya bayi mungil berkulit merah itu dengan sangat hati hati.
Rasa sesak seketika memenuhi dada. Lagi lagi Reyhan menangis menatap wajah mungil tak berdosa yang menjadi korban keegoisan orang tuanya.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar" lantunan adzan mulai Reyhan kumandangkan perlahan ke telinga sang bayi. Air matanya semakin berlinang deras kala membayangkan sesuatu yang buruk menimpa Hilda.
Bagaimana kalau sampai Hilda tidak kuat melewati masa kritisnya? Akankah Hilda akan pergi selamanya? Akankah Hilda meninggalkan seorang anak yang akan di sebut sebagai anak yatim?
Pikiran Reyhan benar benar kacau. Namun ia berusaha menyelesaikan adzannya untuk bayi mungil itu.
Dan setelah selesai, perawat mengambil alih bayi itu dan membawanya ke ruang bayi untuk di letakkan di dalam box bayi agar bisa beristirahat dengan tenang di tempat yang steril.
Sedangkan Reyhan, Ia berlari menuju ke ruang ICU dimana Hilda kini di pindahkan. Setelah selesai penanganan, Reyhan dengan pakaian khusus masuk ke dalam ruang ICU tersebut.
Satu kali tarikan nafas yang begitu panjang, Reyhan mulai mendekati ranjang. Tak bisa di pungkiri, kesedihan pasti sangatlah menyelimuti. Hingga tanpa terasa air matanya menetes begitu saja.
Masih dalam diam, diraihnya tangan pucat itu. Di genggam jemari lentik dengan halus. Diciumnya jemari tersebut penuh kasih sayang.
"Hilda... bangunlah, buka matamu. Lihatlah betapa indah dunia. Betapa indah alam ini. Dan betapa indah bayi yang baru saja kau lahirkan."
"Hilda, berjuanglah.. Bukan untuk apapun dan siapapun. Tapi berjuanglah untuk anakmu."
Sementara itu, disebuah tempat yang berbeda, Sebuah tempat indah bernuansa putih bersih dan cerah, Ada seorang wanita berbaju putih tengah bermain ayunan. Dia sangat bahagia. Senyumnya terus mengembang seolah menunjukkan bahwa tak ada beban dalam hidupnya.
Namun beberapa saat kemudian, saat ia hendak pergi dan terbang keatas, langkahnya terhenti oleh sebuah suara yang memanggilnya.
Wanita itu menoleh. Dan saat menoleh, ia melihat ada dua orang dibelakangnya sedang menangis. Wanita itu tiba tiba terdiam dan menatap iba pada dua orang tersebut.
"Maaf, aku harus pergi.."
"Tidak bisakah kamu tinggal disini saja bersama kami?"
.
.
.
semangat lanjuuttt 💪😘😍😍