Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan, Nadia,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika suatu hari nanti kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?”
“Tidak akan mungkin itu terjadi.”
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya berdasarkan pada kebutuhan ranjang semata? Akankah cinta bersemi diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Pria Tua
Pria Tua
Sepanjang hari berada di dalam kamar yang sempit ini membuat Yudha merasa gerah. Kamar kecil Nadia ini tidak memiliki pendingin ruangan, kipas angin pun Nadia tidak punya. Yudha terpaksa harus menggunakan robekan kardus mie instan untuk mengipasi dirinya yang kegerahan.
Nadia sudah pergi bekerja. Sedangkan ia hanya berbaring di atas kasur busa sepanjang hari. Sebetulnya Nadia sudah ia larang pergi bekerja hari ini. Namun karena Nadia yang merasa risih harus berada seharian di dalam kamar bersamanya, ia pun mengijinkan. Nadia belum terbiasa dengan situasi seperti ini. Jadi ia memberi kesempatan pada gadis itu untuk beradaptasi.
Seharian di dalam kamar yang sempit ini membuat Yudha merasa seperti berada di dalam penjara. Rasa bosan mulai menghampirinya. Tangannya sudah pegal mengipas. Untuk mengusir rasa bosan itu ia memilih bermain game di ponsel yang ia setel dengan model pesawat agar Maura atau siapapun tidak bisa menghubunginya.
Sempat terbersit keinginannya menghubungi Nadia, sekedar untuk bertanya pukul berapa Nadia pulang . Namun ia teringat, gadis itu sudah tidak memiliki ponsel.
“Kenapa aku bisa sampai lupa?” Menyesal mengapa baru teringat sekarang, ia pun lantas mematikan mode pesawat pada ponselnya, lalu menghubungi Jerry, meminta Jerry melakukan sesuatu untuknya.
Setelah itu ia kembalikan lagi ponselnya ke dalam mode pesawat demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab Maura tahu saat ini ia sedang berada di luar kota. Namun siapa sangka, bukannya berada di luar kota, ia malah terjebak di dalam sangkar kecil ini.
Petang hari, Nadia pulang dari bekerja. Mungkin lantaran tidak terbiasa dengan keberadaan orang asing di dalam kamarnya, Nadia terlonjak kaget begitu membuka pintu dan mendapati Yudha yang tengah tertidur di atas tempat tidurnya.
Untungnya Nadia bisa menahan teriakannya, refleks menutup mulutnya agar suaranya tidak membangunkan tidur pria itu. Dengan membuat langkah seringan mungkin, ia masuk ke dalam kamar. Kemudian mengambil pakaian dari dalam lemari plastik. Dibawanya pakaian itu ke dalam kamar mandi, hendak mengganti seragam hotelnya di dalam sana.
Agar tidak membangunkan Yudha, Nadia membuat setiap gerakannya sepelan mungkin. Usai berganti pakaian, ia kemudian menggantung seragam hotel pada gantungan pakaian di sebelah lemari. Begitu ia berbalik, lagi-lagi ia malah dikagetkan oleh Yudha yang sudah membuka matanya. Dan mata itu tengah memandanginya.
“Aaah!” pekik Nadia sambil memegangi dadanya. Saking kaget, jantungnya bahkan sampai berdegup kencang.
“Kenapa kamu sangat suka berteriak? Apa kamu mau aku buat berteriak dengan cara yang lain?” sembur Yudha sembari bangun dari pembaringan.
“Bapak sih, sudah seperti hantu saja. Saya kaget lah.”
“Aku bukan Bapakmu. Aku juga bukan hantu. Kamu lupa aku ini siapa?”
Nadia kesal, memasang wajah cemberutnya tanpa malu-malu. Ekspresinya itu menerbitkan senyum di wajah Yudha, namun hanya sebentar. Sedetik kemudian wajahnya kembali datar dan serius.
“Selain atasanmu, aku juga suamimu. Mana rasa hormatmu padaku? Setidaknya panggil aku dengan sebutan yang layak.” Menjahili Nadia sepertinya memang menyenangkan. Yudha bahkan sampai lupa dengan kesedihannya.
“Memangnya Bapak mau dipanggil apa? Abang, Akang, Datuk, Mamang, atau_”
“Panggil yang sopan. Jangan lupa, aku bisa memecatmu kapanpun aku mau.”
Mata Nadia memicing. Seolah pria itu tidak pernah lelah berdebat dengannya. Pantas saja banyak karyawan yang mengeluh, ternyata Yudha memang sangat menyebalkan. Ancaman selalu menjadi senjatanya.
“Ishhh ... bisanya hanya mengancam,” gerutunya.
“Bukan mengancam, hanya mengingatkan. Kalau sampai kamu lupa lagi, maka akan aku ingatkan padamu dengan cara yang lain. Cara yang bisa membuatmu berteriak.”
“Ishhh, cara apa itu? Memangnya apa yang bisa membuatku berteriak? Dasar aneh! Ya sudah, kalau begitu saya panggil ... emm ...” Nadia tengah berpikir, mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya pada pelipis. Otaknya bekerja mencari sebutan apa yang pantas untuk pria yang satu ini.
Jika dulu semasa pacaran dengan Bastian, ia mempunyai satu panggilan khusus untuk mantan kekasihnya itu. Itupun karena dulu mereka saling mencintai.
Akan tetapi pria yang satu ini, meskipun sekarang statusnya adalah suami, namun pernikahan ini tidak terjadi karena cinta. Terpaksa ia menerima pernikahan ini karena ia tidak mau kehilangan pekerjaan.
“Nanti saja kamu pikirkan itu. Sekarang pikirkan tentang suamimu yang sedang kelaparan ini. Tega sekali kamu meninggalkan suamimu tanpa makanan,” kata Yudha. Membuat Nadia tersentak.
“Biasanya juga tinggal main telepon. Kenapa sekarang manja sekali?” sungut Nadia sebal.
“Manja sama istri sendiri kan wajar?”
Mendengar kalimat Yudha itu malah membuat bibir Nadia semakin maju. Rasanya ia masih risih dengan statusnya yang baru ini. Hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya ia menikah dengan pria yang tidak ia cintai.
“Baiklah, Tuan Manja. Saya akan segera memasak untuk Anda. Berhubung yang ada hanya mie instan, jadi saya akan memasak itu saja untuk Anda. Harap untuk tidak protes.” Nadia membungkuk, kemudian berlalu menuju pojok ruangan, mengambil beberapa bungkus mie instan dari dalam kardus. Lalu memasaknya menggunakan panci elektrik.
Yudha bangun dari tempat tidur. Kamar berukuran kecil itu tidak membuat jarak pandangnya jauh, sehingga Nadia yang sedang memasak di depan kamar mandi menggunakan panci kecil itu terjangkau oleh pandangannya.
Beberapa kali ia menghela napas, sembari sesekali memperhatikan lagi setiap sudut kamar ini. Dalam hati ia merasa iba, mengapa gadis seperti Nadia harus hidup dengan segala keterbatasan.
Namun, walaupun hidup dengan kesederhanaan, belum pernah ia mendengar gadis itu mengeluh. Nadia menjalani hidupnya dengan penuh semangat dan harapan yang setinggi langit.
Sama seperti kehidupannya, harapan Nadia pun begitu sederhana, yaitu Tuhan senantiasa memberi kebahagiaan untuknya meski ia hidup dalam kesederhanaan.
“Sudah selesai.” Nadia sudah selesai memasak mie instan dua porsi, untuknya dan untuk Yudha. Dua mangkuk mie kuah itu kemudian ia bawa menggunakan baki, menaruhnya sebentar di atas lantai, kemudian ia mengambil sebuah meja lipat kecil dari belakang lemari.
“Silahkan, Pak,” kata Nadia usai menata dua mangkuk mie di atas meja kecil itu. Kemudian ia mengambil tempatnya sendiri. Disusul Yudha, mengambil duduk berhadapan dengan Nadia.
Tanpa menunggu Yudha, Nadia lebih dulu menyantap makanannya. Melihat mie yang masih panas dan mengepulkan asap itu, tangan Yudha pun lantas menahan tangan Nadia yang hendak menyendok mie itu.
“Sebaiknya tunggu mie-nya dingin dulu. Tidak baik makan dalam keadaan masih panas begitu,” kata Yudha mengingatkan.
“Kalau menunggu dingin, nanti mie-nya bakalan ngembang. Mas tidak tahu seperti apa rasanya kalau sudah dingin. Mie kuah itu paling enak dimakan justru masih dalam keadaan panas begini. Sensasinya berbeda.”
“Apa kamu bilang tadi?”
“Makan mie yang masih panas itu rasanya berbeda.”
“Tidak, bukan itu. Tadi kamu bilang apa sebelum itu.”
“Sensasi?”
“Bukan, bukan yang itu. Yang sebelumnya.”
Nadia melipat dahinya bingung, berpikir apakah ia salah dalam berbicara?
“Maksud, Mas?” tanya Nadia.
“Yang itu. Aku rasa itu yang paling sopan.” Senyuman kecil terbit di wajah Yudha. Namun lekas Yudha menunduk, memilih menyantap mie-nya lantaran tak ingin Nadia melihat senyuman di wajahnya itu.
Nadia yang keheranan malah dibuat semakin bingung. Spontan saja ia memanggil Yudha dengan sebutan 'Mas', karena ia merasa sebutan itu yang pantas untuk seorang pria berusia matang seperti Yudha ini. Tadinya juga ia hendak menawarkan panggilan itu kepada Yudha, tetapi pria itu telah lebih dulu menyela kalimatnya.
“Tadinya juga mau saya panggil seperti itu. Kalau Mas tidak setuju, tinggal saya panggil 'Om' saja. Rasanya kata itu lebih cocok untuk seorang pria tua sepertimu,” kata Nadia sambil tertawa kecil. Membuat Yudha menghentikan suapannya seketika.
“Kamu bilang aku tua?” ulang Yudha merasa tak terima dikatai sudah tua. Apalagi melihat wajah Nadia yang tersenyum-senyum seperti itu, membuat darahnya mendidih.
Tawa Nadia pun terhenti seketika saat ia menerima tatapan tajam Yudha yang tersinggung dipanggil demikian. Tanpa sadar ia menelan ludah, merasakan aura yang berbeda dari pria itu.
“Emm ... i-itu ... saya ...”
“Tarik kembali kata-katamu itu. Aku tidak seperti yang kamu katakan. Apa perlu aku buktikan padamu, kalau pria tua ini mampu membuatmu berteriak sepanjang malam?”
-To Be Continued-
tapi gpp sih kalo ketauan... biar tau rasa tuh si Maura