Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
"Aku nggak pergi, hanya ingin di sini saja, Kak!" jawabku lirih.
Kak Adam mendekat dan duduk di sampingku.
"Kasih tau aku harus apa agar kamu bahagia, Alisha?" tanya Kak Adam menatap lekat aku.
Aku tertunduk diam, tak tahu harus menjawab apa. Karena aku pun tak tahu apa yang bisa membuatku bahagia.
"Aku tak tahu, Kak! Biar waktu saja yang menjawab. Aku hanya ingin tenang dulu saat ini. Kakak pasti sudah tahu dari Azam kan?" tanyaku balik.
Kak Adam terdiam, mungkin benar tebakanku. Nggak mungkin Kak Adam tahu alamat pesantren ini jika bukan dari keluarga Darul Arkom.
"Iya Azam yang kasih tahu aku, Alisha! Tadi aku ke Darul Arkom tapi kamu nggak ada. Sudah pergi ke sini,"jawab Kak Adam.
Salah aku juga tidak memberitahu Kak Adam untuk jangan dulu ke pesantren.
"Kenapa tidak memberitahuku, Alisha?" tanya Kak Adam.
"Apa yang harus aku beritahu, Kak? Tentang kakak yang membohongi adiknya atau kakak yang tidak bisa menjaga perasaan?"tanyaku pada Kak Adam.
"Tentang hatimu saat ini, tentang hancurnya hatimu untuk kedua kalinya, Alisha."
Bibirku terkatup rapat, mataku memandang jauh ke depan. Senja semakin menghilang, sebentar lagi azan magrib pasti berkumandang.
"Hatiku baik-baik saja, Kak! Aku bisa melewati ini. Jangan khawatir."
"Beri aku kesempatan sekali saja, Alisha! Tak akan aku buat kamu menangis. Insya Allah kita akan sehidup sesyurga!"ucap Kak Adam.
Sungguh hati ini terharu mendengar ucapan Kak Adam. Namun, saat ini aku ingin menyembuhkan luka yang masih basah. Mungkin besok, atau lusa aku bisa menerima tawarannya. Semua perihal waktu yang menjadi penawar semuanya.
"Aku beri kesempatan itu kak. Tetapi tidak hari ini. Aku butuh waktu untuk menormalkan kembali hatiku yang retak tak beraturan."
7 bulan kemudian.
"Jadi menurut Kak Alisha cinta itu apa?" tanya salah satu wartawan dalam sesi launching novel 'Rindu Dalam Aksara.'
Novel duet kedua aku bersama Kak Adam. Dengan senyum yang menghiasi bibir aku menjawab pertanyaan salah satu wartawan.
"Cinta itu pengorbanan, dimana kita bisa melakukan apapun untuk orang yang kita cinta. Cinta itu emosi yang perlu kita telaah lebih dalam, agar tidak jadi cinta buta. Cinta itu dia yang bersedia menunggu dalam sebuah penantian panjang. Cinta itu dia yang selalu ada di hati dan pikiranmu, meski tak kau sebut. Cinta itu perlu logika agar tidak hanya hawa nafsu dan ego belaka." jawabku sedikit berpuitis.
Bahkan lelaki di sampingku ini tersenyum tak jelas. Ada yang anehkah dengan jawabanku?
"Kak Adam mau tanya dong, itu tokoh Arzy fiksi atau nyata?" tanya wartawan lain pada Kak Adam.
Kak Adam berdehem sebentar sebelum menjawab pertanyaan wartawan.
"Jika hanya fiksi kenapa dan jika nyata kenapa?" Kak Adam bukannya menjawab malah bertanya balik.
Arzy dan Akmila dua tokoh dalam novel Rindu Dalam Aksara, tak lain adalah aku dan Kak Adam. Tujuh bulan ini novel itu baru bisa terbit. Novel yang bercerita tentang, bagaimana sosok Arzy meyakinkan Akmila agar bisa percaya lagi pada cinta.
Novel ini terwujud dari curhatan aku dan juga Kak Adam, aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari wartawan itu. Aku juga penasaran apa Kak Adam akan menjawab jujur atau tidak.
"Kalau nyata ungkapin dong pada Kak Alisha. Kayak Kak Arzy pada Akmila. Yang di halaman 421 itu, Kak!" ucap wartawan itu lagi.
Sekilas aku memandang Kak Adam, senyum itu mengembang lebar di bibirnya. Aku merasa akan ada hal konyol yang akan di lakukan Kak Adam. Apa dia akan melakukan seperti yang di lakukan Arzy di novel?
Kak Adam memandang lekat aku, manik matanya mengunci mataku.
"Ingin aku ceritakan padamu, tentang sebuah rindu. Tentang cinta yang tak pernah usang, selalu tumbuh tak kenal musim. Dengan restu Allah ingin ku pinang kau dengan bismillah. Untukmu rindu ini. Alisha Alfatunnisa."
Aku mengerjapkan mata tak percaya, Kak Adam dia membuka rahasia jika novel ini nyata bukan sekedar fiksi. Para wartawan lebih heboh menyoraki aku juga Kak Adam.
Pipi ini rasanya memanas, apa sekarang aku beneran jatuh cinta pada Kak Adam?
"Pipi kamu kayak tomat, Alisha!" bisik Kak Adam.
Ah, mengapa aku bisa tersipu seperti ini.
"Aku dengar Akhzamil juga ada di gedung ini. Dia lagi ngurus proses cetak novel Dalam Sebuah Kenangan. Sekuel dari Rembulan Tanpa Malam."
Samar aku mendengar percakapan seorang wartawan yang tengah membetulkan make up-nya di toilet. Meski bisik-bisik telinga ini bisq mendengar jelas percakapan mereka.
"Iya tadi aku juga dengar pimpinan redaksi bilang minggu ini novelnya launching. Sayang Kak Akhzamil sangat tertutup bahkan rupanya pun kita tak tahu."
Aku yang selesai membetulkan jilbab segera berlalu. Jadi penasaran juga dengan yang namanya Akhzamil. Dia memang tak pernah posting privasinya. Ruang redaksi ada di lantai atas, sebelehan dengan tempat wawancara aku tadi. Aku aku mencoba tanya pihak redaksi. Mumpung Kak Adam juga masih di lantai atas.
Aku menaiki tangga menuju lantai dua lagi, Kak Adam masih mengurus promo novel dengan wartawan, membuat aku mau tak mau harus naik lagi. Dua hari sudah kami di Jakarta untuk mengurus novel Rindu Dalam Aksara. Lelah tapi juga senang.
"Aww.." aku mengaduh kala ada yang lari dari atas. Untung aku pegangan pembatas jika tidak pasti aku terjatuh. Aku menoleh ke bawah, lelaki yang menabrakku itu berlari kencang. Apa dia tidak takut jatuh lari dari anak tangga atas sampai bawah, lima belas anak tangga.
Namun, bukan itu yang mengusikku. Aroma maskulin yang khas menguar dari tubuhnya saat berpapasan denganku. Aku mencium lengan bajuku, aroma itu menempel. Dan ini sangat familiar bagiku.
Seperti parfum yang selalu di pakai Azam. Aku menggosok kasar lengan bajuku, aroma itu menguap tidak membekas di lengan bajuku.
Tujuh bulan ini, aku tak mendengar berita apapun dari Aisha juga Azam. Jika Ayah dan Ibu berkunjung tak pernah membahasnya.
Aku kembali mencium lengan bajuku masih saja menguarkan aroma parfum itu.
Tetapi tidak mungkin orang itu Azam? Untuk apa Azam di kantor penerbit buku? Separuh hatiku menyangkal, separuh lagi mengatakan jika aroma parfum itu milik Azam.
"Kamu kenapa, Alisha? Kayak gatal garuk-garuk lengan."
Aku mendongak mendapat Kak Adam yang berdiri di ujung anak tangga. Dia sudah selesai rupanya.
"Nggak apa, kak. Udah kelar urusannya, kak?" tanyaku balik.
"Udah, kita pulang hari ini ke Cirebon, Alisha!" ungkap Kak Adam.
Aku dan Kak Adam pun berjalan menuju parkiran.