Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Tersesat Di Rindu
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Suara hujan turun pelan di luar jendela.
Lampu-lampu kota memantul di kaca, membentuk garis-garis cahaya yang lembut namun dingin.
Sudah lewat jam sembilan malam.
Dan kursi di meja makan di hadapan Nayara masih kosong.
Ia menatap ponselnya.
Belum ada pesan.
Belum ada kabar.
Di meja, masakan yang tadi siang ia siapkan sudah dingin—ayam kecap kesukaan Ardan, sop bening, dan sedikit sambal matah yang selalu ia buat sendiri.
Tiga jam yang lalu, Ardan hanya mengirim pesan singkat:
Ardan: “Ada rapat tambahan, Jangan tunggu aku pulang. Mungkin pulang agak malam.”
Nayara tersenyum tipis membaca pesan itu waktu itu.
Ia tahu kata “rapat tambahan” sekarang bisa berarti apa saja.
Tapi tetap saja, ia menunggu.
“Masih belum pulang juga, Nay?”
Suara itu datang dari seberang telepon.
Sahabatnya, Alia, terdengar cemas di ujung sana.
Nayara menghela napas pelan. “Belum. Katanya rapat. Mungkin lembur.”
“Udah seminggu kayak gitu, Nay. Kamu nggak curiga?”
Nayara diam sesaat. Jemarinya memutar sendok di cangkir teh yang sudah dingin.
“Curiga? Aku... nggak tahu. Aku cuma nggak mau mikir yang aneh-aneh, Li. Aku capek berasumsi.”
Alia mendesah lembut. “Kamu terlalu sabar. Kadang orang baik tuh malah disakitin karena mereka nggak pernah berani marah.”
Nayara tersenyum samar. “Aku bukan nggak berani marah. Aku cuma... belum siap kalau yang aku pikirin ternyata benar.”
Di ujung sana, Alia terdiam.
Lalu suaranya terdengar pelan tapi tegas. “Kalau kamu terus menunggu tanpa kepastian, yang kamu temani cuma bayangan, Nay. Ardan harusnya sadar, kamu bukan rumah yang bisa ia datangi sesekali waktu dia bosan.”
Nayara menatap ke arah pintu depan, seolah bisa menembus waktu dan jarak.
“Dia suamiku, Li. Aku cuma ingin percaya... mungkin ini cuma fase. Mungkin dia lagi bingung. Dan aku masih pengen percaya, dia bakal balik dengan alasan yang sama kenapa dulu dia nikahin aku.”
Alia terdiam lama.
Hanya suara hujan di seberang telepon yang terdengar.
“Nay,” katanya akhirnya, pelan. “Kadang orang tersesat bukan karena nggak tahu arah, tapi karena mereka sengaja nggak mau pulang.”
Ucapan itu menggantung lama di udara setelah panggilan berakhir.
Jam menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas ketika suara mobil terdengar di depan rumah.
Nayara segera berdiri, menata rambutnya yang sedikit kusut, lalu membuka pintu.
Ardan masuk, hujan masih menetes dari bahunya.
“Belum tidur?” tanyanya singkat sambil melepas jas.
Nayara menggeleng. “Aku nungguin kamu. Udah makan?”
“Udah di luar tadi. Rapatnya lama banget.”
Jawaban itu terdengar begitu biasa. Begitu datar.
Nayara hanya mengangguk. “Kopi?”
“Enggak usah, udah malam. Aku capek.”
Ia melangkah menuju kamar tanpa menoleh lagi.
Nayara menatap punggungnya yang menjauh. Ada jeda di antara langkah mereka — seperti dua garis yang dulu sejajar tapi kini perlahan berpisah tanpa arah.
Ardan menatap bayangannya di cermin kamar. Wajahnya terlihat letih, tapi matanya punya sesuatu yang lain — keraguan.
Di benaknya, masih terngiang percakapan sore tadi di kantor.
“Kamu masih inget tempat ini?” tanya Mira sambil menunjukkan foto café lama tempat mereka dulu sering nongkrong saat SMA.
Ardan tersenyum samar. “Masih. Tapi udah berubah, ya.”
“Yang berubah bukan tempatnya, Dan. Cuma kita.”
Kalimat itu masih menempel di kepalanya, bahkan sekarang.
Setiap kali ia menatap Nayara, entah kenapa, bayangan Mira selalu muncul di sela pikirannya.
Ia benci perasaan itu, tapi juga... tak bisa menolaknya.
Sementara di luar, Nayara duduk sendirian di ruang tamu, menatap foto pernikahan mereka di dinding.
Ia teringat bagaimana dulu Ardan memandangnya di hari itu — penuh cinta, penuh janji.
Sekarang, tatapan itu seperti tak lagi mengenalnya.
Ia mengusap sudut matanya pelan.
Tak ada air mata kali ini. Hanya perih yang perlahan berubah jadi dingin.
Nayara menatap hujan yang masih turun di luar.
Suara rintiknya mengisi kesunyian rumah, seperti detak jam yang menandai jarak antara dua hati yang semakin jauh.
Ardan, kamu tersesat di mana sekarang?
Kalau rindu itu seharusnya pulang... kenapa kamu malah berjalan lebih jauh?
Beberapa menit kemudian, Ardan keluar dari kamar.
Ia menatap Nayara yang masih di ruang tamu. “Kamu belum tidur?”
Nayara tersenyum kecil. “Aku nungguin kamu cerita.”
“Cerita apa?”
“Entah. Mungkin tentang hari kamu. Tentang kenapa kamu pulang lebih malam dari biasanya.”
Ardan terdiam.
Matanya menatap wajah istrinya yang lembut tapi penuh tanya.
Namun, yang keluar dari bibirnya hanya kalimat pendek yang terdengar hambar.
“Cuma kerja, Nay. Jangan pikir macam-macam.”
Nayara menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk pelan. “Oke.”
Ia tak memaksa.
Karena dalam hatinya, ia tahu — ketika seseorang mulai berbohong, bukan karena ia ingin disalahpahami, tapi karena ia sudah tak ingin dimengerti.
Malam itu, setelah Ardan masuk kamar lebih dulu, Nayara tetap duduk di sofa.
Ia menatap langit-langit, lalu menutup mata.
Hujan di luar masih belum berhenti.
Dan dalam keheningan itu, ia tahu:
Cinta mereka belum sepenuhnya mati…
tapi seseorang sedang perlahan menuntunnya tersesat ke tempat lain.
Bersambung...