NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan

Ruang kelas hari itu dipenuhi suasana hening yang tidak biasa. Tak ada yang bersuara, bahkan suara derik kursi atau langkah kaki pun seakan enggan muncul. Nala duduk di bangku paling belakang bersama Raka, mencoba menebak-nebak apa yang akan terjadi hari itu. Mereka sudah mendengar kabar bahwa akan ada guru pengganti masuk ke kelas mereka sementara Pak Dirga, guru sosiologi mereka yang dikenal bijaksana, mengambil cuti karena urusan keluarga.

"Kamu pikir siapa yang bakal gantiin Pak Dirga?" bisik Raka dengan nada pelan.

Nala mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi semoga bukan Bu Ratna."

Sebelum Raka sempat menanggapi, pintu kelas terbuka dan seorang perempuan paruh baya dengan kacamata besar masuk. Semuanya sontak berdiri dan memberi salam. Perempuan itu adalah Bu Erna, guru sejarah yang selama ini dikenal ramah, hangat, dan dekat dengan siswa. Banyak yang menjuluki Bu Erna sebagai guru favorit karena gaya mengajarnya yang menyenangkan dan terbuka dengan opini siswa.

"Silakan duduk, anak-anak," ucap Bu Erna dengan senyuman yang tetap sama seperti biasa.

Namun, suasana segera berubah ketika Bu Erna mulai membuka kelas bukan dengan pelajaran, melainkan dengan sebuah nasihat yang terdengar seperti teguran.

"Saya sudah mendengar cukup banyak tentang apa yang kalian lakukan belakangan ini. Tentang podcast, tentang aksi kalian, dan tentang bagaimana kalian berusaha menyuarakan keresahan kalian."

Beberapa siswa mulai menunduk. Nala menggigit bibirnya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Saya ingin mengingatkan bahwa sekolah ini bukan tempat untuk politik. Kita di sini untuk belajar. Kalian tidak seharusnya menodai institusi pendidikan dengan gerakan yang justru bisa mencoreng nama baik sekolah."

Raka mengerutkan kening. "Tapi Bu, kami hanya ingin menyampaikan keresahan. Bukan untuk menjatuhkan siapa pun."

Bu Erna menghela napas. "Saya tahu, Raka. Tapi caranya salah. Kalian menyebarkan keresahan itu ke publik. Kalian membawa masalah internal ke luar. Sekarang orang tua murid resah, komite sekolah menekan kepala sekolah, dan guru-guru jadi harus ikut dimintai klarifikasi."

Nala merasa dadanya sesak. Ia tak menyangka guru favoritnya justru menjadi bagian dari sistem yang ingin meredam suara mereka.

"Bu, kalau kita nggak bisa bicara di sini, di mana lagi?" tanya Nala dengan suara gemetar. "Podcast itu cuma cara kami agar didengar."

"Ada cara yang lebih sopan, Nala. Kamu bisa bicara di forum siswa. Kamu bisa menyampaikan melalui OSIS. Bukan dengan podcast viral yang mengundang komentar netizen dan mencemarkan nama sekolah."

"Tapi Bu, kami sudah coba. Berkali-kali. Dan semuanya ditolak," kata Juno dari bangku tengah. Suaranya keras dan penuh emosi. "Kami cuma ingin orang dewasa mendengarkan kami. Kami lelah dianggap remeh."

Untuk pertama kalinya, senyum Bu Erna menghilang. Ia menatap Juno tajam. "Juno, kamu siswa. Tugasmu belajar, bukan mengubah sistem."

Kata-kata itu memukul seluruh kelas. Nala menunduk. Ia merasakan seperti dikhianati oleh seseorang yang dulu begitu ia hormati. Jika bahkan Bu Erna tidak bisa memahami, lalu siapa lagi?

Setelah pelajaran usai, suasana kelas tetap muram. Tak ada yang benar-benar mendengarkan penjelasan sejarah yang disampaikan Bu Erna. Yang mereka dengar hanya gema dari kalimat terakhirnya bahwa mereka tak berhak mengubah sistem.

Setelah kelas bubar, Dita menghampiri Nala di kantin.

"Kamu lihat sendiri, kan? Bahkan Bu Erna ikut mengecewakan."

Nala mengangguk. "Aku mulai bertanya-tanya, apakah benar kita salah?"

Dita menggeleng. "Bukan kita yang salah. Mereka hanya terlalu takut untuk berubah. Dan karena ketakutan itu, mereka lebih memilih diam dan mengikuti arus."

"Tapi kalau bahkan guru seperti Bu Erna tak bisa berpihak pada kita, siapa lagi yang bisa?"

Dita menatap mata Nala. "Kita punya satu sama lain. Dan kita punya kebenaran. Itu cukup untuk melangkah."

Percakapan itu terus terngiang hingga sore hari ketika mereka berkumpul di rumah Juno untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Mereka sepakat bahwa tekanan dari sekolah makin kuat. Tapi yang lebih menyakitkan adalah tekanan dari orang-orang yang dulu mereka percaya.

"Kalian tahu," kata Raka sambil mengacak rambutnya frustasi, "Aku dulu pikir Bu Erna itu berbeda. Aku pikir dia akan dukung kita. Tapi ternyata... dia juga sama."

"Nggak semua orang bisa kuat untuk melawan arus," jawab Juno. "Kadang mereka memilih bertahan, walau itu artinya menutup mata."

Diskusi malam itu tidak menghasilkan keputusan besar. Tapi ada satu hal yang menjadi jelas: kepercayaan mereka pada guru-guru mulai luntur. Dan itu membuat langkah mereka terasa semakin berat. Namun juga semakin berani.

Di malam yang sama, Nala menulis di jurnalnya:

"Mungkin kami bukan anak-anak pintar. Mungkin kami cuma anak-anak keras kepala. Tapi setidaknya kami tidak diam. Dan kami tidak pura-pura bahwa semuanya baik-baik saja."

Bab ini ditutup dengan pertanyaan yang menggantung dalam pikiran semua tokoh: ketika orang yang selama ini mereka percaya mulai menunjukkan wajah yang berbeda, apakah mereka akan tetap melangkah?

Dan jawabannya, meski samar, perlahan mulai terbentuk.

Mereka akan tetap melangkah. Meski kecewa. Meski takut. Meski sendiri.

Karena diam adalah bentuk pengkhianatan paling nyata.

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!