NovelToon NovelToon
Tolong Nikahi Aku, Paman !

Tolong Nikahi Aku, Paman !

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:13k
Nilai: 5
Nama Author: Black moonlight

Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.

Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehidupan Damian

"Will, sebelum rapat, ke ruangan gue dulu sebentar."

"Oke," sahut Willy, mengikuti langkah Damian menuju ruangannya.

Setelah masuk, Damian melepas jasnya dan duduk di sofa. Ia menghela napas sebelum akhirnya berbicara, "Anggap aja gue berlebihan, tapi gue khawatir soal Shanna."

Willy mengernyit. "Kenapa?"

"Gue butuh lo cariin seseorang buat ngawasin dia di kampus. Bukan karena gue takut dia selingkuh atau semacamnya, tapi gue khawatir dia dirundung atau ada yang bikin dia dan anak gue dalam tekanan."

Willy terdiam sejenak sebelum menatap Damian dengan ekspresi serius. "Lo sekhawatir itu? Padahal... dia gak hamil anak lo, Dam."

Mata Damian langsung menajam. Suaranya terdengar dingin saat ia berkata, "Will, denger baik-baik. Dia anak gue. Gue gak mau denger lo ngomong kayak gitu lagi."

Menyadari kesalahannya, Willy buru-buru mengangkat tangan, tanda menyerah. "Maaf, Dam. Gue gak maksud, tadi refleks aja."

Damian menyandarkan punggungnya, menatap langit-langit ruangan sejenak sebelum kembali bersuara. "Siapa pun yang tahu soal ini dan berani buka mulut di depan gue atau orang lain, gue pastikan dia bakal lenyap dari lingkungan kita. Gue udah mati-matian nutupin ini, Will."

Willy mengangguk pelan. "Gue ngerti. Lo gak mau anak lo tahu kebenarannya nanti."

"Persis," Damian menatap Willy tajam. "Jadi gue butuh bantuan lo buat jaga rahasia ini."

"Oke, gue paham. Sekarang soal Shanna, jadi lo mau gue tempatkan seseorang buat ngawasin dia?"

"Ya, tapi gak bisa terang-terangan. Gue gak mungkin kasih dia bodyguard, dia pasti nolak. Awalnya aja dia keberatan pakai sopir, apalagi kalau harus dikawal ke mana-mana."

Willy mengangguk paham. Ia sudah cukup lama bekerja dengan Damian untuk tahu bahwa jika pria itu sudah menetapkan sesuatu, maka tak ada yang bisa mengubahnya.

"Oke. Lo butuh seseorang yang cukup cerdas buat ngawasin Shanna tanpa keliatan mencolok," ujar Willy sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Betul. Gue mau dia tetap nyaman di kampus tanpa ngerasa diawasi, tapi di sisi lain gue juga gak bisa tinggal diam kalau ada yang berniat jahat sama dia," jawab Damian, melepaskan jasnya dan meletakkannya di samping.

"Gue punya beberapa orang yang bisa diandalkan buat ini. Mahasiswa biasa, bukan orang keamanan, jadi gak bakal keliatan aneh."

"Bagus. Pastikan orangnya bisa dipercaya. Gue gak mau ada yang tahu soal ini selain kita."

Willy tersenyum miring. "Lo beneran udah berubah, Dam. Dulu mana ada lo mikirin perempuan sampai segininya."

Damian mendengus. "Dulu gue gak nikah."

"Kebetulan aja ya sekarang lo nikah sama Shanna?" Willy menaikkan alis.

Damian menatapnya tajam. "Gue gak suka ngebahas ini, Will."

Willy menyerah. "Oke, oke. Gue urus orangnya hari ini. Lo fokus aja ke meeting. Shanna bakal baik-baik aja."

Damian menghela napas pelan. "Gue harap begitu."

Damian duduk dengan tenang, mendengarkan presentasi dari perusahaan rekanan dengan penuh perhatian. Setelah pemaparan selesai, tim dari perusahaannya melanjutkan dengan menjelaskan strategi dan keunggulan produk mereka.

Saat sesi diskusi dimulai, Damian mengambil alih pembicaraan. Ia menatap perwakilan perusahaan rekanan dengan ekspresi serius sebelum mengajukan pertanyaan.

"Produk yang Anda tawarkan cukup menarik, tetapi saya ingin mengetahui lebih lanjut mengenai integrasinya dengan sistem rumah sakit yang sudah ada. Seberapa fleksibel perangkat ini untuk disesuaikan dengan infrastruktur teknologi yang berbeda?"

Salah satu perwakilan dari tim teknologi mitra menjawab dengan tenang, "Kami telah mengembangkan API yang memungkinkan integrasi dengan berbagai sistem rekam medis elektronik. Selain itu, perangkat ini juga dapat dikustomisasi sesuai dengan kebutuhan rumah sakit, termasuk dalam hal analisis data dan pemantauan pasien secara real-time."

Damian mengangguk kecil sebelum melanjutkan, "Hal itu memang penting, tetapi bagaimana dengan tingkat akurasi datanya? Apakah sudah dilakukan uji coba klinis untuk memastikan bahwa sensor yang digunakan dapat memberikan hasil yang akurat dan minim kesalahan?"

Perwakilan tersebut menjelaskan, "Sejauh ini, uji coba yang telah kami lakukan menunjukkan tingkat akurasi sebesar 98 persen dalam pemantauan tanda-tanda vital pasien. Kami juga bekerja sama dengan beberapa rumah sakit besar untuk melakukan pengujian lebih lanjut sebelum produk ini dipasarkan secara luas."

Damian terdiam sejenak, mempertimbangkan informasi yang diberikan, lalu menambahkan, "Baik, dalam hal ini saya memerlukan laporan lengkap mengenai hasil uji klinis, termasuk margin kesalahan serta skenario terburuk dalam penggunaannya. Jika data yang disajikan memenuhi standar yang kami tetapkan, maka kita dapat melanjutkan pembahasan mengenai tahap implementasi lebih lanjut."

Di sisi lain, Rendra duduk memperhatikan jalannya diskusi dengan tatapan penuh kebanggaan. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa Damian telah berkembang jauh lebih baik dari yang pernah ia bayangkan, bahkan lebih baik darinya sendiri.

Setelah rapat usai, Rendra meminta Damian untuk berbicara sejenak.

"Damian, kamu sadar ayah selalu menatapmu dengan bangga?" ucap Rendra sambil menyalakan rokok.

Mereka kini berdiri di rooftop gedung perusahaan, menikmati semilir angin yang berembus pelan.

"Oh ya?" Damian menoleh, menerima sebatang rokok yang ditawarkan ayahnya. "Saya selalu memperhatikan, tapi tidak pernah benar-benar tahu kalau itu tatapan bangga dari ayah."

"Kamu tumbuh lebih baik dari ayah, Dam. Padahal, kamu menjalani semua ini tanpa kehadiran seorang ibu."

Damian menghela napas, lalu menatap ayahnya dengan tenang. "Tanpa ibu, saya punya ayah. Dan ayah lebih berharga dari siapa pun yang saya punya."

Rendra mengangguk pelan. "Sekarang kamu bahkan sudah punya keluarga sendiri. Ada Shanna, dan bayi dalam kandungannya."

"Ya, mereka sama berharganya seperti ayah."

Rendra menghembuskan asap rokoknya perlahan, lalu berkata dengan suara lebih dalam, "Dam, kesuksesan yang ayah raih ini tidak datang secara instan. Banyak yang ayah korbankan, termasuk waktu bersama keluarga."

Mendengar itu, Damian terdiam. Pikirannya melayang ke masa kecilnya—masa-masa yang sepi setelah ibunya meninggal karena kanker saat usianya baru sepuluh tahun. Setelah itu, ayahnya tenggelam dalam kesibukan, membangun perusahaan teknologi medis yang kini menjadi salah satu yang terbaik. Ia tahu, ayahnya melakukan itu bukan tanpa alasan. Ibunya pergi karena rumah sakit saat itu tidak memiliki fasilitas yang memadai. Rendra tidak ingin kejadian itu menimpa keluarga lain. Namun, akibatnya, Damian kecil hanya berteman dengan kesunyian, diasuh oleh asisten rumah tangga sementara ayahnya terus bekerja.

"Itu bukan masalah, Yah," ujar Damian akhirnya. "Saat itu, ayah memang harus melakukannya."

Rendra terdiam sesaat sebelum melanjutkan, "Ayah selalu merasa bersalah pada ibumu. Ayah tidak bisa memberinya perawatan terbaik. Begitu pun dengan kamu dan kakak mu, Dam. Ayah tidak selalu ada, bahkan setelah ibumu meninggal. Kamu pasti kesepian, ya?"

Damian tersenyum kecil, tetapi matanya berkaca-kaca.

"Berkat ayah, banyak anak yang tidak mengalami hal yang sama seperti saya. Banyak anak yang bisa tetap bersama ibunya. Ayah telah menciptakan inovasi di dunia teknologi medis, menyelamatkan banyak nyawa. Memang, hidup dan mati ada di tangan Tuhan, tapi ayah sudah banyak membantu agar tidak ada anak lain yang harus kehilangan ibunya seperti saya dulu." Damian menghela napas, lalu menatap ayahnya dengan sorot penuh ketulusan. "Karena itu, saya merasa pengorbanan masa kecil saya sudah terbayar lunas."

Rendra menatap putranya dengan bangga. "Kamu selalu pengertian sejak kecil, Dam."

Damian tersenyum. "Karena saya hanya punya ayah. Saya tidak mau kehilangan ayah seperti kehilangan ibu. Jadi saya selalu berusaha membantu sebisa saya. Kalau tidak bisa dengan tenaga, setidaknya saya bisa membantu dengan pengertian. Sesederhana itu cara berpikir saya dulu, Yah."

Rendra menatap anaknya lekat-lekat, lalu mengangguk pelan. Dalam hati, ia tahu Damian tidak hanya menjadi anak yang lebih baik darinya—tapi juga pria yang lebih kuat.

1
Elza Febriati
Laaaa koq kesannya seperti damian yg keras nikahin dia, 😩 rada2 ngelunjak, semestinya banyak2 sadar diri,, dan mengambil hati damian,! Lucuuuuuu
Narata: Iyaaa ya damian duluan yang bucin wkwk karena damian udah suku duluan gasiii dari pas ketemu di kampus
total 1 replies
Dian Fitriana
update
Narata: ok kak jam 00 yaa
total 1 replies
Risma Waty
Kasihan juga sih dgn Rivan.. bukan keinginannya ninggalin Shanan. Dia dipaksa dan dibawa kabur bapaknya ke luar negeri. Rivan kan janji akan kembali menjemput Shanan. Semiga Damian ntar mengembalikan Shanan ke Rivan krn bagaimanapun anak yg dikandung Shanan adalah anaknya Rivan, otomatis cucunya Damian.
Narata: Iya sih kasihan .. Yang jahat di cerita ini adalah takdir mereka. hikss🥹
total 1 replies
Dian Fitriana
up LG thor
Dian Fitriana
update
fran
klu up yg bnyk dong .., krn klu kelamaan jd membosankan
Narata: hi kak fran, nanti author up jam 12 ya kak
total 1 replies
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Anto D Cotto
menarik
Narata
keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!